MUHAMMAD IQBAL
(Di
Asia Selatan Pakistan)
A.
Latar
Belakang
Muhammad Iqbal dilahirkan di
Sialkot, Punjab, Pakistan pada 9 November 1877[1].
Nenek moyangnya berasal dari keluarga Muslim yang taat yang telah memeluk Islam
tiga abad sebelum kelahirannya. Ayah dan kakeknya adalah orang-orang yang
selalu hidup dalam tradisi sufistik.
Pendidikan awalnya ditangani oleh
ayahnya sendiri. Kemudian ia dimasukkan ke Maktab
(madrasah) untuk belajar al quran. Selanjutnya, Iqbal masuk Scottish Mission
School di Sialkot. Di sini ia bertemu dan belajar dengan Mir Hasan, seorang
ulama sufi yang kelak memberi pengaruh dalam perkembangan pemikiran dan
kepribadiannya. Setelah tamat dari Scottish, 1895, Iqbal melanjutkan
pendidikannya ke Government College di Lahore dan berguru pada Sir Thomas
Arnold. Lewat Arnold lah untuk pertama kalinya Iqbal berkenalan dengan
pemikiran Barat, sebelum nantinya berinteraksi langsung ketika belajar di sana.
Iqbal memyelesaikan B.A.-nya dalam bidang bahasa Arab pada 1897 dan M.A. di
bidang filsafat tahun 1899.
Pada tahun 1905, atas saran Thomas
Arnold, Iqbal meneruskan studi di Trinity College, Cambridge, Inggris dan
belajar pada filsuf McTaggart dan James Ward. Di samping itu, ia juga mengikuti
kursus tentang hukum. Dari Inggris, Iqbal melanjutkan studi ke Jerman untuk
mengambil gelar Doktor (Ph.D.). Pada 4 November 1907, Iqbal berhasil
mempertahnkan desertasi doktornya yang berjudul The Development of Methaphysics in Persia.
Menurut Wilfred Cantwell Smith, ada
tiga hal yang turut mempengaruhi pemikiran perkembangan keislaman Iqbal ketika
beradsa di Eropa. Hal ini kelak semakin mengkristal dalam aktivitas dan
gerakannya, setelah ia kembali ke negerinya, India, untuk menyadarkan umat
Islam yang sedang terlena. Pertama, vitalitas
dan aktivitas kehidupan orang Eropa yang luar bias; kedua,berhubungan dengan yang pertama, Iqbal menangkap visi yang
sangatmungkin dikembangkan dalam kehidupan bangsa-bangsa Timur berupa potensi
diri yang telah begitu luas dikembangkan
oleh Barat; ketiga, ada bagian
tertentu kehidupan Barat yang melahirkan manusia-manusia yang terpecah
kepribadiannya (split personality).
Peradaban Barat yang ditandai semangat kapitalisme dan liberalism, dalam
pandangan Iqbal, memberi andil yang besar bagi tumbuhnya keputusasaan individu.
Hal ini menjadi sasaran kritik Iqbal[2].
Dari kutipan ini jelaslah bahwa
Iqbal sangat kritis menghadapi dan menanggapi nilai-nilai Barat. Iqbal dapat
menerima vitalitas dan dinamika masyarakatnya yang begitu tinggi dalam
menjalankan kehidupan, karena hal ini tidak bertentangan dengan Islam.
Sebaliknya hal-hal yang berlawanan dengan semangat ajaran Islam dikecam Iqbal.
Peradaban Barat memang maju, tetapi kering dari nilai-nilai spiritual
keagamaan. Dalam syairnya, Iqbal mengungkapkan bahwa peradaban Barat sebenarnya
merupakan lembah kegelapan yang kekurangan mata air kehidupan. Iqbal
mengungkapkan seperti buah yang ranum yang kelak akan jatuh meluncur[3].
Dalam pergulatannya dengan
nilai-nilai Barat, Iqbal melihat ada yang hilang dari peradaban Barat, yaitu
semangat spiritual dan transcendental. Barat terlalu menumpukkan segala
permasalahan pada akal dan rasio dan menafikan keberadaan hal-hal yang bersifat
immateri.
Pada tahun 1931 dan 1932, Iqbal
mewakili Liga Muslim dalam Konferensi Meja Bundar di London. Konferensi ini
membahas tentang konstitusi baru bagi India. Kemudian, pada tahun selanjutnya,
ia menghadiri konferensi yang sama, juga di London. Dalam perjalanan pulang,
Iqbal sempat singgah di Cordova, Spanyol, untuk menyaksikan sisa-sisa
peninggalan kejayaan Islam di sana.
