TIPELOGI ALIRAN KEPERCAYAAN KEPADA TUHAN YANG MAHA
ESA
(Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Makalah
Matakuliah Aliran Kepercayaan)
OLEH:
Kelompok III
Brojo
Hermanto
Eqiawati Mantu
Selfiyanti Djkaria
Yusup Mokoagow
IAIN
SULTAN AMAI GORONTALO
FAKULTAS
USHULUDHIN DAN DAKWAH
JURUSAN
FILSAFAT AGAMA
TAHUN
AKADEMIK 2016/2017
A.
JUDUL
Tipelogi
aliran kepercayaan kepada tuhan yang maha esa
B.
LATAR
BELAKANG
Perdebatan antara ”agama”
versus ”aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa” sesungguhnya telah
lama terjadi dan tak kunjung menemukan titik temu. Sesungguhnya, UUD 45 pasal
29, ayat (1) telah memberikan dasar kehidupan keber-agama-an secara
jelas, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini menegaskan bahwa negeri ini memiliki
cita-cita luhur untuk membentuk warga negara yang religius. Pembentukan warga
negara yang religius dimulai dari keyakinan terhadap adanya Tuhan Yang Maha
Esa. Dengan meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa, setidaknya sikap mental yang
ingin dibentuk dalam diri setiap warga, antara lain (1) adanya keyakinan bahwa
setiap tindakan manusia diawasi oleh Tuhan sebagai ”saksi agung” alam semesta;
(2) keyakinan bahwa ada ”Hukum Tuhan” yang berlaku bagi semua tindakan manusia;
(3) keyakinan bahwa manusia tidak ada artinya dihadapan Tuhan; dan (4)
keyakinan bahwa Tuhan adalah asal mula dan kembalinya semua yang ada di dunia ini
(sangkan paraning dumadi). Keyakinan ini diharapkan dapat mengarahkan
tujuan hidup yang hendak dicapai oleh manusia, yaitu kebahagiaan dunia (jagadhita)
dan kesempurnaan rohani (moksa)[1].
Secara de
yure, tersirat dalam pasal 29, ayat (2) bahwa bentuk implementasi dari
keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah ”Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Artinya, setiap
penduduk diberi kebebasan untuk mengejawantahkan keyakinannya terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, baik dengan memeluk agama atau kepercayaan tertentu dan
melaksanakan peribadatan sesuai dengan keyakinannya. Akan tetapi secara de
facto, tampaknya ”Agama” lebih dominan daripada ”aliran kepercayaan”
dalam mengatur kehidupan masyarakat secara luas, misalnya hanya agama yang
tercantum dalam KTP, lamaran kerja, dan berkas-berkas lainnya. Akibatnya,
sampai saat ini belum ada kebebasan bagi individu untuk memeluk suatu aliran
kepercayaan, tanpa memeluk agama.
Ada beberapa pendapat
tentang perbedaan agama dan aliran kepercayaan, antara lain (1) agama memiliki
kitab suci, aliran kepercayaan tidak; (2) agama memiliki nabi, aliran
kepercayaan tidak; (3) agama memiliki tempat suci, aliran kepercayaan tidak;
(4) agama lahir dari wahyu, aliran keperayaan lahir dari budaya spiritual.
Dalam pengertiannya secara an sich, tampaknya pendapat
tersebut seolah-olah benar, tetapi tidak sepenuhnya tepat. Misalnya, di Jawa
beberapa penghayat kepercayaan menggunakan sanggaran atau sanggar
pamujan untuk melaksanakan kegiatan spiritual. Jika kata nabi disamakan
dengan pendiri atau pembawa ajaran, Hindu juga tidak memiliki Nabi sebagaimana
umat Muslim. Namun demikian Hindu memiliki seorang maharsi yang tindakannya dapat
dipedomani sebagai sila yang baik. Sedangkan aliran
kepercayaan memiliki seseorang yang dijadikan sebagai tokoh panutan. Artinya,
dalam taraf-taraf tertentu antara agama dan aliran kepercayaan sesungguhnya
tidak berbeda karena keduanya meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa dan
melaksanakan peribadatan dengan cara-cara tertentu. Atau lebih tepat saya
katakan bahwa aliran kepercayaan adalah ”agama dalam bentuk lain”[2].
