TUHAN
MANUSIA DAN ESKATOLOGI
(Diajukan Untuk
Memenuhi Tugas Makalah Matakuliah Filsafat Agama)
Disusun Oleh:
Kelomok III
Brojo Hermanto
Goval Darisse
Rahmawati Idrus
Selfiyanti Djakaria
IAIN
SULTAN AMAI GORONTALO
FAKULTAS
USHULUDDIN DAN DAKWAH
JURUSAN
FILSAFAT AGAMA
TAHUN
AKADEMIK 2016-2017
A.
Judul
Tuhan Manusia dan eskatologi
B.
Latar
belakang
Perkembangan
ilmu pengetahuan sangat signifikan, sejalan dengan kebutuhan manusia yang
semakin hari tidak ada habisnya. Kebutuhan tersebut tidak hanya berkisar pada
ranah kebutuhan yang bersifat materi atau dhahoirnya, akan tetapi juga
kebutuhan spiritual. Keberadaan ilmu jadi tidak ada artinya jika ia berjalan
sendiri, tanpa di barengi agama dalam memback up konsep-konsep yang ditawarkan
oleh ilmu tersebut. Keduanya tidak dapat dipisahkan antara satu sama lain,
karena akan terjadi kepincangan yang menghambat perkembangannya, sepakat dengan
stetamant bijak “ilmu tanpa agama akan buta, sedangkan agama tanpa ilmu akan
lumpuh”. Jadi, keduanya harus berjalan beriringan dan saling melengkapi satu
sama lain. Belbagai konsep yang ditawarkan oleh keduanya guna menjawab, memberikan
solusi dari permasalahan-permasalahan yang timbul didalam kehidupan manusia.
C.
Rumusan
masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan tuhan?
2. Apa
yang dimaksud dengan manusia?
3. Apayang
dimaksud dengan eskatologi?
4. Apa
hubungan atara tuhan, manusia dan eskatologi?
D.
Pengertian
Tuhan
Kata Tuhan dalam bahasa Melayu kini berasal dari kata tuan. Buku pertama yang memberi
keterangan tentang hubungan kata tuan dan Tuhan adalah adalah Ensiklopedi
Populer Gereja oleh Adolf Heuken SJ (1976). Menurut buku tersebut, arti
kata Tuhan ada hubungannya dengan kata Melayu tuan yang berarti
atasan/penguasa/pemilik. Kata "tuan" ditujukan kepada manusia, atau
hal-hal lain yang memiliki sifat menguasai, memiliki, atau memelihara.
Digunakan pula untuk menyebut seseorang yang memiliki derajat yang lebih
tinggi, atau seseorang yang dihormati. Penggunaannya lumrah digunakan
bersama-sama dengan disertakan dengan kata lain mengikuti kata "tuan"
itu sendiri, dimisalkan pada kata "tuan rumah" atau "tuan
tanah" dan lain sebagainya. Kata ini biasanya digunakan dalam konteks
selain keagamaan yang bersifat ketuhanan.
Dalam bahasa Indonesia modern, kata
"Tuhan" pada umumnya dipakai untuk merujuk kepada suatu Dzat abadi
dan supernatural. Dalam konteks rumpun agama samawi, kata Tuhan (dengan huruf T besar) hampir selalu mengacu
pada Allah, yang diyakini sebagai Dzat yang Maha sempurna, pemilik
langit dan bumi yang disembah manusia. Dalam bahasa Arab kata ini sepadan dengan kata rabb. Menurut Ibnu Atsir, Tuhan dan tuan secara bahasa diartikan
pemilik, penguasa, pengatur, pembina, pengurus dan pemberi nikmat. Kata Tuhan disebutkan lebih dari 1.000 kali
dalam Al-Qur'an. Dalam monoteisme, biasanya dikatakan bahwa Tuhan mengawasi dan memerintah manusia dan alam semesta atau jagat raya. Hal ini bisa juga digunakan untuk merujuk
kepada beberapa konsep-konsep yang mirip dengan ini, misalnya sebuah bentuk
energi atau kesadaran yang merasuki seluruh alam semesta, yang keberadaan-Nya
membuat alam semesta ada; sumber segala yang ada; kebajikan yang terbaik dan
tertinggi dalam semua makhluk hidup; atau apa pun yang tak bisa dimengerti atau
dijelaskan.
E.
