MAKALAHKU: MUHAMMAD IQBAL

SELAMAT DATANG DAN SEMOGA BERMANFAAT

Tuesday, July 25, 2017

MUHAMMAD IQBAL

MUHAMMAD IQBAL
(Di Asia Selatan Pakistan)
A.    Latar Belakang
Muhammad Iqbal dilahirkan di Sialkot, Punjab, Pakistan pada 9 November 1877[1]. Nenek moyangnya berasal dari keluarga Muslim yang taat yang telah memeluk Islam tiga abad sebelum kelahirannya. Ayah dan kakeknya adalah orang-orang yang selalu hidup dalam tradisi sufistik.
Pendidikan awalnya ditangani oleh ayahnya sendiri. Kemudian ia dimasukkan ke Maktab (madrasah) untuk belajar al quran. Selanjutnya, Iqbal masuk Scottish Mission School di Sialkot. Di sini ia bertemu dan belajar dengan Mir Hasan, seorang ulama sufi yang kelak memberi pengaruh dalam perkembangan pemikiran dan kepribadiannya. Setelah tamat dari Scottish, 1895, Iqbal melanjutkan pendidikannya ke Government College di Lahore dan berguru pada Sir Thomas Arnold. Lewat Arnold lah untuk pertama kalinya Iqbal berkenalan dengan pemikiran Barat, sebelum nantinya berinteraksi langsung ketika belajar di sana. Iqbal memyelesaikan B.A.-nya dalam bidang bahasa Arab pada 1897 dan M.A. di bidang filsafat tahun 1899.
Pada tahun 1905, atas saran Thomas Arnold, Iqbal meneruskan studi di Trinity College, Cambridge, Inggris dan belajar pada filsuf McTaggart dan James Ward. Di samping itu, ia juga mengikuti kursus tentang hukum. Dari Inggris, Iqbal melanjutkan studi ke Jerman untuk mengambil gelar Doktor (Ph.D.). Pada 4 November 1907, Iqbal berhasil mempertahnkan desertasi doktornya yang berjudul The Development of Methaphysics in Persia.
Menurut Wilfred Cantwell Smith, ada tiga hal yang turut mempengaruhi pemikiran perkembangan keislaman Iqbal ketika beradsa di Eropa. Hal ini kelak semakin mengkristal dalam aktivitas dan gerakannya, setelah ia kembali ke negerinya, India, untuk menyadarkan umat Islam yang sedang terlena. Pertama, vitalitas dan aktivitas kehidupan orang Eropa yang luar bias; kedua,berhubungan dengan yang pertama, Iqbal menangkap visi yang sangatmungkin dikembangkan dalam kehidupan bangsa-bangsa Timur berupa potensi diri yang telah begitu luas dikembangkan oleh Barat; ketiga, ada bagian tertentu kehidupan Barat yang melahirkan manusia-manusia yang terpecah kepribadiannya (split personality). Peradaban Barat yang ditandai semangat kapitalisme dan liberalism, dalam pandangan Iqbal, memberi andil yang besar bagi tumbuhnya keputusasaan individu. Hal ini menjadi sasaran kritik Iqbal[2].
Dari kutipan ini jelaslah bahwa Iqbal sangat kritis menghadapi dan menanggapi nilai-nilai Barat. Iqbal dapat menerima vitalitas dan dinamika masyarakatnya yang begitu tinggi dalam menjalankan kehidupan, karena hal ini tidak bertentangan dengan Islam. Sebaliknya hal-hal yang berlawanan dengan semangat ajaran Islam dikecam Iqbal. Peradaban Barat memang maju, tetapi kering dari nilai-nilai spiritual keagamaan. Dalam syairnya, Iqbal mengungkapkan bahwa peradaban Barat sebenarnya merupakan lembah kegelapan yang kekurangan mata air kehidupan. Iqbal mengungkapkan seperti buah yang ranum yang kelak akan jatuh meluncur[3].
Dalam pergulatannya dengan nilai-nilai Barat, Iqbal melihat ada yang hilang dari peradaban Barat, yaitu semangat spiritual dan transcendental. Barat terlalu menumpukkan segala permasalahan pada akal dan rasio dan menafikan keberadaan hal-hal yang bersifat immateri.