Pendapat seperti itu
tentunya masih diragukan, bahkan ditentang oleh agama-agama doktrinal yang
hanya mengajarkan satu kebenaran, yakni kebenaran menurut kitab sucinya
sendiri. Bagi agama doktrinal, penghayat aliran kepercayaan bisa dianggap
sebagai orang yang tak beragama karena tidak melaksanakan agama sesuai dengan
tuntunan kitab suci. Namun, pendapat ini terbantahkan jika kita amati fenomena
penghayat aliran kepercayaan di Bali. Yang terjadi adalah mereka melaksanakan
ajaran-ajaran dari aliran kepercayaan yang dianutnya tanpa meninggalkan ajaran
agama Hindu. Ini menarik untuk dicermati lebih jauh tentang fenomena aliran
kepercayaan di Bali, baik secara filosopis maupun dari peta ajaran Hindu dalam
memandang aliran kepercayaan. Selanjutnya, kajian terhadap fenomena ini dapat
dijadikan untuk menyusus strategi dan bentuk kemasan nilai-nilai ajaran
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sehingga aliran kepercayaan
dapat hidup berdampingan dengan agama-agama yang secara resmi diakui di
republik ini.
C.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Apa yang dimaksud dengan tuhan yang maha esa?
2.
Bagaimana perkembangan alairan kepercayaan
terhadap tuhan yang maha esa?
3.
Untuk apa danya tuhan yang maha esa?
D.
SEJARAH
ALIRAN KEPERCAYAAN
John Herman Randall menyatakan bahwa agama
adalah suatu perjalanan panjang peradaban manusia untuk mendapatkan visi Tuhan
Yang terang dan suci. Tak dapat dipungkiri bahwa kelahiran aliran Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa berlangsung dalam sejarah yang panjang. Proses
sejarah ini penting untuk dikaji lebih dahulu karena Aliran Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan kebudayaan asli nenek moyang yang tetap
bertahan di saat berdatangannya agama-agama baru, seperti Hindu, Budha, Islam,
dan Kristen.
Pertama, Bibit
kelahiran aliran kepercayaan yang ada sekarang ini merupakan hasil interaksi
antara kebudayaan asli Indonesia dengan kebudayaan Hindu-Budha yang datang dari
India. Pertemuan antara bentuk-bentuk kepercayaan asli Indonesia dengan Agama
Hindu yang datang dari India telah menghasilkan agama Hindu Indonesia yang
memiliki keunikan dan kekhasannya sendiri. Sampai dengan keruntuhan Majapahit,
agama Hindu-Budha telah meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi penghayat
kepercayaan terhadap TYME. Hal ini dapat dilihat dari munculnya Mahakawya Mpu
Tantular ”Bhineka Tunggal Ika tan hana dharma mangruwa” yang telah
meletakkan dasar-dasar multikulturalisme di Indonesia. Penyataan mahakawyatersebut,
bahwa ”yang berbeda itu sesungguhnya
adalah satu”, rupanya menjadi landasan filosopis dari aliran kepercayaan
bahwa Tuhan adalah Esa yang dipuja dengan banyak nama (hal ini tidak ada dalam
agama-agama doktrinal). Oleh sebab itu, penghayat kepercayaan menyebut Tuhannya
dengan sebutan Sang Hyang Tuduh,
Sang Hyang Titah, Gusti Hyang Maha Agung, Hyang Maha Suci, yang
nama-nama ini tidak asing dalam agama Hindu di Indonesia.