Manusia
1. Manusia
dalam perspektif filsafat
Disimpulkan bahwa manusia merupakan
hewan yang berpikir karena memiliki nalar intelektual. Dengan nalar intelektual
itulah manusia dapat berpikir, menganalisis, memperkirakan, meyimpulkan,
membandingkan, dan sebagainya. Nalar intelektual ini pula yang membuat manusia
dapat membedakan antara yang baik dan yang jelek, antara yang salah dan yang
benar.
a) Hakekat Manusia
Pada saat-saat tertentu dalam
perjalanan hidupnya, manusia mempertanyakan tentang asal-usul alam semesta dan
asal-usul keber-ada-an dirinya sendiri. Terdapat dua aliran pokok
filsafat yang memberikan jawaban atas pertanyaan
tersebut, yaitu Evolusionisme dan Kreasionisme (J.D.
Butler, 1968). Menurut Evolusionisme, manusia adalah hasil
puncak dari mata rantai evolusi yang
terjadi di alam semesta. Manusia
sebagaimana halnya alam semesta ada dengan sendirinya
berkembang dari alam itu sendiri, tanpa Pencipta. Penganut aliran ini
antara lain Herbert Spencer, Charles Darwin, dan Konosuke
Matsushita. Sebaliknya, Kreasionisme menyatakan bahwa asal usul manusia
sebagaimana halnya alam semesta adalah ciptaan suatu Creative Cause atau
Personality, yaitu Tuhan YME. Penganut aliran ini antara lain Thomas Aquinas
dan Al-Ghazali. Memang kita dapat menerima
gagasan tentang adanya proses evolusi di alam
semesta termasuk pada diri manusia, tetapi tentunya
kita menolak pandangan yang menyatakan adanya manusia di alam
semesta semata-mata sebagai hasil evolusi dari alam itu sendiri, tanpa
Pencipta.
b) Wujud dan Potensi Manusia
Wujud Manusia. menurut penganut
aliran Materialisme yaitu Julien de La Mettrie
bahwa esensi manusia semata-mata bersifat
badani, esensi manusia adalah tubuh atau fisiknya.
Sebab itu, segala hal yang bersifat kejiwaan, spiritual atau rohaniah
dipandangnya hanya sebagai resonansi dari
berfungsinya badan atau organ tubuh. Tubuhlah yang
mempengaruhi jiwa. Contoh: Jika ada organ tubuh luka muncullah rasa
sakit. Pandangan hubungan antara badan dan
jiwa seperti itu dikenal sebagai Epiphenomenalisme
(J.D. Butler, 1968). Bertentangan dengan gagasan Julien
de La Metrie, menurut Plato salah seorang penganut
aliran Idealisme -bahwa esensi manusia
bersifat kejiwaan/spiritual/rohaniah. Memang Plato
tidak mengingkari adanya aspek badan, namun
menurut dia jiwa mempunyai kedudukan lebih tinggi
daripada badan.
2. Manusia dalam perspektif Islam
Penciptaan manusia terdiri dari
bentuk jasmani yang bersifat kongkrit, juga disertai pemberian sebagian Ruh
ciptaan Allah swt yang bersifat abstrak. Manusia dicirikan oleh sebuah
intelegensi sentral atau total bukan sekedar parsial atau pinggiran. Manusia
dicirikan oleh kemampuan mengasihi dan ketulusan, bukan sekedar refles-refleks
egoistis. Sedangkan, binatang, tidak mengetahui apa-apa diluar dunia inderawi,
meskipun barangkali memiliki kepekaan tentang yang sakral.
Manusia perlu
mengenali hakekat dirinya, agar akal yang digunakannya untuk menguasai alam dan
jagad raya yang maha luas dikendalikan oleh iman, sehingga mampu mengenali
ke-Maha Pekasaan Allah dalam mencipta dan mengendalikan kehidupan ciptaanNya.
Dalam memahami ayat-ayat Allah dalam kesadaran akan hakekat dirinya, manusia
menjadi mampu memberi arti dan makna hidupnya, yang harus diisi dengan patuh
dan taat pada perintah-perintah dan berusaha menjauhi larangan-larangan Allah.