Pada tahun 1931 dan 1932, Iqbal mewakili Liga Muslim dalam Konferensi Meja Bundar di London. Konferensi ini membahas tentang konstitusi baru bagi India. Kemudian, pada tahun selanjutnya, ia menghadiri konferensi yang sama, juga di London. Dalam perjalanan pulang, Iqbal sempat singgah di Cordova, Spanyol, untuk menyaksikan sisa-sisa peninggalan kejayaan Islam di sana.
Sejak tahun 1935, kondisi kesehatan Iqbal menurun drastic. Penyakit kencing manis yang dideritanya semakin parah. Akhirnya, pada 21 April 1938 Iqbal menghembuskan nafas terkhir. Meskipun tidak sempat menyaksikan wujud impiannya berdiri satu negara tersendiri di anak Benua India, cita-cita ini dilanjutkan oleh temannya , yaitu Muhammad Ali Jinnah. Pada 15 Agustus 1947, umat Islam pun berhasil mendapatkan satu negara merdeka yang terlepas dari hegemoni Hindu dengan nama Pakistan
B.     Karya-karya Muhammad Iqbal
Sumbangan terbesar Iqbal di bidang pendidikan dan pengajaran ialah filsafat kepribadiannya. Ini ia terapkan pada pendidikan, pengajaran, dan seni dalam kebanyakan sajak-sajaknya. Mengenai filsafat pendidikan menurut Iqbal, ini telah diuraikan oleh Prof. K. G. Sayidain dalam karyanya Iqbal’s Educational Philosophy.[4]
Dalam kapasitasnya sebagai seorang pemikir, Iqbal banyak menulis puisi-puisi yang menyentuh dan menggerakkan emosional umat Islam untuk bangkit dari keterbelakangan dan kebodohan mereka. Selain itu Iqbal dikenal sangat kreatif dan sangat produktif dalam melahirkan gagasan-gagasannya tentang berbagai bidang, seperti sosial, politik, budaya, hukum dan pemikiran Islam. Dalam menuangkan gagasannya, Iqbal banyak menggunakan bahasa Urdu, Persia dan Bahasa Inggris. Dalam hal puisi, di antara 12.000 puisi yang telah ditulisnya, ada sekitar 7.000 puisi yang oleh Iqbal tulis dalam bahasa Parsi.
Sekembalinya ke Tanah airnya, Pada masa Pakistan ini, belasan buku telah dihasilkan Iqbal. Tulisan pertamanya adalah Stray Reflection, yang mulai ditulisnya pada 27 April 1910. Buku ini merupakan catatan-catatan lepas tentang hal-hal yang dilihat dan dialaminya. Namun penulisan buku ini terhenti karena alasan yang tidak pasti. Lima tahun kemudian, Pada 1915, Iqbal menerbitkan kumpulan puisinya dengan judul Asrar-e-Khudi (Rahasia Jiwa) dalam bahsa Parsi. Puisi ini berisi tentang konsep ego dan tekanan jiwa dari sebuah agama dan pandangan spiritual.
Kemudian, berturut-turut Iqbal menulis Rumuz-e-Bekhudi (Isyarat tidak ego (1918)), Asrar-e-Rumuz (isyarat rahasia), Payam-e-Mashriq (Pesan dari Timur (1923)), Zabur-e-Ajam (Mazmur Persia (1927)), Gulshan-e-Raz-e-Jadeed (Rahasia baru hutan), Bandagi Nama (buku perbudakan), Javed Namah (buku Javed (1923)).
Adapun puisi yang ditulis Iqbal dalam bahasa Urdu antara lain, Bang-e-Dara (Panggilan Lonceng (1924)), Tarana-e-Hind (Lagu India), Tarana-e-Milli (lagu nasional komunitas Muslim), Tulu’i Islam (Kemunculan Islam), Khizr-e-Rah (Jalanan panduan), The Bal-e-Jibril (sayap-sayap Jibril (1935)), Pas Cheh Bayed Kard ai Aqwam-e Sharq (Apa yang harus kita lakukan wahai Negara-negara Timur? (1936)), Musafir (penjelajah (1933)), karya terakhirnya adalah Armughan-e-Hijaz (Hadiah dari Hijaz (1938)) yang diterbitkan beberapa bulan setelah Iqal wafat.