Sejak tahun 1935, kondisi kesehatan
Iqbal menurun drastic. Penyakit kencing manis yang dideritanya semakin parah.
Akhirnya, pada 21 April 1938 Iqbal menghembuskan nafas terkhir. Meskipun tidak
sempat menyaksikan wujud impiannya berdiri satu negara tersendiri di anak Benua
India, cita-cita ini dilanjutkan oleh temannya , yaitu Muhammad Ali Jinnah.
Pada 15 Agustus 1947, umat Islam pun berhasil mendapatkan satu negara merdeka
yang terlepas dari hegemoni Hindu dengan nama Pakistan
B.
Karya-karya
Muhammad Iqbal
Sumbangan
terbesar Iqbal di bidang pendidikan dan pengajaran ialah filsafat
kepribadiannya. Ini ia terapkan pada pendidikan, pengajaran, dan seni dalam
kebanyakan sajak-sajaknya. Mengenai filsafat pendidikan menurut Iqbal, ini
telah diuraikan oleh Prof. K. G. Sayidain dalam karyanya Iqbal’s Educational
Philosophy.[4]
Dalam
kapasitasnya sebagai seorang pemikir, Iqbal banyak menulis puisi-puisi yang
menyentuh dan menggerakkan emosional umat Islam untuk bangkit dari
keterbelakangan dan kebodohan mereka. Selain itu Iqbal dikenal sangat kreatif
dan sangat produktif dalam melahirkan gagasan-gagasannya tentang berbagai
bidang, seperti sosial, politik, budaya, hukum dan pemikiran Islam. Dalam
menuangkan gagasannya, Iqbal banyak menggunakan bahasa Urdu, Persia dan Bahasa
Inggris. Dalam hal puisi, di antara 12.000 puisi yang telah ditulisnya, ada
sekitar 7.000 puisi yang oleh Iqbal tulis dalam bahasa Parsi.
Sekembalinya
ke Tanah airnya, Pada masa Pakistan ini, belasan buku telah dihasilkan Iqbal.
Tulisan pertamanya adalah Stray Reflection, yang mulai ditulisnya pada
27 April 1910. Buku ini merupakan catatan-catatan lepas tentang hal-hal yang dilihat
dan dialaminya. Namun penulisan buku ini terhenti karena alasan yang tidak
pasti. Lima tahun kemudian, Pada 1915, Iqbal menerbitkan kumpulan puisinya
dengan judul Asrar-e-Khudi (Rahasia Jiwa) dalam bahsa Parsi. Puisi ini
berisi tentang konsep ego dan tekanan jiwa dari sebuah agama dan pandangan
spiritual.
Kemudian,
berturut-turut Iqbal menulis Rumuz-e-Bekhudi (Isyarat tidak ego (1918)),
Asrar-e-Rumuz (isyarat rahasia), Payam-e-Mashriq (Pesan dari
Timur (1923)), Zabur-e-Ajam (Mazmur Persia (1927)), Gulshan-e-Raz-e-Jadeed
(Rahasia baru hutan), Bandagi Nama (buku perbudakan), Javed Namah (buku
Javed (1923)).
Adapun
puisi yang ditulis Iqbal dalam bahasa Urdu antara lain, Bang-e-Dara (Panggilan
Lonceng (1924)), Tarana-e-Hind (Lagu India), Tarana-e-Milli (lagu
nasional komunitas Muslim), Tulu’i Islam (Kemunculan Islam), Khizr-e-Rah
(Jalanan panduan), The Bal-e-Jibril (sayap-sayap Jibril (1935)), Pas
Cheh Bayed Kard ai Aqwam-e Sharq (Apa yang harus kita lakukan wahai
Negara-negara Timur? (1936)), Musafir (penjelajah (1933)), karya
terakhirnya adalah Armughan-e-Hijaz (Hadiah dari Hijaz (1938)) yang
diterbitkan beberapa bulan setelah Iqal wafat.
Setelah
disertasi doktoralnya, buku kedua Iqbal yang ditulis dalam bahasa Inggris
adalah The Reconstruction of Religious Thoughts in Islam. buku ini
adalah kumpulan enam kuliah yang disampaikan oleh Iqbal di Madras,
Hyderabad, dan Aligarh. Buku ini pertama kali diterbitkan di Lahore pada 1930.
Di dalam buku ini, Iqbal menyatakan bahwa Islam adalah agama, politik, dan
filsafat. Iqbal menolak praktik politik yang dilakukan oleh politisi Muslim
yang tidak bermoral, tersesat, mementingkan kekuasaan, dan tidak mau berdiri
bersama masyarakat Muslim.[5]
C.