Berikut adalah hakekat manusia
menurut pandangan Islam:
a) Manusia adalah
Makhluk Ciptaan Allah Swt
Hakekat pertama
ini berlaku umum bagi seluruh jagat raya dan isinya yang bersifat baru, sebagai
ciptaan Allah SWT di luar alam yang disebut akhirat. Alam ciptaan meupakan alam
nyata yang konkrit, sedang alam akhirat merupakan ciptaan yang ghaib, kecuali
Allah SWT yang bersifat ghaib bukan ciptaan, yang ada karena adanya sendiri.[1]
Firman Allah SWT mengenai penciptaan
manusia dalam Q.S. Al-Hajj ayat 5 :
Artinya : “Sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari
tanah, kemudian dari setetes air mani menjadi segumpal darah, menjadi segumpal
daging yang diberi bentuk dan yang tidak berbentuk, untuk Kami perlihatkan
kekuasaan Tuhanmu.”
Firman tersebut
menjelaskan pada manusia tentang asal muasal dirinya, bahwa hanya manusia
pertama Nabi Adam AS yang diciptakan langsung dari tanah, sedang istrinya
diciptakan dari satu bagian tubuh suaminya. Setelah itu semua manusia
berikutnya diciptakan melalui perantaraan seorang ibu dan dari seorang
ayah, yang dimulai dari setetes air mani yang dipertemukan dengan sel telur di
dalam rahim.
Hakikat pertama
ini berlaku pada umumnya manusia di seluruh jagad raya sebagai ciptaan Allah
diluar alam yang disebut akhirat. Alam ciptaan merupakan alam nyata yang
konkrit sedangkan alam akhirat merupakan ciptaan yang ghaib kecuali Allah yang
bersifat ghaib bukan ciptaan yang ada karena dirinya sendiri.
b) Kemandirian dan Kebersamaan
(Individualitas dan Sosialita).
Kemanunggalan tubuh dan jiwa yang diciptakan
Allah Swt, merupakan satu diri individu yang berbeda dengan yang lain. setiap
manusia dari individu memiliki jati diri masing - masing. Jati diri tersebut
merupakan aspek dari fisik dan psikis di dalam kesatuan. Setiap individu
mengalami perkembangan dan berusah untuk mengenali jati dirinya sehingga
mereka menyadari bahwa jati diri mereka berbeda dengan yang lain. Firman
Allah dalam Q.S. Al-A’raf 189 artinya “Dialah yang menciptakanmu dari satu diri”
Firman tersebut jelas menyatakan bahwa sebagai
satu diri (individu) dalam merealisasikan dirinya melalui kehidupan, ternyata
diantaranya terdapat manusia yang mampu mensyukurinya dan menjadi beriman. Di
dalam sabda Rasulullah SAW menjelaskan petunjuk tentang cara mewujudkan
sosialitas yang diridhoiNya, diantara hadist tersebut mengatakan: “Seorang dari kamu tidak beriman sebelum mencintai
kawannya seperti mencintai dirinya sendiri” (Diriwayatkan oleh Bukhari)“Senyummu kepada kawan adalah
sedekah” (Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Baihaqi)[2].
Kebersamaan
(sosialitas) hanya akan terwujud jika dalam keterhubungan itu manusia mampu
saling menempatkan sebagai subyek, untuk memungkinkannya menjalin hubungan
manusiawi yang efektif, sebagai hubungan yang disukai dan diridhai Allah Swt. Selain itu manusia merupakan
suatu kaum (masyarakat) dalam menjalani hidup bersama dan berhadapan dengan
kaum (masyarakat) yang lain. Manusia dalam perspektif agama Islam juga harus
menyadari bahwa pemeluk agama Islam adalah bersaudara satu dengan yang lain.[3]
c) Manusia Merupakan Makhluk yang
Terbatas
Manusia memiliki kebebasan dalam
mewujudkan diri (self realization), baik sebagai satu diri (individu) maupun
sebagai makhluk social, terrnyata tidak dapat melepaskan diri dari berbagai
keterikatan yang membatasinya. Keterikatan atau keterbatasan itu merupakan
hakikat manusia yang melekat dan dibawa sejak manusia diciptakan Allah SWT.
Keterbatasan itu berbentuk tuntutan memikul tanggung jawab yang lebih berat
daripada makhluk-makhluk lainnya. Tanggung jawab yang paling asasi sudah
dipikulkan ke pundak manusia pada saat berada dalam proses penciptaan setiap
anak cucu Adam berupa janji atau kesaksian akan menjalani hidup di dalam fitrah
beragama tauhid. Firman Allah Q.S. Al-A’raf ayat 172 sebagai berikut: artinya “Dan ingat lah
ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan
Allah mengambil kesaksian jiwa mereka, “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka
menjawab, “Betul Engkau Tuhan kami dan kami bersaksi.” Kesaksian
tersebut merupakan sumpah yang mengikat atau membatasi manusia sebagai individu
bahwa didalam kehidupannya tidak akan menyembah selain Allah SWT. Bersaksi akan
menjadi manusia yang bertaqwa pada Allah SWT. Manusia tidak bebas menyembah
sesuatu selain Allah SWT, yang sebagai perbuatan syirik dan kufur hanya akan
mengantarkannya menjadi makhluk yang terkutuk dan dimurkaiNya.
F.
Eskatologi
1. Pengertian Eskatologi
Dalam kamus bahasa Indonesia
disebutkan bahwa, yang dimaksud dengan “eskatologi” adalah ilmu tentang akhir
riwayat/ kehidupan manusia; ilmu kematian manusia.[4]
Dalam dunia islam kita kenal berbagai macam riwayat (al-qur’an dan hadits) yang
membicarakan tentang kehidupan setelah mati. Adapun yang menjadi landasan dalam
memotret dan mengklasifikasikan persoalan esskatologi ini adalah berdasarkan
konsep eskatologi islam secara umum. Eskatologi islam secara sederhana
diklasifikasikan menjadi dua bagian : akhir dunia dan akhirat. Dalam kontek
akhir dunia, pembahasan eskatologi islam tertuju pada konsep mengenai kiamat.
Namun sebelum kiamat ini, dikenal pula sosok eskatologi (eschatological
figures) islam, yaitu : Ya’juj dan Ma’juj, Imam mahdi, Dajjal, dan Isa.
Sedangkan dalam kontek akhirat, pembahasannya tertuju pada konsep hari
kebangkitan, konsep pengadilan, serta konsep surga dan neraka.
Dalam pembahasan akhirat ini,
sebagian besar ahli tafsir juga menyebutkan detail mengenai kepercayaan kepada
Alam barzakh (alam antara) antara kematian, kebangkitan, dan pengadilan akhir.
Terkait dengan konsep kematian, terdapat indikasi didalam al-qur’an bahwa
pengalaman dan wujud eksistensial manusia terdiri dari dua kematian dan dua
kehidupan. Kematian pertama iaah masa sebelum manusia dilahirkan, sedang
kematian yang kedua adalah kematian manusia setelah manusia dilahirkan. Adapun
kehidupan pertama adalah kehidupan di dunia, sedang kehidupan kedua adalah
kehidupan di akhirat. Kematian pertama, karena terkesan mitologis,dan bukan
merupaknan rangkaian kehidupan, maka tidak termasuk dalam bidaang garapan
eskatologi. Begitulah agaknya gambaran umum tentang eskatologi islam.[5]
Hal ini sebagimana yang ditulis
antara lain oleh William J. Hamblin dan Daniel C. Peterson, Toshihiko Izutsu,
H.P. Owen, dan Cyril Glasse. Dari semua sumber acuan teoritis ini, penulis mengkasifikasikannya
menjadi : a) Kematian, b). Alam barzakh, c). Hari kiamat dan d). Surga dan Neraka.
2. Konsep-konsep eskatologi
a. Makna kematian
Memposisikan dunia dan akhirat Pembahasan
mengenai kematian tanpaknya tidak bisa semata-mata didekati oleh sebuah
konsep/ranah rasional-ilmiah. Ada sebuah ungkapan menarik yang menyatakan “ Dan
akhirnya ada suatu teka-teki penuh dengan rasa kesakitan,yaitu teka-teki mati.
Teka-teki itu tidak ada obatnya pada waktu ini, dan kiranya tidak akan obatnya
di kelak kemudian hari.” (Sigmund Freud)[6]
bila hanya mengandalkan rasionalitas atau indrawi, akan “gagal” mengkonsepsikan
kematian.
Islam, dalam hal ini Al-Qur’an,
memiliki seperangkat argumen untu merespon pandangan bahwa kematian adalah
akhir dari segalanya. Namun, respon Al –Qur’an ini tidaklah diperuntukkan bagi
keseluruhan masyarakat arab jahiliyah. Sebab, melalui syair-syair yang masih
terpelihara sampai kini,ada indikasi kuat yang menunjukkkan bahwa sebagian
diantara mereka telah beriman kepada Allah dan menerima doktrin kebangkitan-kembali.