Setelah disertasi doktoralnya, buku kedua Iqbal yang ditulis dalam bahasa Inggris adalah The Reconstruction of Religious Thoughts in Islam. buku ini adalah kumpulan  enam kuliah yang disampaikan oleh Iqbal di Madras, Hyderabad, dan Aligarh. Buku ini pertama kali diterbitkan di Lahore pada 1930. Di dalam buku ini, Iqbal menyatakan bahwa Islam adalah agama, politik, dan filsafat. Iqbal menolak praktik politik yang dilakukan oleh politisi Muslim yang tidak bermoral, tersesat, mementingkan kekuasaan, dan tidak mau berdiri bersama masyarakat Muslim.[5]
C.    Pemikiran Muhammad Iqbal
1.      Sikap Keberagamaan Iqbal Dan Pandangannya terhadap Ideologi Barat
Sikap keberagamaan Iqbal penting kiranya sekilas disebutkan dalam makalah ini, guna mengetahui bagaimana aplikasi dari pemikiran ketuhanan Iqbal dalam menghadapi persoalan global umat manusia di berbagai belahan dunia.
a.       Pandanganya terhadap Nasionalisme
Sebagai anak dari bangsa yang terjajah, pemikiran Iqbal terhadap gagasan dan ideologi Barat mengalami perkembangan. Pada masa awal kehidupanya ia sangat mendukung perjuangan orang-orang Hindu dan Muslim untuk menentang dan menuntut kemerdekaan dari Inggris. Adapun pandangan Iqbal tentang Ideologi Barat Pada awalnya ia simpati terhadap nasionalisme India dan mengiginkan penyatuan komunitas ini ke dalam sebuah negara. Namun setelah menempuh pendidikan di Eropa, Iqbal mengubah pandangannya dan menolak nasionalisme yang semula dikumandangkannya itu. Karena pada kenyataanya kerjasama antara kedua golongan ini adalah semu belaka. Mayoritas orang hindu dalam semangat nasionalismenya membawa konsep Hinduisme yang bertentangan dengan Islam.
Ide Iqbal bahwa umat Islam India merupakan suatu bangsa dan oleh karena itu memerlukan satu negara tersendiri tidaklah bertentangan dengan pendirianya tentang persaudaraan dan persatuan umat Islam. Ia bukanlah seorang nasionalis dalam arti sempit. Ia sebenarnya adalah seorang Pan Islamis.
Ketika di Eropa ia melihat bagaimana nasionalisme memainkan peranan dalam perluasan nafsu imperialisme dan kolonialisme Barat terhadap Dunia Timur (Islam). Iqbal juga menyaksikan bagaimana kekuatan-kekuatan Eropa memecah-belah Dunia Islam, terutama di Timur Tengah dan di Afrika Utara. Mereka memecah-belah kerajaan Turki Usmani yang sudah lemah menjadi negara-negara kecil atas nama nasionalisme.
b.      Pandangannya terhadap Demokrasi
Pandangannya terhadap demokrasi bertitik tolak dari keyakinannya, pada ajaran Islam. Namun penilaiannya terhadap demokrasi tidak dapat dipisahkan dari praktek-praktek yang yang dilakukan oleh negara-negara Eropa. Iqbal menilai kelemahan dalam demokrasi Barat sedikitnya ada tiga kelemahan.
1.      Demokrasi dimanfaatkan oleh politisi-politisi professional Eropa untuk memanipulasi dan memaksakan kehendak mereka. Partai politik yang berkuasa, dengan mengatas namakan etika politik, memaksa rakyat untuk mengikuti mereka. Meskipun bertentangan dengan keyakinan dan hati nurani rakyatnya. Dalam kecamannya, Iqbal menegaskan bahwa para politisi yang mengatas namakan demokrasi tersebut adalah orang-orang yang sangat jahat. Sehingga dengan kejahatannya itu, kehadiran syetan tak diperlukan lagi didunia ini.
2.      Praktek-praktek demokrasi modren ternyata telah mengakibatkan korupsi moral dalam prilaku politik. Banyak penyimpangan moral yang dilegitimasi atas dasar prinsip-prinsip demokrasi liberal. Demokrasi yang merupakan prinsip kekuasaan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat dalam pandangan Iqbal, telah mengabaikan nilai-nilai agama. Parlemen yang merupakan alat dapat saja menetapkan suatu hukum yang bertentangan dengan agama, kalau saja para anggotanya menghendaki.