Pemikiran
Muhammad Iqbal
1. Sikap
Keberagamaan Iqbal Dan Pandangannya terhadap Ideologi Barat
Sikap
keberagamaan Iqbal penting kiranya sekilas disebutkan dalam makalah ini, guna
mengetahui bagaimana aplikasi dari pemikiran ketuhanan Iqbal dalam menghadapi persoalan
global umat manusia di berbagai belahan dunia.
a. Pandanganya
terhadap Nasionalisme
Sebagai
anak dari bangsa yang terjajah, pemikiran Iqbal terhadap gagasan dan ideologi
Barat mengalami perkembangan. Pada masa awal kehidupanya ia sangat mendukung perjuangan
orang-orang Hindu dan Muslim untuk menentang dan menuntut kemerdekaan dari
Inggris. Adapun pandangan Iqbal tentang Ideologi Barat Pada awalnya ia simpati
terhadap nasionalisme India dan mengiginkan penyatuan komunitas ini ke dalam
sebuah negara. Namun setelah menempuh pendidikan di Eropa, Iqbal mengubah
pandangannya dan menolak nasionalisme yang semula dikumandangkannya itu. Karena
pada kenyataanya kerjasama antara kedua golongan ini adalah semu belaka.
Mayoritas orang hindu dalam semangat nasionalismenya membawa konsep Hinduisme
yang bertentangan dengan Islam.
Ide
Iqbal bahwa umat Islam India merupakan suatu bangsa dan oleh karena itu
memerlukan satu negara tersendiri tidaklah bertentangan dengan pendirianya
tentang persaudaraan dan persatuan umat Islam. Ia bukanlah seorang nasionalis
dalam arti sempit. Ia sebenarnya adalah seorang Pan Islamis.
Ketika
di Eropa ia melihat bagaimana nasionalisme memainkan peranan dalam perluasan
nafsu imperialisme dan kolonialisme Barat terhadap Dunia Timur (Islam). Iqbal
juga menyaksikan bagaimana kekuatan-kekuatan Eropa memecah-belah Dunia Islam,
terutama di Timur Tengah dan di Afrika Utara. Mereka memecah-belah kerajaan
Turki Usmani yang sudah lemah menjadi negara-negara kecil atas nama
nasionalisme.
b. Pandangannya
terhadap Demokrasi
Pandangannya
terhadap demokrasi bertitik tolak dari keyakinannya, pada ajaran Islam. Namun
penilaiannya terhadap demokrasi tidak dapat dipisahkan dari praktek-praktek
yang yang dilakukan oleh negara-negara Eropa. Iqbal menilai kelemahan dalam
demokrasi Barat sedikitnya ada tiga kelemahan.
1. Demokrasi
dimanfaatkan oleh politisi-politisi professional Eropa untuk memanipulasi dan
memaksakan kehendak mereka. Partai politik yang berkuasa, dengan mengatas
namakan etika politik, memaksa rakyat untuk mengikuti mereka. Meskipun
bertentangan dengan keyakinan dan hati nurani rakyatnya. Dalam kecamannya,
Iqbal menegaskan bahwa para politisi yang mengatas namakan demokrasi tersebut
adalah orang-orang yang sangat jahat. Sehingga dengan kejahatannya itu, kehadiran
syetan tak diperlukan lagi didunia ini.
2. Praktek-praktek
demokrasi modren ternyata telah mengakibatkan korupsi moral dalam prilaku
politik. Banyak penyimpangan moral yang dilegitimasi atas dasar prinsip-prinsip
demokrasi liberal. Demokrasi yang merupakan prinsip kekuasaan dari rakyat oleh
rakyat dan untuk rakyat dalam pandangan Iqbal, telah mengabaikan nilai-nilai
agama. Parlemen yang merupakan alat dapat saja menetapkan suatu hukum yang
bertentangan dengan agama, kalau saja para anggotanya menghendaki.
3. Demokrasi
Eropa, dengan memisahkan agama dari kehidupan politik, dijadikan sebagai alat
eksploitasi oleh manusia terhadap manusia lainnya. Iqbal menyatakan bahwa
demokrasi adalah akar-akar eksploitasi kaum kapitalis. Pada prinsipnya Iqbal
dapat menerima konsep demokrasi, akan tetapi bentuknya yang ideal bukanlah
seperti yang diterapkan oleh negara-negara Eropa . Iqbal menawarkan gagasan
demokrasi spritual yang diilhami dan dipraktikkan oleh generasi sahabat[6].