Jadi, yang menjadi sasaran Al-Qur’an adalah mereka yang hanya benar-benar tidak
mengakui doktrin akhir, atau yang dalam istilah Toshihiko izutsu yang menganut
doktrin nihilisme. Dengan demikian, sejak masa-masa awal,Al –Qur’an sebetulnya
telah mengajukan berbagai argument untuk membungkam para pengingkar doktrin
akhir. Fazlur Rahman mengeksplorasi, paling tidak, tiga argument dimaksud[7]
:
Pertama, bahwa Allah telah menciptakan bumi
dan segala bentuk kehidupan yang bjumlahnya tidak terhitung atau tidak
diketahui, sehingga hal ini direnungkan, berarti Allah dapat pula menciptakan
manusia yang baru dan bentuk kehidupan lain yang tidak pula diketahui.
Kedua, Sebagaimana menciptakan percikan
api dari kayu-kayuan hijau (yang basah) Allah dapat pula membuat mati dan hidup
secara bergantian,yang kelihatannya mustahil karena dihasilkan dari sesuatu
yang berlawanan. Hal ini, terbukti bahwa Dia menciptakan siang dan malam,silih
berganti, seperti yang diperbuat-Nya terkait dengan kebangkitan dan kejatuhan
bangsa-bangsa. Jika kedua fenomena tersebut adalah “alami “ hingga tak perlu
dipersoalkan, maka fenomena kebangkitan kembali dan penciptaan bentuk-bentuk
kehidupan yang baru,harus pula dipandang sebagai kenyataan yang ‘ Alami’.
Ketiga, contoh yang khas yang diberikan Al
–Qur’an tentang fenomena tersebut, bumi yang menjadi subur di musim semi
setelah ia ‘mati’ di musim salju.
Rahman dalam hal ini telah melakukan eksplorasi yang bersifat deskriptif- analistis. Akan tetapi ini sebenarnya belum merangkum semua argument yang diajukan Al-qur’an. Dinilah tampaaknya Al- Ghozali melengkapinya. Al-Ghozali mempunyai tiga argument yang kiranya luput dari pantauan Rahman, yaitu : Pertama, bahwa sanya Al-qur’an menantang para pengingkar untuk memikirkan sesuatu yang kelihatan sangat mustahil tetapi bagi Allah sangat mudah diwujudkan. Tantangan semacam ini sudah sering disampaikan melalui berbagai konteks, dan selalu terbukti akan kebenarannya. Kedua, kekuasaan Allah tidak dapat terelakkan yaitu dengan mampu membuat Ashhab al-kahf hidup selam ratusan tahun. Hal ini memberi kesan bahwa apapun yang dikehendaki Allah pasti terjadi. Ketiga, mengembalikan sesuatu yang sudah ada sebelumnya pada dasarnya tidaklah berbeda dengan memulai sesuatu untuk yang kedua kalinya.
Rahman dalam hal ini telah melakukan eksplorasi yang bersifat deskriptif- analistis. Akan tetapi ini sebenarnya belum merangkum semua argument yang diajukan Al-qur’an. Dinilah tampaaknya Al- Ghozali melengkapinya. Al-Ghozali mempunyai tiga argument yang kiranya luput dari pantauan Rahman, yaitu : Pertama, bahwa sanya Al-qur’an menantang para pengingkar untuk memikirkan sesuatu yang kelihatan sangat mustahil tetapi bagi Allah sangat mudah diwujudkan. Tantangan semacam ini sudah sering disampaikan melalui berbagai konteks, dan selalu terbukti akan kebenarannya. Kedua, kekuasaan Allah tidak dapat terelakkan yaitu dengan mampu membuat Ashhab al-kahf hidup selam ratusan tahun. Hal ini memberi kesan bahwa apapun yang dikehendaki Allah pasti terjadi. Ketiga, mengembalikan sesuatu yang sudah ada sebelumnya pada dasarnya tidaklah berbeda dengan memulai sesuatu untuk yang kedua kalinya.
Dengan demikian, ada proses saling
melengkapi antara kedua tokoh dalam upaya – upaya menggali argument-argument
Al-qur’an untuk menjelaskan eksistensi kehidupan akhirat. Jadi, penjelasan ini
menyiratkan suatu konsep “ sunnatullah “ bahwa kematian dan kehidupan merupakan
proses yang terjadi secara alami menurut kehendak- Nya. Jika demikian halnya,
maka tentu kematian dan kehidupan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
b. Alam barzah
Secara ontology, persoalan tentang
eksistensi manusia pasca kematian hamper tidak menimbulkan perselisihan yang
fundamental di kalangan ulama. Sebab, Ayat- ayat Al-qur’an sendiri telah
menjelaskan secara gamblang, bahwa sanya manusia akan menerima balasan atas
segala apa yang telah dilakukannya di dunia. Dokktrin tentang
Alam Barzakh adalah doktrin eskatologi yang hanya dianut dalam islam. Dalam
agama lain, agaknya konsepsi Zoroasterianisme ( Majusi)-lah yang memiliki
kemiripan denga doktrin ini, yang juga mengakui adanya Alam Antara, yang
menghubungkan kematian dan kebangkitan – kembali. Namun demikian, sekali pun
kedua doktrin tersebut memiliki kemiripan, akan tetapi keduanya tentu memiliki
landasan argument yang berbeda, sebab dalam doktrin Zoroasterianisme diakui
bahwa manusia akan menjumpai daena-nya setelah tiga hari dari kematian.