Kedua, pasca
keruntuhan Majapahit dan masuknya Islam ke Indonesia, aliran kepercayaan
memadukan antara ajaran Agama asli Indonesia, Hindu, Budha, dan Islam. Meskipun
secara kuantitatif agama Islam adalah agama mayoritas di Indonesia, tetapi
dalam kenyataannya masihn banyak orang yang melaksanakan tradisi-tradisi
peninggalan Hindu Budha. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Clifford
Geertz bahwa masyarakat Islam di Jawa dapat dibagi menjadi tiga, yaitu Islam
Priyayi, Islam Abangan dan Islam Santri. Dari ketiganya,
hanya Islam Santri yang dianggap benar-benar melaksanakan ajaran agama Islam,
sedangkan dua lainnya adalah penganut kejawen. Dalam
perkembangannya, lahirlah sastra-sastra suluk dan serat-serat di
Jawa yang mengungkapkan ajaran-ajaran asli leluhur, Hindu-Budha, dan Islam[3].
Ketiga, datangnya
agama Kristen yang membawa ilmu pengetahuan dan tekhnologi, serta ajaran
tentang cinta kasih. Kedatangan agama Kristen ini sedikit banyak turut
mempengaruhi perkembangan aliran kepercayaan di Indonesia dengan pendekatan
baru, yakni cinta kasih pada sesama (welas asih).
Dengan demikian semakin
jelas peta sejarah perkembangan aliran kepercayaan di Indonesia di
tengah-tengah hadirnya agama-agama baru. Oleh sebab itu berbagai paguyuban atau perguruan aliran
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa memiliki nuansa dan penekanan yang
berbeda antara satu dengan lainnya, antara lain (1) berorientasi pada magis-religius; (2)
berorientasi pada upacara ritual; (3) berorientasi pada kehalusan budi
pekerti / olah rasa; dan (4) berorientasi pada cinta-kasih terhadap
sesama.
E. PANDANGAN
HINDU TERHADAP ALIRAN KEPERCAYAAN TERHADAP TYME
Hindu sebagai agama tertua
di dunia memiliki pemikiran yang cukup lengkap terhadap persoalan-persoalan
ketuhanan. Hal ini dapat dirunut dalam perkembangan ajaran ketuhanan dalam perjalanan
kebudayaan manusia, yakni dari tahap animisme hingga pantheisme[4].
1.
Animisme
adalah
keyakinan adanya roh-roh yang mendiami suatu tempat dan dapat
menolong/mengganggu kehidupan manusia. Keyakinan animis ini
rupanya telah ada dalam sejarah Hindu di India, yakni sejak zaman Pra-weda. Hal
ini ditandai dengan penemuan artefak peradaban lembah sungai Sindhu, yaitu
ditemukannya prototipe Siwa Mahayogi, yakni Dewa Siwa sedang bersemadi dan
dikelilingi oleh binatang-binatang. Dalam kenyataannya, animisme masih
melekat dalam kehidupan masyarakat Bali, juga penghayat aliran kepercayaan
lainnya. Misalnya, masyarakat Bali masih memiliki keyakinan adanya roh-roh
halus yang tinggal di pepohonan yang besar sehingga pohon tersebut diberi saput
poleng dan diberi suguhan. Keyakinan ini juga diikuti
oleh para penghayat aliran kepercayaan, misalnya mereka pada umumnya meyakini
bahwa di dalam sebuah tempat terdapat roh-roh halus yang disebut danyang,
mbahe, sing mbau rekso, dan sebagainya. Kemudian setelah Hindu datang
maka keyakinan animis tersebut mendapat sentuhan dari Hinduisme sehingga
melahirkan upacara-upacara keagamaan seperti Tumpek Bubuh, Tumpek Kandang,
Tumpek Landep, Tumpek Wayang, Sad kertih dan sebagainya.
2.
Dinamisme
adalah
keyakinan akan adanya kekuatan gaib di dalam benda-benda, seperti keris, batu
permata, tombak pusaka dan sebagainya. Gejala dinamisme ini juga dapat dengan
mudah diamati dalam kehidupan orang Bali, juga penghayat kepercayaan.
3.