Prinsip-prinsip demokrasi spritual itu adalah:
a. Pemilihan
merupakan satu-satunya cara yang tepat untuk mengekspressikan kehendak rakyat.
Ekspressi kehendak sebahagian rakyat dianggap batal dan tidak berlaku.
b. Secara
de facto, kedaulatan terletak ditangan rakyat.
c. Masyarakat
muslim berdasarkan pada kesamaan mutlak para anggotanya.
d. Kepala
negara tidak berarti imam tertinggi dalam Islam. Dia bukanlah wakil Tuhan di
bumi. Ia harus tunduk pada hukum Tuhan, karena kedudukannya sama di depan
hukum.
e. Pemilihan
berhak menuntut pengunduran diri kepala negara atau pemecatan bawahanya, jika
tingkah laku mereka bertentangan dengan hukum syariat.
Kritikan
terhadap demokrasi yang berkembang juga dikatakan oleh intelektual Pakistan
ternama M. Iqbal. Menurut Iqbal, sejalan dengan kemenangan sekularisme atas
agama, demokrasi modern menjadi kehilangan sisi spiritualnya sehingga jauh dari
etika. Demokrasi yang merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat telah mengabaikan keberadaan agama. Parlemen sebagai salah satu pilar
demokrasi dapat saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan nilai agama
kalau anggotanya menghendaki. Atas dasar
itu, Iqbal menawarkan sebuah konsep demokrasi spiritual yang dilandasi oleh
etik dan moral ketuhanan. Jadi yang ditolak oleh Iqbal bukan demokrasinya melainkan,
prakteknya yang berkembang di Barat. Lalu, Iqbal menawarkan sebuah model
demokrasi sebagai berikut :
Tauhid sebagai landasan asasi
Kepatuhan pada hukum.
Toleransi sesama warga.
Tidak dibatasi wilayah, ras, dan warna
kulit.
Penafsiran hukum Tuhan melalui ijtihad.
2. Pandangannya terhadap Komunisme
Pandangan
Iqbal tentang komunisme berkaitan erat dengan perkembangan masyarakat dunia
yang disaksikannya saat itu. Iqbal melihat penindasan yang dilakukan kaum
kapitalis borjuis terhadap pekerja dan kelas ekonomi lemah. Penindasan ini
semakin memperbesar jurang perbedaan antara orang-orang kaya dengan orang-orang
miskin, antara borjuis dengan kaum proletar.
Namun
dalam melihat penyebab dan mencarikan solusi untuk mengatasi ketimpangan sosial
dan ketidakadilan tersebut, Iqbal mendiagnosis bahwa kondisi demikian
disebabkan oleh pemisahan manusia dari nilai-nilai spritual dan agama. Manusia
teralienasi dari agama sehingga mereka menjadi srigala atas yang lain (homo
homini lupus). Karena, itu Iqbal menawarkan penyembuhan tersebut dengan
mengembalikan manusia kepada kesadaran ketuhannanya. Ini berbeda dengan ajaran
komunisme yang memandang semuanya dari sudut ekonomi semata dan mengajarkan
penyembuhannya dengan teori pertentangan kelas (class conflict).
Menurut
Iqbal, komunime tidak memiliki landasan spritual dan tidak mempercayai Tuhan
sebagai pencipta. Bagi komunisme, individu hanyalah instrumen untuk melakukan
revolusi kelas proletar. Komunisme juga menolak agama dan menganggapnya sebagai
candu yang membius masyarakat. Dalam kritiknya ,Iqbal menyatakan bahwa Karl
Marx tidak melihat cahaya kebenaran agama. Ia melandasi agamanya hanya pada
persamaan perut. Inilah keburukan dan kebobrokan komunisme yang dikecam Iqbal.
Ideologi ini juga tidak mampu membawa manusia kepada kebahagiaan hakiki.
3. Pandangannya
tentang Sosialisme
Terhadap
Sosialisme Iqbal mempunyai pandangan yang lain. Iqbal menyatakan bahwa antara
sosialisme dan Islam tidak terdapat perbedaan yang tajam. Iqbal melihat bahwa
konsep Islam tentang egalitarianisme dan semangat anti rasialisme sejalan
dengan teori-teori kaum sosialis. Namun Iqbal dengan tegas menolak
sosialisme-atheisme sebagaimana diterapkan di Rusia. Dalam sebuah tulisannya
Iqbal mengungkapkan bahwa situasi negatif orang Rusia tidak akan bertahan lama.