Tentang
realitas keberadaan alam barzakh ini, memang tidak ada perbedaan persepsi
dikalangan para ulama’, akan tetapi konflik yang muncul ketika sejumlah ulama,
termasuk Al-Ghozali, mengidentifikasikan Alam Barzakh dengan balasan pahala
atau ganjaran dosa di suatu alam tertentu, kejadian yang berlangsung sejak
manusia meniggal sampai ia dibangkitkan kembali pada hari kiamat. Lebih jauh
menurut Al-Ghozali, manusia, ketika berada dalam kubur (Alam Barzakh) akan
mengalami empat kondisi yang di sesuaikan dengan kualitas masing- masing
perbuatannya ;
Pertama,
diantara mereka ada yang duduk diatas tumitnya sampai matanya hancur
berantakan,sementara jasad sang mayit sendiri berada dalam kondisi bengkak dan
kembali menjadi tanah. Setelah proses ini dilalui, ia akan berputar di Alam
Malakut dibawah langit kedua.
Kedua,
Diantara mereka ada yang diberi oleh Allah rasa kantuk yang luar biasa sehingga
ia tidak bangun dan tidak mengetahui tentang apa yang terjadi sampai kelak
terjadinya peniupan sangkakala ( terompet ) pertama. Diantara orang- orang in I
ada yang berada dikuburnya hanya selam dua atau tiga bulan,setelah itu jiwanya
akan naik keatas burung yang yang terbang ke Surga.
Ketiga,
yang termasuk kedalam kelompok ini, mereka yang apabila jasadnya telah hancur,
rohnya akan naik menuju sangkakala dan terus menempel disana hingga terompet
tersebut ditiupkan.
Keempat,
khusus bagi para Nabi dan Wali Allah, diantara mereka ada yang terus
berkeliling dimuka bumi sampai hari kiamat.
Demikian
gambaran umum formulasi Al-ghozali tentang Alam Barzakh, yang dengan sangat
jelas mengaitkan doktrin ini dengan nikmat dan siksa.
Meskipun
begitu, secara genealogis, gagasan Al- Ghozali ini pada dasarnya berangkat dari
konsepsinya tentang kematian yang mengidentikkannyab dengan “ kiamat kecil’
Implikasinya ,karena istilah kiamat itu sudah mengindikasikan suatu kebangkitan
yang tentu saja disertai dengan pertanggung jawaban beserta konsekuensi siksa
atau ni’matnya. Dari sisi lain yang berbeda, akan terjawab pula implikasi dari
konsep kematian Rahman. Konsepsi Rahman tentang Barzakh sama sekali tidak
bertolak belakang dari Al-ghozali, bila Al-Ghozali sangat meyakini doktrin
siksa dan ni’mat di Alam Barzakh, maka sebalikny a, Rahman memberikan
sangkalan, dengan mengatakan bahwa doktrin eskatologi tentang adanya pengadilan
pra- kiamat yang kemudian di balas dengan kenikmatan atau malah di ganjar
dengan siksaan sebenarnya tidak ditemukan di dalam Al qur’an, melainkan dalam
hadits- hadits. Disamping itu, doktrin ini pada dasarnya merupakan gagasan yang
diadobsi dari ajaran Zoroasterianisme.
Klaim
Rahman ini, sesungguhnya sekaligus meruntuhkan keyakinan teologis yang sudah
berurat-berakar dikalangan umat muslim. Alam Barzakh yang merupakan alam Antara
yang menjembatani kehidupan dunia dan hari kebangkitan, dalam pandangan rahman
itu merupakan gambaran awal dari segala sesuatu yang akan dating. Sehingga
anggapan bahwa perhitungan amal dilakukan setelah kematian seseorang tampaknya
diterima, lantaran hari Perhitungan merupakan masa depan yang tidak bisa
diketahui . karena itulah Rahman lebih meyakini bahwa Surga dan Neraaka telah
dmulai ketika manusia berada di Alam Kubur. Dengaan kata lain, ia tidak
memahami kualitasa barzakg sebagai realitas perantara sebagaimana Al- Ghozali.