Polytheisme
yaitu
keyakinan akan adanya banyak dewa yang menguasai jadad raya. Dalam ajaran Hindu
dikenal konsep tentang ista dewata yang maknanya kurang lebih
sama dengan konsep polytheisme ini, yakni setiap umat diberi
kebebasan untuk menentukan dewata pujaannya sendiri. Misalnya,
seorang pedagang memuja Bhatari Melanting, petani memuja Bhatara
Sangkara, nelayan memuja Bhatara Baruna, dan
seterusnya. Konsepsi polytheis ini pada hakikatnya juga
diyakini oleh para pengahayat kepercayaan terhadap TYME. Bahkan, nama-nama dewa
Hindu sangat akrab dengan kehidupan masyarakat penghayat kepercayaan, seperti
Sanghyang Baruna, Sanghyang Anantabhoga, dan sebagainya. Walaupun disebut
sebagai aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa ini tidak bermakna
bahwa para penghayat tidak meyakini adanya dewa-dewa atau kekuatan-kekuatan lain
di alam ini, melainkan ini adalah bagian dari konsep teologis mereka.
4.
Monotheisme
yakni
keyakinan hanya ada satu Tuhan. Ini berakna bahwa seluruh aspek ketuhanan yang
dipuja secara terpisah-pisah secara konsepsi monotheisme dapat
diwakilkan atau difokuskan pada pemujaan terhadap satu nama Tuhan. Filosopisnya
adalah jika yang banyak itu sesungguhnya satu, mengapa tidak memuja yang satu
itu saja karena dengan memuja yang satu sama dengan memuja yang banyak. Secara
konseptual, dasar-dasar monotheisme di Bali diletakkan oleh Danghyang
Dwijendra, yaitu pendirian Padmasana dalam setiap bangunan
pura. Konsep padmasana ini merupakan loncatan teologis
masyarakat Hindu di Bali dari polytheis menuju monotheis. Dalam konsep ini,
Tuhan dipandang sebagai ”makhluk istimewa” yang keberadaannya berada di luar
manusia[5].
5.
Monisme
adalah
paham ketuhanan yang menyatakan bahwa hanya ada satu Tuhan sebagai hakikat dari
segala yang ada. Maksudnya, segala perbedaan yang tampak ada di alam semesta
ini adalah maya, sedangkan yang sungguh-sungguh nyata adalah
Tuhan itu sendiri, jiwa alam semesta. Sampai di sini kita
sesungguhnya telah berbicara tentang upanisad, dimana yang
nyata hanyalah brahman. Segala yang ada ini semua adalah brahman yang
turun kesadarannya akibat pengaruh maya, dan saatnya nanti
ketika maya telah teratasi maka semuanya akan kembali
kepada brahman yang berkesadaran, manunggaling kawula lan
gusti. Inilah landasan filosopis aliran-aliran kepercayaan yang
berorientasi pada ajaran kasampurnan.
6. Pantheisme
adalah paham pluralisme
yang menyatakan bahwa Tuhan adalah semua ini. Ketika manusia telah sampai pada
tingkat kesadaran yang tertinggi, dia akan meihat Tuhan dalam diri setiap
makhluk, apapun itu. Paham tat twam asi(engkau adalah itu)
dan vasudeva kutumbakam (semua makhluk bersaudara) adalah
kesadaran semesta tertinggi yang hanya mungkin tercapai ketika manusia telah
mengalami pencerahan rohani. Ketika manusia telah bisa menyadari bahwa segala
yang ada di alam ini adalah Tuhan, maka tiada alasan baginya untuk tidak cinta
kasih, welas asih kepada semua makhluk. Ini adalah puncak dari
kesadaran manusia yang sesungguhnya ingin digali oleh para penghayat
kepercayaan melalui tapa, brata, yogadan samadhi.
Sampai disini dapat
dipahami bahwa Hindu memberikan konsep ketuhanan yang sangat luas dan dalam, di
mana aliran kepercayaan berenang di dalamnya. Pada hakikatnya, seluruh paham (isme)
tersebut terangkum dalam beberapa kesusasteraan Hindu, baik dalam Weda Sruti,
Smerti maupun dalam sastra-sastra Hindu berbahasa Jawa kuno, antara lain
sebagai berikut[6].
”Indram mitram warunam
agnim
Ahur atho diwyah,
ekam sad viprah bahuda
vadanti”
Mereka menyebut Indra,
Mitra, Waruna, Agni, dan dia yang bercahaya yakni Garutman yang bersayap
elok. Tuhan adalah Esa, namun orang bijaksana menyebutnya dengan banya nama. (Rg.Weda I.
164. 46)
”Narayano na dwityo asti
kascit” (Narayana adalah suci, Esa,
tiada duanya
(Narayanopanisad)
”Ekam evam adwityam
Brahman” (hanya satu Tuhan tiada duanya)
(Swetaswatara Upanisad)
”Suvarnam viprah kavayo
vacobhir,
Ekam santam bahuda
kalpayanti
(Walaupun Tuhan itu Esa,
tetapi para pujangga yang bijaksana mengungkapkan dengan banyak nama yang indah
di dalam karya mereka). (Rg. Veda X.114.5)
”sakwehning jagat
kabeh, mijil sangkeng Bhatara Siwa ika, lina ring Bhatara Siwa ya”
(Semua yang ada di alam ini
muncul dari Bhatara Siwa dan akan kembali kepada Bhatara Siwa Juga). (Bhuwana
Kosa, III.80)
”Ekatva Anekatwa
swalaksana Bhatara”
(Sifat Bhatara adalah Eka
dalam Aneka, satu dalam yang banyak dan yang banyak itu satu). (Jnanasidhanta)
”Bhineka Tunggal Ika tan
hana dharma mangrwa”
(Yang berbeda itu, satu
itu, tidak ada dharma yang mendua). (Kakawin Sutasoma)
Sebagai sebuah agama, Hindu
memformulasikan dasar-dasar keyakinannya dalam lima hal, disebut Panca
Sradha. Jika dicermati lebih dalam, sesungguhnya pokok-pokok ajaran
filsafat Jawa (kejawen) tidaklah bertentangan dengan dasar-dasar
keyakinan Hindu tersebut. Hindu dan kejawen sama-sama
meyakini bahwa asal mula dari segala yang ada ini adalah dari Sang Hyang Titah,
Sang Hyang Widdhi Wasa, Sang Hyang Manon, Sang Hyang Wenang dan banyak lagi
nama-nama Tuhan dalam kehidupan spiritual masyarakat Jawa. Hindu dan kejawen sama-sama
meyakini bahwa jiwa manusia adalah Tuhan itu sendiri, bahwa atman dengan brahman adalah
tunggal (brahman atman aikyam), dalam keyakinan Jawa disebutkan bahwa
antara kawulodengan gusti sejatinya adalah satu “loro-loroning
atunggal”. Bahwa keyakinan tentang hukum karma phala adalah
dasar etika orang Jawa yang meyakini bahwa setiap yang berbuat pasti akan
memetik hasilnya, ngunduh wohing pakarti (memetik buah dari
perbuatan). Bahwa roh-roh yang belum mendapatkan kebebasan akan menjelma
kembali ke dunia untuk berganti wadah kasar atau tubuh yang dikenal dengan
ungkapan salin klambi (berganti baju), bahwa raja-raja di Jawa
adalah penitisan dari Dewa untuk menjalankan dharma dan
mensejahterakan dunia adalah keyakinan orang Jawa tentang tumitisan.
Dan, tentunya moksa bagi umat Hindu dan orang Jawa adalah
tujuan tertinggi yang ingin dicapai dalam kehidupannya, yaitu manunggaling
kawula lan gusti[7].
Lebih lanjut, Hindu
mengajarkan empat jalan (catur marga) untuk menghayati Tuhan, yaitu
melalui jalan kerja (karma marga), jalan bhakti (bhakti marga),
jalan pengetahuan (jnana marga), dan jalan yoga (raja marga).
Dasar-dasar aliran kepercayaan yang ada di Indonesia sesungguhnya menjalankan,
satu, sebagian atau seluruhnya dari keempat jalan tersebut. Jalan karma misalnya,
dapat diartikan sebagai jalan berhubungan dengan Tuhan melalui tindakan ritual
(karma kanda)maupun tindakan etika (subha karma). Aliran
kepercayaan yang menekankan ajarannya pada tindakan ritual akan melakukan
berbagai ritual sebagai bentuk pelestarian tradisi, seperti petik laut,
grebeg suro, wisuda bumi, dan sebagainya. Sedangkan aliran kepercayaan
lainnya menekankan pada tindakan etika yang berpuncak pada terbentuknya
kepribadian manusia yang berbudi pekerti luhur dan welas
asih terhadap sesamanya.
Selanjutnya bhakti
marga, oleh masyarakat kejawen sering disebut panembah.Artinya,
jalan berhubungan dengan Tuhan melalui sembah dan persembahan. Adalah perpaduan
antara tindakan ritual dan sembahyang atau sujud bhakti kepada
Tuhan. Aliran Sapta Dharma misalnya, melakukan ritual sujud-an
kepada Allah Yang Maha Agung untuk menggali rasa (olah rasa) yang
ada dalam dirinya. Bhakti marga adalah jalan untuk
mendapatkan nur (cahaya pencerahan) dari Tuhan. Sementara
itu, jnana marga (jalan pengetahuan) banyak dilakukan oleh
para penghayat aliran kepercayaan yang gemar menekuni sastra, gending,
kekidungan dan sebagainya untuk menemukan mutiara-mutiara kebijaksanaan.
Melalui jalan membaca dan mendiskusikan sastra-sastra maka tumbuh kebijaksanaan
dalam diri setiap penghayat. Bagi pengikut aliran ini maka tindakan ritual yang
dilakukan lebih banyak berupa bedah sastra, perenungan mengenai makna
yang terkandung di dalamnya, sampai akhirnya muncul kesadaran dirif[8].
Namun, pada dasarnya semua
aliran kepercayaan tidak dapat melepaskan diri dari ajaran raja marga
yoga (jalan spiritual). Inilah yang melandasi corak aliran kepercayaan
di Indonesia kental dengan nuansa magis-religius. Nuansa magis-religiusini
terjadi oleh perpaduan antara tradisi ritual (sesaji) dan tindakan
spiritual (tapa, brata, yoga, dan samadhi). Berbicara
mengenai magis-religius ini tak dapat dilepaskan dari bentuk
kebudayaan asli Indonesia dan perpaduannya dengan ajaran Tantra dari India yang
dikembangkan oleh Hindu-Budha di masa lalu. Terdapat untaian benang merah dari
sejarah spiritual masa lalu yang masih dipertahankan hingga saat ini oleh para
penghayat kepercayan terhadap TYME. Kesan yang dapat ditangkap dari uraian ini
adalah Agama Hindu-Budha telah memberikan dasar spiritualitas yang kokoh dalam
diri bangsa ini sehingga aliran kepercayaan masih tetap bertahan hingga saat
ini, di tengah-tengah menguatnya formalisme dan fanatisisme agama-agama
doktrinal.
Bagaimana dengan di Bali ?
Para penghayat kepercayaan
di Bali mungkin lebih arif dalam menerapkan agama dan kepercayaannya. Sebagai
bandingan, secara konseptual agama-agama doktrinal tidak akan memberikan ruang
bagi perkembangan aliran kepercayaan, bahkan secara ekstrim mungkin
menganggapnya sebagai tindakan musryik. Akan tetapi, agama
Hindu di Bali memberikan ruang yang luas bagi perkembangan aliran kepercayaan
karena dalam praktiknya, orang Bali yang menganut aliran kepercayaan tertentu
tidak pernah meninggalkan tradisi beragama Hindu seperti yang telah mereka
warisi selama ini. Sederhananya, tidak ada orang Bali yang ngutang
sanggah(menelantarkan merajan-nya) hanya demi memeluk satu
aliran kepercayaan tertentu. Hal ini juga karena ada kesesuaian antara ajaran
Hindu dan aliran kepercayaan. Misalnya, konsep sadulur papat lima
pancer yang merupakan budaya asli nusantara dan diyakini oleh hampir
seluruh aliran kepercayaan, secara nyata telah dilaksanakan di Bali secara
turun-temurun. Konsep ini di Bali disebut dengan nyama catur/kanda
pat, yang perkembangannya justru lebih luas dari di Jawa. Di
Jawa, nyama catur tidak lagi dibagi-bagi menjadi kanda
pat bhuta, rare, dewa, sari, seperti di Bali. Artinya, strategi dan bentuk
kemasan aliran kepercayaan di Bali, setidaknya dapat dijadikan model untuk
menyusun strategi dan bentuk kemasan aliran kepercayaan di Indonesia.
F.
NILAI-NILAI AJARAN KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN
YANG MAHA ESA
Untuk
menyusun strategi dan bentuk kemasan nilai-nilai ajaran kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa maka perlu adanya kesepakatan pemahaman bahwa aliran
kepercayaan tidak layak dipertentangkan dengan agama. Hal ini penting agar terjadi
hubungan yang harmonis antara pemeluk agama dengan penghayat aliran
kepercayaan. Sebaliknya, aliran kepercayaan mesti dikembalikan ke ide awal
pembentukannya, yakni ”kemerdekaan” dalam beribadat dan menghayati Tuhan.
Kemerdakaan yang dimaksud adalah aliran kepercayaan terbebas dari
doktrin-doktrin yang mengikat pengikutnya. Aliran kepercayaan pada hakikatnya
hanya memberikan petunjuk-petunjuk hidup duniawi dan hidup spiritual, tetapi
secara praksis tidak mengatur tata cara ber”kepercayaan”, sebagaimana diatur
oleh agama. Misalnya, aliran kepercayaan tidak mesti memiliki tempat suci
karena tempat suci ada dalam diri, aliran kepercayaan tidak mesti memiliki
kitab suci karena kitab suci ada dalam diri, aliran kepercayaan tidak mesti
memilki hari-hari suci karena setiap hari adalah suci, dan aliran kepercayaan
tidak mesti memiliki aturan beribadah karena beribadah adalah hubungan pribadi
antara manusia dengan Tuhan.
Kearifan ini penting untuk menjaga terjadinya
benturan antara agama yang secara sah diakui di Indonesia dengan penghayat
kepercayaan yang nota bene, juga adalah umat beragama. Selanjutnya, strategi
dan bentuk kemasan aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dapat
diuraikan sebagai berikut.
1.
Aliran kepercayaan adalah kebudayaan
spiritual asli nusantara yang mesti dilestarikan keberadaannya.
2.
Penghayat aliran kepercayaan mesti
mendapatkan pembinaan dari pemerintah karena pada dasarnya mereka juga adalah
bagian integral dari negeri ini.
3.
Pada dasarnya aliran kepercayaan tidak
bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 karena mengakui adanya Tuhan Yang
Maha Esa.
4.
Aliran kepercayaan merupakan tuntunan rohani
yang memberikan kemerdekaan bagi penghayatnya untuk beribadah sesuai dengan
keyakinannya masing-masing.
5.
Bentuk dan kemasan nilai-nilai kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa harus diperkenalkan melalui pendekatan
sosiokultural. Artinya, bentuk kemasan itu tidak bertentangan dengan
norma-norma umum yang berlaku dimasyarakat serta dapat disesuaikan dengan local
genious (kearifan lokal) masyarakat.
6.
Pada prinsipnya, ajaran-ajaran kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa cukup fleksibel dan dapat hidup dalam diri orang
yang menganut agama yang berbeda. Oleh sebab itu bentuk dan kemasan ajaran
kepercayaan terhadap TYME harus memenuhi aspek spiritualitas, etika
moralitas, dan pengembangan nilai-nilai nasionalisme. Ketiganya
penting untuk dipenuhi agar keberadaan aliran kepercayaan tidak menimbulkan
disintegrasi bangsa.
7.
Para tokoh aliran kepercayaan perlu duduk
bersama dengan tokoh-tokoh agama untuk mensosialisasikan ajaran-ajaran
kepercayaan dan merumuskan langkah bersama agar keduanya dapat berjalan
harmonis, selaras dan seimbang[9].
G. KESIMPULAN
”Dunia ini dipenuhi dengan orang gila,
termasuk juga aku.
Ada yang gila harta benda,
dan sebagian lagi gila akan kemahsyuran dan kemolekan tubuh wanita, namun aku
lebih beruntung karena kegilaanku adalah untuk bertemu dengan Tuhan” (Ramakrhsna
Paramahamsa)
Sesungguhnya setiap orang menginginkan
kebahagiaan, baik jasmani maupun rohani. Untuk itulah setiap manusia berusaha
untuk mendapatkannya dengan berbagai cara. Dari semua cara yang ada, tiada cara
yang lebih bijak kecuali spiritualitas. Dengan spiritualitaslah semua tujuan
hidup mungkin tercapai.
Spiritualitas menyingkap batas ruang, waktu,
dan tindakan manusia. Seperti dijelaskan oleh Gita bahwa ”Dengan jalan apapun
engkau datang kepadaKU, maka dengan jalan dan cara itu pula AKU hadir di
hadapanmu”. Inilah sabda Tuhan bahwa di jalan spiritual tidak ada jalan yang
satu lebih tinggi daripada jalan yang lain. Yang terpenting adalah disiplin dan
komitmen diri terhadap jalan dan cara yang telah dipilih. Niscaya, Tuhan akan
selalu bersama kita.
”Pandanglah bangsa ini
dengan kacamata MULTIKULTURALISME,
Dan bangunlah bangsa ini
dengan NASIONALISME,
Raihlah kemuliaan dengan
SPIRITUALISME
Niscaya, pintu kebahagiaan
dan kedamaian akan terbuka untukmu ”
H.
DAFTAR PUSTAKA
Beatty, Andrew. Variasi
Agama di Jawa. (Jakarta.
PT. Raja Grafindo Persada, 2001).
Endraswara, Suwardi. Mistik
Kejawen. (Yogyakarta:
Hanindita, 2003).
Endraswara, Suwardi. Budi
Pekerti Dalam Budaya Jawa. (Yogyakarta:
Hanindita, 2003).
Geertz, Clifford. The
Religion of Java. (Glencoe,III:
The free Press, 1960).
Geria, I Wayan. Transformasi
Kebudayaan Bali memasuki Abad XXI. (Denpasar:
Percetakan Bali, 2000).
Gunadha, Ida Bagus. Pengantar
Mata Kuliah : Veda. (Program
Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan, UNHI Denpasar, 2005)
Herusatoto, Budiono. Simbolisme
Dalam Budaya Jawa. (Yogyakarta:
Hanindita, 2003)
Koentjaraningrat. Kebudayaan
Jawa. (Jakarta: Balai Pustaka,
1994).
Koentjaraningrat. Kebudayaan
Mentalitas dan Pembangunan. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2004).
[1] Beatty,
Andrew. Variasi Agama di Jawa. (Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada, 2001), Hal.
56.
[2] Endraswara,
Suwardi. Mistik Kejawen. (Yogyakarta: Hanindita, 2003), hal. 61.
[3] Endraswara,
Suwardi. Budi Pekerti Dalam Budaya Jawa. (Yogyakarta: Hanindita, 2003), hal.
37.
[4] Geertz,
Clifford. The Religion of Java. (Glencoe,III: The free Press, 1960), hal. 89.
[5] Geria,
I Wayan. Transformasi Kebudayaan Bali memasuki Abad XXI. (Denpasar: Percetakan
Bali, 2000), hal. 46.
[6] Gunadha,
Ida Bagus. Pengantar Mata Kuliah : Veda. (Program Magister Ilmu Agama dan
Kebudayaan, UNHI Denpasar, 2005), hal. 91.
[7] Herusatoto,
Budiono. Simbolisme Dalam Budaya Jawa. (Yogyakarta: Hanindita, 2003), hal. 42.
[8] Koentjaraningrat.
Kebudayaan Jawa. (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hal. 66.
[9] Koentjaraningrat.
Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2004), hal. 24-29.
No comments:
Post a Comment