Sebab, tiada satu sistem pun dalam masyarakat yang mampu bertahan dan langgeng
bila dibangun diatas dasar yang tidak berketuhanan[7].
D.
Kesimpulan
Pada
kesimpulannya, Sir Muhammad Iqbal menyerukan pada seluruh umat manusia untuk bangkit
dan tidak bertahan dalam situasi yang statis dan selalu konservatif.
Bagaimanapun, meski tidak dinafikan juga bahwa kita harus memegang beberapa
pandangan konservatif dalam Islam sebagai petunjuk dan pandangan hidup. Akan
tetapi, bukan berarti al-Qur’an sebagai sumber utama hukum Islam terkesan
menjadi suatu pencegah untuk mewujudkan sebuah evolusi akibat berelasi dengan
peristiwa-peristiwa masa lalu. Kita haruslah dinamis, sebagaimana hukum dalam
al-Qur’an sendiri memiliki sifat kelenturan sesuai dengan konteks perubahan
zaman. Karena tujuan utama kita pada akhirnya tetaplah berujung pada pendirian
suatu Negara yang berbasiskan demokrasi spiritual.
Pemikiran
Muhammad Iqbal masih memiliki pengaruh dan masih dikaji baik di negeri Barat
maupun Timur. Sebagai contoh, saya mengutip salah satu bukti mengenai pengaruh
pemikiran Iqbal terhadap perkembangan di Indonesia. Dikatakan bahwa kajian yang
serius terhadap pemikiran Iqbal adalah setelah penerjemahan buku Asrar-I
Khudi, 1950-an. Kemudian kajian tersebut semakin intens ketika Osman Raliby
menerjemahkan karya Iqbal The Reconstruction of Religious Thought in Islam pada
tahun 1966. Di sinilah pemikiran Iqbal mempunyai gema dalam arus pembaruan
pemikiran Islam di Indonesia. Salah satu tokoh Indonesia yang terpengaruh
adalah Ahmad Syafi’i Ma’arif yang mengambil concern terhadap masalah-masalah
manusia yang juga merupakan sumber kegelisahan intelektual Iqbal. Pengembangan
gagasan Iqbal oleh Ma’arif terlihat dalam usahanya untuk membedakan
antara Islam sejarah (Historic Islam) dan Islam cita-cita (Ideal Islam). Pada
akhir kata, saya sepakat dengan konsep pemikiran Muhammad Iqbal, bahwa Islam
itu dinamis dan begitu pula kita. Kita pun harus berpikir dan bergerak secara
dinamis demi merekonstruksi kembali bangsa kita ke dalam sebuah sistem
kehidupan dan pandangan dunia yang lebih baik.
E.
Daftar
Pustaka
Djohan Efendi,
Pengantar ke Pemikiran Iqbal, (Bandung: Mizan, 1983).
Wilfred Cantwell
Smith, Modern Islam in India, (Princenton:
Princenton University Press, 1957).
Miss Luce
Claude-Maitre, Pengantar ke Pemikiran Iqbal, (Bandung: Mizan, 1989).
Azzam, ‘Abdul
Wahhab. Filsafat dan Puisi Iqbal (Bandung : Pustaka, 1954).
Riswanto, Arif
Munandar. Buku Pintar Islam, (Bandung : Mizan, 2010).
Ali H.A. Mukti, Alam Pikiran Islam / Moderen Di
India Dan Pakistan, (Bandung: Mizan, 1998).
Husein Machnun, Islam dan Pembaharuan, (Jakarta:
Raja Grafindo persada, 1995).
[1]
Djohan Efendi, Pengantar ke Pemikiran Iqbal, (Bandung: Mizan, 1983), hlm. 13
[2]
Wilfred Cantwell Smith, Modern Islam in
India, (Princenton: Princenton University Press, 1957), hlm. 117-118
[3]
Miss Luce Claude-Maitre, Pengantar ke
Pemikiran Iqbal, (Bandung: Mizan, 1989), hlm. 68
[4]
Azzam, ‘Abdul Wahhab. Filsafat dan Puisi Iqbal. 1954. Bandung : Pustaka,
hlm. 28
[5]
Riswanto, Arif Munandar. Buku Pintar Islam, (Bandung : Mizan, 2010), hlm.
387
[6]
Ali H.A. Mukti, Alam Pikiran Islam /
Moderen Di India Dan Pakistan (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 78
[7]
Husein Machnun, Islam dan Pembaharuan, (Jakarta:
Raja Grafindo persada, 1995), hlm. 85
No comments:
Post a Comment