Munculnya
klaim Rahman yang memfonis bahwa doktri siksa dan ni’mat Baaarzakh tersebut
merupakan ajaran yang bersumber dari Zoroasterianisme, agaknya telah disinyalir
sebelumnya dalam kontek kritisisme terhadap pendekaatan – pendekatan yang
dilakukan oleh para filsuf dan teolog, sekalipun ia tidak secara eksplisit
menyebutkan Zoroasterianisme
c. Hari
Kiamat
Istilah
“ kiamat” menempati posisi penting dalam Al-qur’an, hal ini terlihat dari
pemberian Nama – Nama Surat, diman, di bandingkan dengan konteks –konteks
lainnya, hanya kontek kiamat saja yang disebutkan dalam sepuluh Nama Surat,
yaitu : Al-Waqi’ah (kejadian), Al-Qiyamah (kiamat), An-Naba (Berita Besar), dan
lain- lain. Peristiwa kiamat, berdasarkan Al-Qur’an, dimula dengan peniupan
Sangkakala yang pertama. Peniupan ini mengakibatkan matinya semua makhluk,
kecuali bagi yang dikehendaki oleh allah.
Al-Ghozali,
dalam kaitan ini, menganggap adaa tiga makhluk yang dikehendaki oleh Allah
yaitu Malaikat Jibril, Mikail, Isrofil dan Malakul Maut. Kemudian pada saatnya
nanti yakni setelah terjadi kehancuran total, Allah akan memerintahkan Malaikat
maut untuk mencabut nyawa, secara berturut- turut ; Malaikat jibril, Mikail,
Isrofil, dan dirinya sendiri Malaikat Maut).
Uraian-uraian
Al-Ghozali tentang lukisan terjadinya kiamat sangat panjang lebar. Berbeda
dengan Rahman ,kenyataan ini disebabkan oleh perbedaan motif kepentingan yang
mendasarinya , yang pada akhirnya berimplikasi pada perbedaan dalam tiytik
tekan atau pembahasannya.
Ketika
berbicara mengenai hari kiamat, tentunya akan dikaitkan dengan kehidupan
setelah hancurnya alam semesta beserta isinya. Pertanyaan yang sering muncul
ialah, apakah kebangkitan-kembali terjadi pada jiwa saja ataukah juga
melibatkan raga jua? Dengan kata lain apakah manusia akan dibangkitkan hanya
dalam “ bentuk” nya yang spiritual (jiwa) ataukah dalam bentuknya yang “utuh” perpaduan
antara jiwa dan raga?.
Kendati
para teolog sama dengan Al –Ghozali dalam penerimaan konsep kebangkitan raga,
mereka berhenti pada titik dimana raga yangdibangkitkan adalah raga baru,karena
raga lama telah lenyap. Sementara Al-Ghozali tetap meyakini bahwa rag lama
itulah yangakan dibangkitkan dan diperbaharui kembali. Mengenai pertanyaan
apakh raga akan dibangkitka bersama – sama dengan jiwa, tampaknya Rahman
memiliki pnadangan yang berbeda dan baru bila dibandingkan dengan Al
–Ghozali,bahkan berbeda dari para filsuf abad pertengahannya semisal Ibn Arabi,
Ibn Sina, dan Ibn Rusyd. Kesimpulan Rahman dalam hal ini adalah bahwa antara
jiwa dan raga tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain secara logis.
Apakah
manusia bisa mendapatkan syafaat saat terjadi hari kiamat atau pasca kiamat?
Pertanyaan itu akan selalu muncul di permukaan dan menimbulkan perbedaan
pandangan antara ulama yang satu dengan yang lain, tidak juga antara Rahman dan
Al-Ghozali. Keyakinan Rahman yang tampak menunjukkan nilai radikalismenya, di
bangun atas dasar bahwa tidak ada seorang atau sesuatu pun yang dapat menolong
manusia didalam ketidakberdayaan dan kesendiriannya di dalam hari kiamat. Hal
ini jelas berbeda dengan pandangan Al-Ghoali yang menanggap bahwa syafaat para
Nabi dan Wali, bahkan semua orang shaleh, bisa diungkapkan sebagai sinar
ketuhanan yang memancar dari sisi tuhan menuju subtansi kenabian, yang dari
subtansi ini sinarnyaakan tersebar menuju subtansi – subtansi yang mempunyai
hubungan erat, Karena ikatan cinta yang demikian kuat, dan lain sebagainya.
d. Surga
dan Neraka
Bagaimanapun
wujud gambaran yang di berikan oleh seseorang terhadap citra surga dan neraka,
keberadaan kedua wujud tersebut bersifat pasti, niscaya, dan mutlak. Hal
inilah, menurut Rahman salah satu dimensi yang terpenting akibat dari adanya
doktrin hari akhir. Jadi, pada dasarnya Rahman menelusuri ide dasar eskatologi
Al-qur’an yang logis dan bermoral. Nampaknya ia ingin memasujki pembahasan
dengan menghadirkan argument-argument teologis yang pelik dan panjang lebar
untuk menunjukkan eksistensi surga dan neraka.
Sebaliknya
Al-Gozali, demi menunjukkan kepada masyarakat luas bahwa surga dan neraka itu
benar- benar ada, memaparkan berbagai argument teologis secara panjang lebar.
Konsepsi Al-Ghozali dimaksud dapat ketika ia coba menjelaskan secara
argumentative tentang eksistensi kenikmatan di surga,yang dijelaskan melalui
argument indrawi, fantasi, dan rasional. Yang dimaksud Al-ghozali secara
indrawi adalah bahwa masing-masing orang di surga mempunyai selera yang berbeda
akibat perbedaan karakteristik mereka sewaktu di dunia. Secara fantasi adalah
bahwa kenikmatan itu merupakan perkara yang sudah jelas (aksiomati). Adapun
secara rasional,dapat dijelaskan dengan mencermati segala sesuatu yang bersifat
indrawi.
Dengan
demikian, jelas bahwa perbedaan fundamental yang tanpak diantara kedua tokoh
diatas dalam kontek ini adalah bahwa Al-Ghozali berusaha memberikan bukti-
bukti teologis yang panjang lebar demi menjustifikasi idenya tentang keberadaan
Surga maiupun Neraka. Sedangkan Rahman tidak secara praktis bmemerlukannya,
formulasi yang di tawarkannya tampaknya tidak ingin terperangkap dalam uraian-uraian
yang bersifat normative teologis. Ia berusaha menjadikan setiap formulasi
intelektualnya senantiasa berada dalam jalur- jalur keilmuan metodologik-akademik,yang
konon kata sementara orang adalah ringkas, padat, analitis, dan kritis.
G.
Kesimpulan
tuhan, manusia dan eskatologi
merupakan ajaran pokok dan menjadi titik panggal dalam memahami agama, tuhan
sebagai personal sekaligus impersonal dalam sebuah kehiduan. Eskatologi
merupakan jalan akhir untuk menuju tujuan akhir manusia, dalam hal ini tidak
bisa lepas dari kekuasaan tuhan, yag mana telah mengatur dalam sendi-sendi
kehidupan.
Manusia tidak menginginkan tuhan,
manusia tidak meginginkan eskatologi namun manusia membutuhkannya, sehingga
manusia tidak bisa lepas dalam belenggu yang mengikat ini.
H.
Daftar Pustaka
Budiono M.A,Kamus
Populer Internasional (Surabaya: Alumni, 2005)
D.E. Trueblood, Filsafat Islam, disadur oleh Prof. Dr.
H. M. Rasjidi, (Jakarta : Bulan Bintang, 2002)
Hadari Nawawi. Hakekat Manusia Menurut Islam (Surabaya:
Al-Ikhlas, 1993)
Hadari Nawawi, Pendidikan Dalam Islam (Surabaya:
Al-Ikhlas, 1993)
Sibawai, Eskatologi Al Ghozalidan Fazlur Rahman,
(Yogyakarta : Islamika, 2004)
[2]
Ibid, hal. 50.
[4] Budiono
M.A,Kamus Populer Internasional (Surabaya: Alumni, 2005) hal.162
[5]
Sibawai, Eskatologi Al Ghozalidan Fazlur
Rahman, (Yogyakarta : Islamika, 2004 ) hal. 21
[6]
D.E. Trueblood, Filsafat Islam,
disadur oleh Prof. Dr. H. M. Rasjidi,( Jakarta : Bulan Bintang, 2002 ) hal.211
[7]
Ibid, hal. 25.
No comments:
Post a Comment