3.      Demokrasi Eropa, dengan memisahkan agama dari kehidupan politik, dijadikan sebagai alat eksploitasi oleh manusia terhadap manusia lainnya. Iqbal menyatakan bahwa demokrasi adalah akar-akar eksploitasi kaum kapitalis. Pada prinsipnya Iqbal dapat menerima konsep demokrasi, akan tetapi bentuknya yang ideal bukanlah seperti yang diterapkan oleh negara-negara Eropa . Iqbal menawarkan gagasan demokrasi spritual yang diilhami dan dipraktikkan oleh generasi sahabat[6]. Prinsip-prinsip demokrasi spritual itu adalah:
a.       Pemilihan merupakan satu-satunya cara yang tepat untuk mengekspressikan kehendak rakyat. Ekspressi kehendak sebahagian rakyat dianggap batal dan tidak berlaku.
b.      Secara de facto, kedaulatan terletak ditangan rakyat.
c.       Masyarakat muslim berdasarkan pada kesamaan mutlak para anggotanya.
d.      Kepala negara tidak berarti imam tertinggi dalam Islam. Dia bukanlah wakil Tuhan di bumi. Ia harus tunduk pada hukum Tuhan, karena kedudukannya sama di depan hukum.
e.       Pemilihan berhak menuntut pengunduran diri kepala negara atau pemecatan bawahanya, jika tingkah laku mereka bertentangan dengan hukum syariat.
Kritikan terhadap demokrasi yang berkembang juga dikatakan oleh intelektual Pakistan ternama M. Iqbal. Menurut Iqbal, sejalan dengan kemenangan sekularisme atas agama, demokrasi modern menjadi kehilangan sisi spiritualnya sehingga jauh dari etika. Demokrasi yang merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah mengabaikan keberadaan agama. Parlemen sebagai salah satu pilar demokrasi dapat saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan nilai agama kalau anggotanya menghendaki.  Atas dasar itu, Iqbal menawarkan sebuah konsep demokrasi spiritual yang dilandasi oleh etik dan moral ketuhanan. Jadi yang ditolak oleh Iqbal bukan demokrasinya melainkan, prakteknya yang berkembang di Barat. Lalu, Iqbal menawarkan sebuah model demokrasi sebagai berikut :
    Tauhid sebagai landasan asasi
    Kepatuhan pada hukum.
    Toleransi sesama warga.
    Tidak dibatasi wilayah, ras, dan warna kulit.
    Penafsiran hukum Tuhan melalui ijtihad.
2.      Pandangannya  terhadap Komunisme
Pandangan Iqbal tentang komunisme berkaitan erat dengan perkembangan masyarakat dunia yang disaksikannya saat itu. Iqbal melihat penindasan yang dilakukan kaum kapitalis borjuis terhadap pekerja dan kelas ekonomi lemah. Penindasan ini semakin memperbesar jurang perbedaan antara orang-orang kaya dengan orang-orang miskin, antara borjuis dengan kaum proletar.
Namun dalam melihat penyebab dan mencarikan solusi untuk mengatasi ketimpangan sosial dan ketidakadilan tersebut, Iqbal mendiagnosis bahwa kondisi demikian disebabkan oleh pemisahan manusia dari nilai-nilai spritual dan agama. Manusia teralienasi dari agama sehingga mereka menjadi srigala atas yang lain (homo homini lupus). Karena, itu Iqbal menawarkan penyembuhan tersebut dengan mengembalikan manusia kepada kesadaran ketuhannanya. Ini berbeda dengan ajaran komunisme yang memandang semuanya dari sudut ekonomi semata dan mengajarkan penyembuhannya dengan teori pertentangan kelas (class conflict).
Menurut Iqbal, komunime tidak memiliki landasan spritual dan tidak mempercayai Tuhan sebagai pencipta. Bagi komunisme, individu hanyalah instrumen untuk melakukan revolusi kelas proletar. Komunisme juga menolak agama dan menganggapnya sebagai candu yang membius masyarakat. Dalam kritiknya ,Iqbal menyatakan bahwa Karl Marx tidak melihat cahaya kebenaran agama. Ia melandasi agamanya hanya pada persamaan perut. Inilah keburukan dan kebobrokan komunisme yang dikecam Iqbal. Ideologi ini juga tidak mampu membawa manusia kepada kebahagiaan hakiki.
3.      Pandangannya tentang Sosialisme
Terhadap Sosialisme Iqbal mempunyai pandangan yang lain. Iqbal menyatakan bahwa antara sosialisme dan Islam tidak terdapat perbedaan yang tajam. Iqbal melihat bahwa konsep Islam tentang egalitarianisme dan semangat anti rasialisme sejalan dengan teori-teori kaum sosialis. Namun Iqbal dengan tegas menolak sosialisme-atheisme sebagaimana diterapkan di Rusia. Dalam sebuah tulisannya Iqbal mengungkapkan bahwa situasi negatif orang Rusia tidak akan bertahan lama. Sebab, tiada satu sistem pun dalam masyarakat yang mampu bertahan dan langgeng bila dibangun diatas dasar yang tidak berketuhanan[7].
D.    Kesimpulan
Pada kesimpulannya, Sir Muhammad Iqbal menyerukan pada seluruh umat manusia untuk bangkit dan tidak bertahan dalam situasi yang statis dan selalu konservatif. Bagaimanapun, meski tidak dinafikan juga bahwa kita harus memegang beberapa pandangan konservatif dalam Islam sebagai petunjuk dan pandangan hidup. Akan tetapi, bukan berarti al-Qur’an sebagai sumber utama hukum Islam terkesan menjadi suatu pencegah untuk mewujudkan sebuah evolusi akibat berelasi dengan peristiwa-peristiwa masa lalu. Kita haruslah dinamis, sebagaimana hukum dalam al-Qur’an sendiri memiliki sifat kelenturan sesuai dengan konteks perubahan zaman. Karena tujuan utama kita pada akhirnya tetaplah berujung pada pendirian suatu Negara yang berbasiskan demokrasi spiritual.
Pemikiran Muhammad Iqbal masih memiliki pengaruh dan masih dikaji baik di negeri Barat maupun Timur. Sebagai contoh, saya mengutip salah satu bukti mengenai pengaruh pemikiran Iqbal terhadap perkembangan di Indonesia. Dikatakan bahwa kajian yang serius terhadap pemikiran Iqbal adalah setelah penerjemahan buku Asrar-I Khudi, 1950-an. Kemudian kajian tersebut semakin intens ketika Osman Raliby menerjemahkan karya Iqbal The Reconstruction of Religious Thought in Islam pada tahun 1966. Di sinilah pemikiran Iqbal mempunyai gema dalam arus pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Salah satu tokoh Indonesia yang terpengaruh adalah Ahmad Syafi’i Ma’arif yang mengambil concern terhadap masalah-masalah manusia yang juga merupakan sumber kegelisahan intelektual Iqbal. Pengembangan gagasan Iqbal oleh Ma’arif terlihat dalam usahanya untuk  membedakan antara Islam sejarah (Historic Islam) dan Islam cita-cita (Ideal Islam). Pada akhir kata, saya sepakat dengan konsep pemikiran Muhammad Iqbal, bahwa Islam itu dinamis dan begitu pula kita. Kita pun harus berpikir dan bergerak secara dinamis demi merekonstruksi kembali bangsa kita ke dalam sebuah sistem kehidupan dan pandangan dunia yang lebih baik.
E.     Daftar Pustaka
Djohan Efendi, Pengantar ke Pemikiran Iqbal, (Bandung: Mizan, 1983).
Wilfred Cantwell Smith, Modern Islam in India, (Princenton: Princenton University Press, 1957).
Miss Luce Claude-Maitre, Pengantar ke Pemikiran Iqbal, (Bandung: Mizan, 1989).
Azzam, ‘Abdul Wahhab. Filsafat dan Puisi Iqbal (Bandung : Pustaka, 1954).
Riswanto, Arif Munandar. Buku Pintar Islam, (Bandung : Mizan, 2010).
Ali H.A. Mukti, Alam Pikiran Islam / Moderen  Di India Dan Pakistan, (Bandung: Mizan, 1998).
Husein Machnun, Islam dan Pembaharuan, (Jakarta: Raja Grafindo persada, 1995).




[1] Djohan Efendi, Pengantar ke Pemikiran Iqbal, (Bandung: Mizan, 1983), hlm. 13
[2] Wilfred Cantwell Smith, Modern Islam in India, (Princenton: Princenton University Press, 1957), hlm. 117-118
[3] Miss Luce Claude-Maitre, Pengantar ke Pemikiran Iqbal, (Bandung: Mizan, 1989), hlm. 68
[4] Azzam, ‘Abdul Wahhab. Filsafat dan Puisi Iqbal. 1954. Bandung : Pustaka, hlm. 28
[5] Riswanto, Arif Munandar. Buku Pintar Islam, (Bandung : Mizan, 2010), hlm. 387
[6] Ali H.A. Mukti, Alam Pikiran Islam / Moderen  Di India Dan Pakistan (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 78
[7] Husein Machnun, Islam dan Pembaharuan, (Jakarta: Raja Grafindo persada, 1995), hlm. 85

No comments: