MAKALAHKU: aspek sufistik dalam puisi lisan taleningo gorontalo

SELAMAT DATANG DAN SEMOGA BERMANFAAT

Saturday, June 25, 2016

aspek sufistik dalam puisi lisan taleningo gorontalo


ASPEK SUFISTIK DALAM PUISI LISAN TALENINGO GORONTALO
(Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Proposal Matakuliah Penulisan Karya Ilmiah)

OLEH:
BROJO HERMANTO
NIM: 143012007


th.jpg


IAIN SULTAN AMAI GORONTALO
FAKULTAS USHULUDHIN DAN DAKWAH
JURUSAN FILSAFAT AGAMA

TAHUN AJARAN 2015/2016



PROPOSAL PENELITIAN
A.      Judul
Aspek Sufistik dalam Puisi Lisan Taleningo Gorontalo

B.       Latar Belakang
Gorontalo merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama islam.Islam masuk ke Gorontalo pada awal abad ke-16 atau tahun 1525 pada masa pemerintahan Sultan Amai.Islam mencapai puncaknya pada masa pemerintahan raja Eyato, di mana pada masa itu islam resmi menjadi agama kerajaan[1]. Masuknya islam ke Gorontalo banyak mempengaruhi sendi-sendi kehidupan masyarakat Gorontalo. Pengaruh islam ini dapat dijumpai pada pelaksanaan upacara-upacara memperingati hari-hari besar islam dan upacara-upacara adat. Pengaruh ini sebagaimana tertuang dalam falsafah “Adati hula-hula’a to sara’a, sara’a hula-hula’a to kuru’ani” yang dalam bahasa Indonesia disebutkan “adat bersendi syarak, dan syarak bersendi Kitabullah (Alqur’an)”.
Falsafah tersebut menjadi pedoman hidup dan berkehidupan masyarakat Gorontalo. Semua aspek kehidupan masyarakat Gorontalo sangat dipengaruhi oleh falsafah tersebut, termasuk kegiatan bersastra. Falsafah adat bersendi syarak, dan syarak bersendi Kitabullah (Alqur’an) dalam bidang sastra pengaruhnya terlihat dari segi isi karya sastra baik puisi lisan maupun prosa (cerita rakyat). Tuloli[2] menyebutkan apabila dilihat dari segi isinya, selain ada yang memang secara langsung mengandung ajaran syariat, ada pula yang secara tidak langsung memberikan gambaran perilaku dan kehidupan sehari-hari berdasarkan syariat Islam.
Salah satu karya sastra Gorontalo yang dipengaruhi kuat oleh islam adalah puisi lisan TaleningoTaleningo, sejenis puisi filsafat. Isinya mengandung ajaran-ajaran agama islam atau renungan tokoh atau leluhur. Pada prinsipnya ragam ini berisi peringatan agar manusia berbuat baik di dunia yang kelak akan menentukan corak hidup atau balasan di akhirat[3]. Sebagai  ragam sastra yang dipengaruhi kuat oleh islam, maka sudah tentu taleningomemuat ajaran-ajaran agama Islam.  yang dimaksud berkaitan dengan tauhid  atau yang berhubungan dengan nabi Muhammad SAW. para sahabat dan tokoh islam. Ajaran-ajaran Islamyang dituangkan dalam taleningo merupakan ungkapan, pengalaman, dan hasil perenungan penutur tentang agama islam yang berusaha memahami dan mendekati Allah. Dalam islam, gerakan korohanian ini disebut tasawuf. Sementara itu, karya sastra yang di dalamnya dijabarkan paham-paham, keyakinan, dan sifat-sifat yang diambil dari dunia tasawuf disebut sastra sufistik[4].
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa puisi lisan taleningomempunyai kecenderungan sufistik. Oleh karena itu, meneliti kesufian puisi lisan taleningo menjadi penting dilakukan karena dengan penelitian yang mendalam akan dapat mengungkap aspek-aspek sufistik yang terdapat dalam puisi lisan taleningo. Hal ini dapat pula diperkuat oleh belum banyaknya penelitian terhadap sastra sufistik Indonesia, baik dalam sastra modern maupun sastra tradisional. Sejauh ini, ulasan tentang sastra sufistik masih berwujud artikel atau esai, bahkan buku-buku yang secara khusus membahasa hal ini masih kurang.
Sebagai sastra lisan yang bernafas islam, maka taleningo sangat efektif digunakan sebagai pedoman hidup di dunia dan bekal menuju akhirat. Menjadi wadah untuk mempertajam kecerdasan spritual. Namun, seiring berkembangnya zaman, keberadaan taleningo mulai dilupakan. Minat masyarakat terutama generasi muda sebagai pewaris taleningo mulai berkurang. Kurangnya minat masyarakat meyebabkan wujud, isi dan kandungan puisi lisan taleningo tak lagi diketahui dan dikuasai masyarakat. Sehingga manfaat dari ajaran-ajaran kerohanian islam, nilai-nilai ketuhanan, dan  pengalaman spritual leluhur dan penutur yang terkandung di dalamnya tidak lagi memberi dampak kepada kehidupan masyarakat Gorontalo. Itulah sebab, banyak masyarakat Gorontalo yang tidak lagi berpegang teguh pada falsafah “adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah (Al-qur’an).
Selain itu, kenyataan pula bahwa yang masih dapat menceritakan hasil sastra lisan taleningo hanyalah orang yang sudah tua usianya dan dalam jumlah yang sedikit. Pemerintah pun sebagai pengambil kebijakan dalam upaya pelestarian kurang memberikan perhatian terhadap keberadaan sastra lisan ini. Berangkat dari berbagai persoalan di atas, maka dianggap penting untuk melakukan penelitian tentang aspek sufistik dalam puisi lisan taleningo. Oleh karena itu, penulis bermaksud melakukan penelitian dengan formulasi judul Aspek Sufistik dalam Puisi Lisan Taleningo.
C.      Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis dapat mengidentifikasi masalah sebagai berikut:
1.        Minat masyarakat terutama generasi muda sebagai pewaris taleningo mulai berkurang.
2.        Sebagian besar masyarakat tak lagi mengetahui dan menguasai wujud dan struktur puisi lisan taleningo.
3.        Taleningo sebagai puisi lisan yang mengandung nilai-nilai spritualdan ajaran-ajaran agama islam tak lagi memberi dampak pada masyarakat.
4.        Banyak masyarakat Gorontalo yang tidak lagi berpegang teguh pada falsafah “adat bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabullah (Al-qur’an).
5.        Penutur puisi lisan taleningo hanyalah orang yang sudah tua dan dalam jumlah yang sedikit.
6.        Kurangnya perhatian pemerintah dalam upaya melestarikan puisi lisan taleningo.
7.        Kajian aspek-aspek sufistik dalam sastra Indonesia terutama sastra lisan belum banyak dilakukan.
8.        Kajian aspek sufsitik dalam puisi lisan taleningo belum dilakukan.



D.      Batasan Masalah
Permasalahan dalam penelitian ini perlu dibatasiagar pembahasan dalam penelitian ini tidak meluas. Permasalahan dalam penelitian ini dibatasi pada:
1.        Struktur puisi lisan taleningo
2.        Aspek sufistik dalam sastra lisan taleningo

E.       Rumusan Masalah
Dari batasan masalah di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.        Bagaimanakah struktur puisi lisan taleningo?
2.        Bagaimana aspek sufistik dalam sastra lisan taleningo?

F.       Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.        Mendeskripsikan struktur puisi lisan taleningo
2.        Mendeskripsikan aspek sufistik dalam sastra lisan taleningo

G.      Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak. Dalam penelitain ini, manfaatnya dapat dibagi atas dua, yakni manfaat teoritis dan manfaat parktis seagaimana dijabarkan di bawah ini:
1.        Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan peneliti dan pembaca tentang struktur sastra lisan terutama struktur puisi lisan taleningo dan aspek-aspek sufistik yang terdapat di dalamnya serta teori-teori lain yang mendukung penelitian ini.
2.        Manfaat praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak berikut ini:


1)        Dunia pendidikan
Penelian ini akan memberikan konstribusi bagi dunia pendidikan, khususnya pada pembelajaran serta pengenalan ragam sastra lisan yang tersebar di Gorontalo, terutama bagi guru-guru mata pelajaran muatan lokal. Penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi mengenai sastra lisan Gorontalo terutama puisi lisan taleningo bagi sekolah-sekolah dan perguruan tinggi.
2)        Bagi pemerintah daerah
Pemerintah daerah sangat berperan penting dalam upaya pelestarian budaya daerah termasuk sastra lisan. Itulah sebab, penelitian ini sangat penting manfaatnya bagi pemerintah daerah dalam menjaga kelestarian sastra lisan Gorontalo khususnya puisi lisan taleningo. Adanya penelitian ini, pemerintah dapat memberikan bantuan kerjasama dalam hal publikasi kepada masyarakat yang belum mengenal dan menguasai puisi lisan taleningo.
3)        Bagi masyarakat
Penelitian ini akan membantu masyarakat untuk mengetahui, mengenal, dan menguasai sastra lisan Gorontalo khususnya puisi lisan taleningo. Jika masyarakat telah mampu mengetahui dan menguasai puisi lisan taleningo maka dengan sendirinya masyarakat akan dapat mengambil manfaat yang terkandung di dalamnya berupa ajaran-ajaran agama islam terutama yang berkaitan dengan struktur dan aspek sufistik puisi lisan taleningo.
4)        Bagi peneliti
Penelitian ini sangat bermanfaat bagi peneliti terutama dalam hal pengalaman dalam pengkajian sastra lisan Gorontalo serta menambah wawasan peneliti tentang ragam sastra lisan yang tersebar di Gorontalo. Wawasan yang paling besar untuk diperoleh yakni menganai struktur dan aspek sufistik yang terdapat pada puisi lisan taleningo serta menambah pengatahuan peneliti terhadap teori-teori sastra dan teori pengkajian agama islam yang menunjang penelitian ini.
H.      Definisi Operasional
Sufistik
Adalah sifat dari kata “sufi”. Sufi menunjuk pada orang yang menjalankan suatu latihan kerohanian di dalam agama islam yang dengan metode tertentu bertujuan mendekati dan memahami Allah[5]. Sufi adalah salah satu sisi penerapan ajaran islam yang di dalamnya terkandung tingkah laku yang khas yang di gali dan dikembangkan dari ajaran-ajaran islam. keseluruhan gerakan kerohanian itu disebut tasawuf.
Taleningo
Sejenis puisi filsafat. Isinya mengandung ajaran-ajaran agama Islam atau renungan tokoh atau leluhur. Pada prinsipnya ragam ini berisi peringatan agar manusia berbuat baik di dunia yang kelak akan menentukan corak hidup atau balasan di akhirat[6]. Ragam taleningo bisa menyangkut kehidupan sebelum lahir, sesudah lahir, dan sesudah mati.
I.         Kajian Pustaka
Penelitian ini adalah penelitian sastra sufistik dan sastra lisan Gorontalo, taleningo. Sejauh pengetahuan peneliti, penelitian sufistik dalam sastra lisan taleningo belum pernah dilakukan. Namun kajian-kajian sufistik dalam karya sastra sudah pernah dilakukan. Demikian pula kajian dengan objek sastra lisan taleningo sudah pernah dilakukan. Penelitian yang berkaitan dengan sufistik sebagaimana dalam tesis Muhammad Sulaiman dari Universitas Diponegoro tahun 2005 dengan judul Dimensi Sufistik Puisi-Puisi Sutardji Calzoum Bachri. Objek kajian penelitian adalah dua buah puisi Sutardji Calzoum Bachri yang berjudul “Idul Fitri” dan puisi “Cermin”. Fokus permaslah dalam tesis tersebut berkisar pada aspek-aspek sufistik apakah yang terdapat dalam puisi-puisi Sutardji yang baru, yang ditulis sesudah kumpulan O, Amuk Kapak. Metode atau pendekatan yang digunakan adalah metode atau pendekatan filosofis dan semiotik. Dari hasil pembahasan disebutkan bahawa puisi “Idulfitri” dan “Cermin” karya Sutardji Calzoum Bachri, menggambarkan seseorang yang menganggap dirinya telah mencapai maqam (peringkat) yang tinggi di jalan tasawuf karena merasa telah menjalani pertobatan dengan sungguh-sungguh dan tulus. Dia merasa sudah layak untuk berjumpa dengan Tuhan atau malaikat, karena itu ia sangat menginginkan perjumpaan tersebut. Sangat kecewa akibat gagalnya perjumpaan yang sangat dirindukan itu, dia kemudian “bercermin”, bertafakkur (merenung) dan bermuhasabah (berintrospeksi), maka sadarlah dia, bahwa sebagai mahluk spritual, status dirinya masih sangat rendah. Gambaran itu serupa benar dengan realitas kehidupan sehari-hari manusia. Dengan demikian, karakter tokoh puisi “idulfitri” dan puisi “cermin” merupakan tanda ikonik dari sikap keberagamaan kebanyakan manusia.
Kajian tentang sastra lisan taleningo dapat dilihat dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Moh. Karmin Baruadi tahun 2012 dengan judul “Sendi Adat dan Eksistensi Sastra, Pengaruh Islam dalam Nuansa Budaya Lokal Gorontalo”. Objek kajiannya adalah sastra lisan TujaqiPalebohuTinilo, dan Taleningo. Pengkajian dilakukan secara historical-fenomenologis melalui penelusuran literatur dan pengamatan empirik terhadap pelaksanaannya di setiap peristiwa adat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan kenyataan historis masyarakat suku Gorontalo adalah masyarakat adat yang menenmpatkan adat bersendikan syara’ dan syara’ bersendikan kitab Allah sebagai pandangan hidup, sehingga secara kultural masyarakat Gorontalo sangat menghargai tradisi-tradisi terutama yang bernuansa islam yang selamanya tetap dipelihara dan dilestarikan. Kebudayaan Gorontalo identik dengan Islam yang tampak pada aktivitas berbudaya dan bersastra. Berbudaya, berseni dan bersastra dengan azas islam yang dilakukan oleh masyarakat Gorontalo dapat diinterpretasikan sebagai suatu wujud beribadah kepada Allah. Nilai-nilai islam dalam budaya dan peradaban Gorontalo termasuk sastranya menyatu dengan adat istiadat yang berlaku hingga sekarang. Adapun nilai-nilai penting untuk ditelusuri dan dapat diterima oleh masyarakat adalah (a) nilai kearifan; (b) nilai kejujuran; (c) nilai ketakwaan; (d) nilai kesucian; dan (e) nilai moral.

J.        Pengertian Sastra Sufistik
Istilah sastra sufistik terdiri dari dua kata “sastra” dan Sufistik”. Karya sastra dalam pengertian modern, adalah bentuk karya seni yang bermediakan bahasa. Karya sastra berwujud serangkaian gagasan atau ide yang diolah sedemikian rupa sehingga mempunyai nilai artistik. Sementara itu, sufistik adalah sifat dari kata “sufi”. Sufi menunjuk pada orang yang menjalankan suatu latihan kerohanian di dalam agama islam yang dengan metode tertentu bertujuan mendekati dan memahami Allah. Sufi adah salah satu sisi penerapan ajaran islam yang di dalamnya terkandung tingkah laku yang khas yang di gali dan dikembangkan dari ajaran-ajaran islam. keseluruhan gerakan kerohanian itu disebut tasawuf. Jadi, sastra sufistik adalah karya sastra yang di dalamnya dijabarkan paham-paham, keyakinan, dan sifat-sifat yang diambil dari dunia tasawuf[7].
Dalam sastra sufistik di Indonesia ditemukan suatu ajaran, ungkapan pengalaman, simbolisasi, parabel, dan kiasan paham sufistik. Sastra sufistik cenderung mengungkapkan suatu pengalaman mistik pribadi yang menuju dan bersatu dengan tuhan[8]. Karena keberadaan seseorang erat sekali dengan budaya tertentu, ungkapan dalam sastra sufistik sering mencerminkan warna budaya lokal.
Sudardi (2003: 11-12) menggolongkan Sastra sufistik menjadi empat golongan sebagai berikut:
1.        Sastra sufistik yang berisi kisah para nabi dan para sufi yang dapat dijadikan teladan oleh para sufi. Kisah-kisah tersebut sebagian merupakan kisah-kisah karangan dan modifikasi. Di dalamnya banyak ditemukan kisah tentang peristiwa-peristiwa ghaib yang mencengangkan.
2.        Sastra sufistik yang berisi ajaran atau konsepsi sufistik. Dalam karya yang demikian biasanya dibahas sifat-sifat Tuhan dan asal-usul manusia. Ajaran ini mengajarkan ciptaan pada pusat yang satu, yakni Allah.
3.        Sastra sufistik yang berisi pengalaman pencarian Tuhan. Mencari dan menjumpai Tuhan adalah sesuatu yang pelik dan rumit. Pengalaman ini kadang-kadang tidak dapat digambarkan, tetapi hanya melalui simbol-simbol.
4.        Sastrra sufistik yang berisi ungkapan kesatuan dengan Tuhan. Peristiwa ini merupakan peristiwa yang sangat dinantikan oleh para sufi. Peristiwa ini pun hanya bisa digambarkan dengan simbol-simbol dan perumpamaan-perumpamaan, misalnya perasaan sufi yang amat bahagia karena bertemu dengan Tuhan diibaratkan sebagai seseorang yang berhasil menjumpai kekasihnya yang sudah sangat lama dicarinya dengan susah payah[9].
Penggolongan tersebut menurut Sudardi bukanlah penggolongan yang mutlak dan kaku, tetapi masih dimungkinkan adanya tumpang tindih karena dalam kenyataan keempat aspek tersebut mempunyai kaitan yang erat dan muncul dalam karya sastra secara bersamaan.
Hadi (dalam Santosa: http://badanbahasa.kemdikbud.go.id) menyebutkan ciri yang melekat dalam sastra sufistik adalah sebagai berikut:
1.    Memberikan suatu gambaran upaya manusia untuk dapat menyatu dengan Tuhan, yakni suatu jalan kerohanian menuju Tuhan yang berangkat dari ajaran tauhid Islam;
2.    Mencerminkan perenungan yang dalam dan keleluasan berpikir serta wawasan yang jauh tentang semesta raya seisinya;
3.    Memadukan antara zikir dan pikir secara sungguh-sungguh dan maksimal;
4.    Mempunyai pesan pembebasan dan pencerahan jiwa yang terbelenggu dalam kegelapan dunia yang membuat sastra sufistik semacam profektik (kenabian) dan apokaliptik (kewahyuan);
5.    Memberi gambaran optimisme, jarang yang menunjukkan pesimisme atau rasa putus asa, dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan, bahkan sering menyuarakan kegembiraan spiritual dan kearifan dalam menghadapi pesona dunia;
6.    Mencari hakikat yang tersembunyi dalam rahasia alam dan kehidupan karena sastra sufistik  tidak pernah puas dengan aspek lahiriah dan apa yang telah dicapai oleh akal pikiran manusia;
7.    Memancarkan keindahan-dalam yang transendental dan sekaligus imanen.
K.      Tasawuf
Sebagaimana uraian diuraikan di atas bahwa sastra sufistik adalah karya sastra yang di dalamnya dijabarkan paham-paham, keyakinan, dan sifat-sifat yang diambil dari dunia tasawuf.Artinya bahwa sastra sufistik tidak dapat dipisahkan dari tasawuf. Oleh sebab itu, membicarakan sastra sufistik harus membicarakan tasawuf juga.
Tasawuf merupakan ajaran yang diikuti oleh orang sufi, dimana sufi itu dianggap penganut Islam yang memisahkan kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat. Tasawuf dalam literatur Barat disebut dengan sufisme (Rusli: 2013: 9-10). Terdapat berbagai teori tentang asal-usul kata “tashawuf” dimaksud. Di antaranya adalah sebagai berikut(Sudardi: 2003: 14):
1.        Berasal dari kata Ibn Sauf, yakni seorang Arab yang hidup sebelum Islam datang yang hidup bertapa di sekitar Ka’bah untuk mendekati Tuhan.
2.        Berasal dari kata Sufah yang digunakan sebagai nama surat ijazah orang naik haji.
3.        Berasal dari kata Safa tyang berarti bersih suci.
4.        Berasal sari kata Sophia (bahasa Yunani) yang berarti kebijaksanaan.
5.        Berasal kata suffah, nama ruang di masjid Madinah tempat Nabi memberikan ajarannya.
6.        Berasal kata suf yang berarti bulu kambing. Asal kata suf dalam pembentukan kata tasawuf sesuai dengan kaidah bahasa Arab.
Rusli (2013: 4-6) juga menyampaikan hal yang senada mengenai istilah tasawuf sebagai berikut:
1.        Tasawuf berasal dari kata shuf yang berarti wool kasar, karena orang-orang sufi selalu memakai pakaian tersebut sebagai lambang kesederhanaan.
2.        Menurut teori lain, kata tasawuf berasal dari akar kata shafa, yang berarti bersih. Disebut sufi karena hatinya tulus dan bersih di hadapan Tuhannya.
3.        Berasal dari ahl al-Suffah, yaitu orang-orang yang tinggal di suatu kamar di samping masjid Nabi di Madinah. Mereka adalah orang-orang miskin yang telah kehilangan harta benda karena mengikuti Nabi Hijrah ke Mekkah ke Madinah.
4.        Berasal dari kata Sophos. Kata tersebut berasal dari Yunani yang berarti hikmah. Kalau diperhatikan sekilas memang ada hubungan anatara sufi dengan hikmah karena orang sufi membahas masalah yang mereka persoalkan berdasarkan pembahasan yang falsafati. Mereka berusaha menyucikan diri dalam rangka mendekati Tuhan.
5.        Adapula yang menghubungkan kata tasawuf dengan saf pertama dalam shalat berjamaah. Alasannya ialah orang yang sembahnyang di saf pertama mendapatkan kemuliaan dan pahala dari Allah Swt.
6.        Sebagian pendapat bahwa kata tasawuf tersebut berkaitan dengan kata Arab ١ﻠﺻﻓﺔ karena para sufi sangat mementingkan sifat-sifat terpuji dan berusaha keras meninggalkan sifat-sifat tercela.
Dari pendapat-pendapat di atas, pada umumnya para ahli cenderung menggunakan istilah suf (bulu kambing). Hal ini merujuk pada pendapat bahwa para penganut ilmu tasawuf yang disebut sufi senang memakai pakaian yang sederhana untuk menunjukkan kesucian batin mereka. Untuk menunjukkan kesederhanaan ini mereka memakai pakaian dari kulit kambing. Wool adalah pakaian para nabi dan simbol para wali dan shufi. Dengan demikian, kata tasawuf merupakan bentuk mashdar dari fi’il tasawuf yang berarti “mengenakan pakaian yang terbuat dari bahan bulu domba atau wool kasar. Sebagaimana ciri khas dari para sufi, di samping kesalehan dan sikap zuhud mereka, adalah pakaian mereka yang menjadi salah satu sifat utama para sufi tersebut.
Secara umum tasawuf dapat dikatakan sebagai gerakan kerohanian berdasarkan agama Islam yang berusaha memahami Allah dan mendekatinya dengan segala daya dan kekuatan dengan model perilaku yang khas. Dikatakan khas karena tasawuf memiliki ciri-ciri terminologi tertentu yang dapat dibedakan dengan gerakan kerohanian Islam lainnya. Ciri yang menonjol di dalam tasawuf adalah sebagai berikut. Pertama, adanya syekh (guru) yang dianggap sebagai wasilah (perantara) untuk menuju Allah. Kedua, adanya silsilah ilmu yang mendudukkan guru pada kedudukan yang sangat tinggi karena dipercaya akan mengantarkannya sampai kepada Allah. Ketiga, adanya pembagian ilmu menjadi ilmu syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat, serta pemaknaan terminlogi Islam tertentu yang tidak lazim. Keempat, adanya latihan-latihan kerohanian tertentu, seperti tata cara berdzikir dengan suara keras atau lembut, iringan musik tertentu, ritual dengan tatacara tertentu bahkan sampai pada bentuk-bentuk mirip sesaji[10].
Suatu karakter yang khas di dalam tasawuf ialah adanya pembagian ilmu agama ke dalam tingkat-tingkat tertentu. Pembagian ilmu tersebut sebagaimana pada poin ketiga di atas  akan dijabarkan di bawah ini:
1.        Syariat, adalah hukum-hukum dasar dalam menjalankan agama yang oleh para pengikut tasawuf dipakai sebagai pedoman lahiriah. Aspek syariat adalah menjalankan shalat, puasa, haji, dan aturan-aturan agama lainnya.
2.        Tarekat, adalah cara atau metode. Yang dilakukan dalam tarekat adalah menjalankan ibadah sekhusuk-khusuknya. Karena di dalam tarekat harus ada guru yang membimbing, dalam beribadah seringkali terdapat variasi, seperti dalam tata cara dzikir, berdo’a, bersikap dan sebagainya.
3.        Hakikat, adalah pencapaian latihan rohani yang berat. Timbul suatu kesadaran dan kemampuan dalam diri seorang sufi terhadap realitas gaib yang sebelumnya tidak diketahuinya. Dalam taraf ini terbuka hijab dunia ghaib, sehingga para sufi dipercaya dapat melihat setan, mendengar suara malaikat, mengetahui sesuatu yang belum terjadi, dan mengetahui hakikat sesuatu. Pada taraf ini para sufi  dituntut untuk lebih mengekang hawa nafsunya.
4.        Setelah menghadapi realitas yang beragam dan penuh godaan, seorang sufi menuju tujuan utama. Di antara realitas tersebut ada satu realitas yang hakiki yang menjadi sumber dari segala realitas. Realitas tersebut adalah Allah. Pencapaian terhadap realitas yang tertinggi, yakni Allah, disebut sebagai makrifatullah. Pada taraf ini sufi merasa dapat bermesra-mesraan dengan Allah melalui pengalaman batinnya. Segala yang dilakukan semata-mata kehendak Allah meskipun tampaknya bertentangan dengan hukum syariat. 
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sufistik dan tasawuf jalan kerohanian berdasarkan cinta pada Allah (Mahabbah) sehingga dekat dengan Allah dan tujuan akhirnya menjadi insan kamil. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka ada empat tahapan yang harus ditempuh yaitu, syari’at, tarikat, hakikat dan ma’rifat.
L.       Pengertian Sastra Lisan
Tuloli (2003: 1) menyatakan bahwa sastra lisan adalah salah satu aspek budaya yang sangat luas dan sangat banyak dan terdapat pada semua masyarakat, baik masyarakat modern maupun masyarakat tradisional. Pernyataan ini memberi gambaran bahwa sastra lisan dapat kita temukan di desa-desa maupun di kota-kota tentu dengan materi dan isi yang berbeda-beda. Apabila di daerah-daerah pedesaan isi sastra lisan masih asli serta penguasaan sastra lisan masih merupakan tolok ukur kepandaian dan tingginya kedudukan sosial seseorang di masyarakat, maka di daerah-daerah perkotaan sastra lisan telah megalami banyak perubahan. Hal ini disebabkan oleh perkembangan pola pikir masyarakat perkotaan yang mulai maju, penggunaan teknologi yang modern serta pengaruh antar budaya.
Sastra lisan merupakan karya sastra yang disebarluaskan secara turun temurun melalui mulut ke mulut. Sebagaimana di sampaikan oleh Taum (2011: 21-22) bahwa sastra lisan adalah sekelompok teks yang disebarkan dan diturun-temurunkan secara lisan, yang secara intrinsik mengandung sarana-sarana kesusasteraan dan memiliki efek estetik dalam kaitannya dengan konteks moral maupun kultur dari sekelompok masyarakat tertentu. Hal senada pernah pula dinyatakan oleh Hutomo (1991: 1) bahwa sastra lisan sebenarnya adalah kesusateraan yang mencakup ekspresi kesusasteraan  warga suatu kebudayaan yang disebarakan dan diturunkan secara lisan (dari mulut ke mulut).
Dari berbagai pendapat para ahli di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa sastra lisan adalah karya sastra yang diwariskan secara turun-temurun yang penyebarannya di lakukan dengan cara lisan (dari mulut ke mulut). Sastra lisan merupakan milik suatu golongan masyarakat tertentu (kolektif) yang tetap dipertahankan kelestariannya.
M.Ciri-Ciri Sastra Lisan
Rusyana mengemukakan ciri dasar sastra lisan yaitu: (1) sastra lisan tergantung kepada penutur, pendengar, ruang dan waktu; (2) antara penutur dan pendengar terjadi kontak fisik, sarana komunikasi dilengkapi paralingusitik; dan (3) bersifat anonim[11]. Danandjaja dengan merujuk beberapa pendapat, mengemukakan ciri pengenal sastra lisan, yaitu: 1) penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan atau disertai gerak isyarat dan alat pembantu pengingat; 2) bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk realtif tetap atau dalam bentuk standar, disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama (paling sedikit dua generasi); 3) berada dalam versi-versi bahkan dalam varian-varian yang berbeda; 4) bersifat anonim; 5) biasanya mempunyai bentuk berumus dan berpola; 6) mempunyai kegunaan dalam kehidupan bersama suatu kolektif; 7) bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum; 8) menjadi milik bersama kolektif tertentu, setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa meilikinya; 9) pada umunya bersifat polos dan lugu sehingga seringkali tampak kasar dan terlalu spontan[12].
Taum merumuskan lima ciri utama sastra lisan yang akan berpengaruh terhadap proses penelitian sebagai berikut:
1.    Sastra lisan adalah teks sastra yang dituturkan secara lisan. Ciri ini menunjukkan dua unsur sekaligus, yakni nilai (value) dan cara (manner). Yang disebut sastra lisan adalah sebuah wacana yang bernilai sastra, memenuhi kualifikasi sebagai sebuah ‘karya sastra’yang memiliki kaidah-kaidah estetik dan puitik tersendiri dengan sifat-sifat dan sarana-sarana kesusasteraan.
2.    Sastra lisan hadir dalam berbagai bahasa daerah. Perekaman, pencatatan, dan penerjemahannya ke dalam bahasa Indonesia merupakan sebuah sumbangan yang berharga bagi pengembangan khazanah pengetahuan bangsa akan ciri khas etnik tertentu di Indonesia.
3.    Sastra lisan selalu hadir dalam versi-versi dan varian-varian yang berbeda-beda. Hal ini muncul sebagai akibat cara penyebaran/pewarisannya dilakukan secara lisan, dari mulut ke mulut atau disertai contoh/gerak dan alat bantu pengingat.
4.    Sastra lisan bertahan secara tradisional dan disebarkan dalam bentuk standar/relatif tetap dalam kurun waktu yang cukup lama, paling kurang dua generasi.
5.    Sastra lisan memiliki konvensi dan poetiknya sendiri[13].
Dari uraian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa sastra lisan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.    Sastra lisan diwariskan secara turun-temurun dan penyebarannya melalui mulut ke mulut.
2.    Sastra lisan selalu menggunakan bahasa daerah. Bahasa inilah yang menggambarkan ciri khas sastra lisan dari suatu daerah tertentu.
3.    Sastra lisan merupakan milik suatu masyarakat (kolektif).
4.    Sastra lisan bersifat anonim.
N.      Fungsi Sastra Lisan
Sastra lisan mempunyai fungsi yang banyak dan penting dalam kehidupan manusia., mulai dari fungsi rekreasi sampai kepada fungsi religius dalam berbagai upacara. Tuloli (2003: 6) mengemukakan berbagai pendapat para ahli tentang fungsi sastra lisan sebagai berikut:
1.    Teeuw (1984) mengemukakan fungsi sastra lisan dalam masyarakat bergerak dari fungsi estetik sampai kepada fungsi agama dan sosial. Fungsi sastra lisan, menurut Teeuw, berwujud (1) afirmasi, yaitu menetapkan norma-norma sosio-budaya yang ada pada waktu tertentu; (2) restorasi, yaitu mengungkapkan keinginan, kerinduan pada norma yang sudah lama hilang atau tidak berlaku lagi, dan (3) negasi, memberontak atau mengubah norma yang berlaku.
2.    Walter Ong (1988) menyatakan bahwa masyarakat dan budaya lisan menggunakan cerita-cerita dari kegiatan manusia untuk menyimpan, menyusun, menyampaikan berbagai hal yang mereka ketahui. Cerita secara khusus penting dalam kebudayaan lisa, sebab cerita itu dapat menyimpan berbagai pengetahuan tentang kebudayaan lisan dalam bentuk yang tahan lama.
3.    Jan Vansina (1973) mengemukakan tradisi lisan adalah sumber historis dari suatu ide khusus. Tradisi lisan adalah sumber yang dapat dipakai untuk meneruskan dan merekam kekayaan budaya masyarakat. Oleh karena itu, tradisi lisan bisa dijadikan sumber untuk menelusuri masa lampau, bahkan pada masyarakat yang telah mempunyai tradisi tulis pun, banyak sumber sejarah yang berhubungan dengan masa lampau yang didasarkan pada tradisi lisan.
4.    Isidore Okpewko menjelaskan berdasarkan hasil penelitiannya di Afrika bahwa mite mempunyai nilai sejarah (historis) yang sungguh banyak sebab isinya sering gambaran yang benar-benar terjadi.
5.    Ruth Finnegan (1979) mengemukakan bahwa puisi lisan mengabdi untuk menguatkan status quo, bahkan berlaku sebagai jenis piagam seperti mitos, piagam sosiologis. Puisi lisan bisa juga berisi kewibawaan raja, pandangan hidup yang diterima, sususan sosial yang dipertahankan, atau pelaksanaan upacara-upacara adat dalam masyarakat. Ia juga mengemukakan bahwa sebaiknya fungsi dan hakikat sastra lisan dilihat dari pandangan lokal, seperti kepercayaan, religi, pengalaman, lambang-lambang khusus.
Lebih lanjut Tuloli (2003: 7-8) mengemukakan bahwa pada umumnya, sastra lisan mempunyai berbagai fungsi baik praktis maupun ideologis, yang terkait erat dengan kehidupan masyarakat pemiliknya. Fungsi tersebut dapat diungkapkan sebagai berikut:
a.    Menjadi dokumen lisan yang bisa menyimpan berbagai peristiwa historis dan heroik dari sutu kelompok masyarakat.
b.    Medidik generasi muda dengan menampilkan berbagai ide, nasihat, ajaran norma yang baik-baik, yang berguna bagi pembinaan kepribadian generasi muda itu.
c.    Menjadi sarana pergaulan anggota masyarakat, yaitu dengan adanya bentuk-bentuk pantun yang berbalasan, atau penceritaan suatu peristiwa dalam suatu pesta.
d.   Mengukuhkan peradatan-peradatan atau pranata-pranata sosial dalam masyarakat karena dalam sastra lisan terdapat bentuk-bentuk yang dipakai untuk mengiringi kegiatan peradatan tertentu dalam masyarakatnya. Misalnya puisi yang dipakai pada perkawinan, penobatan pembesar negeri, mengerjakan sawah atau ladang, dan melepas seseorang untuk berangkat ke medan perang atau merantau.
e.    Menghibur masyarakat (fungsi ini terdapat pada semua sastra lisan, baik yang berbentuk cerita maupun yang berbentuk puisi atau drama).
f.     Memperkuat kedudukan dan keagungan seseorang atau keluarga bahkan masyarakat tertentu, seperti adanya mitos, legenda, dan lain-lain.
g.    Mendukung ajaran-ajaran agama, baik dalam bentuk cerita kepahlawanan dan kesucian penganjur agama maupuan dalam bentuk puisi yang mengandung ajaran agama di dalamnya.
O.      Ragam Sastra Lisan Gorontalo
Kalau ditinjau dari klarifikasi ragam secara universal seperti yang dijabarkan di atas, maka ragam sastra lisan Gorontalo dapat dibagi atas klasifikasi sebagai berikut (Tuloli, 2003: 13-16).
a.         Ragam-ragam yang termasuk pada jenis epik dan balada.
1)      Tanggomo, yaitu ragam puisi yang berisi cerita sejarah, kejadian nyata atau penting dan menghebohkan. Tanggomo juga bisa berisi mite, legenda, bahkan dongeng, dan pikiran-pikiran yang bersifat filsafat. Tanggomo selalu dilagukan, baik dengan menggunakan alat musik maupun tidak.
2)      Bungga, yaitu ragam puisi yang bisa dimasukkan pada ragam balada. Isinnya adalah cerita yang pendek dan penyajiannya di bawakan dengan irama oleh tukang cerita. Cerita itu biasanya pujaan terhadap seseorang atau keluarga.

b.        Lirik
Ragam ini dapat dimasukkan pada puisi adat, filsafat, kata-kata arif, pepatah dan teka-teki. Kalsifikasi ragam tersebut adaalah:
1)   Tujaqi, yaitu puisi adat yang diucapakan untuk mengiringi upacara peradatan seperti pada perkawinan, penobatan pejabat, penjemputan dan lain-lain. Tokoh penceritanya adalah Bate dan Wuqu, yaitu gelar bagi pemangku adat.
2)   Palebohu, semacam puisi yang berisi pidato, nasihat. Ragam ini biasanya diucapkan setelah selesai upacara adat.
3)   Mala-mala, ragam puisi yang diucapkan sebagai pembuka setiap upacara peradatan. Fungsinya hanya memperingatkan kepada para tamu bahwa upacara adat akan dimulai. Dalam upacara keagamaan, seperti upacara Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha.
4)   Taleningo, sejenis puisi filsafat. Isinya mengandung ajaran-ajaran agama Islam atau renungan tokoh atau leluhur. Pada prinsipnya ragam ini berisi peringatan agar manusia berbuat baik di dunia yang kelak akan menentukan corak hidup atau balasan di akhirat. Ragam taleningo bisa menyangkut kehidupan sebelum lahir, sesudah lahir, dan sesudah mati.
5)   Leningo, ragam yang berisi pikiran dan pendapat tokoh-tokoh masyarakat sebagai nasihat untuk memperbaiki tingkah laku. Ragam ini bisa dimasukkan pada puisi pepatah, peribahasa, atau kiasan.
6)   Lumadu, ragam teka-teki baik yang bersifat mainan biasa ataupun ungkapan yang serius. Lumadu juga bisa berbentuk suatu perumpamaan yang isinya bisa menyinggung atau untuk memperluas dan mempertinggi kesan makna yang menjadi sasaran.
7)   Bunito, sejenis mantra yang diucapkan oleh pawang-pawang yang disebut WombuaWombua sering mempunyai fungsi ganda yaitu sebagai pemimpin upacara mantra (menanam dan mengetam padi, pergi ke medan perang, naik rumah baru, memakai alat baru), juga sebagai dukun tradisional.
8)   Lohidu, ragam yang sangat banyak diciptakan oleh muda-mudi. Lohidu dapat disamakan dengan ‘pantun’ yang dipakai dalam pergaulan.
c.         Ode
Ragam ini kurang ditemukan dalam masyarakat Gorontalo. Ada satu ragam yang hampir sama dengan bahasan ode, yaitu ragam tinilo. Ragam ini berbentuk syair, yang mengandung sanjungan bagi seseorang. Pada umumnya tinilo dipergunakan pada saat mengantar mayat ke kuburan.
P.       Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis. Menurut Ratna (2011: 53) metode deskriptif analitik dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis.Dalam penelitian ini, analisis dilakukan dengan menerapkan pendekatan semiotik. Melalui pendekatan semiotik peneliti akan mencari apa yang dianggap sebagai penanda utama puisi lisan Taleningo. Menelaah kata yang digunakan secara denotatif dan konotatif yang kemudian dilanjutkan dengan analisis paradigmatik dan sintagmatik. Analisis dengan menggunakan metode ini dilakukan dengan tujuan untuk mengungkapkan aspek-aspek sufistik yang terdapat dalam puisi lisan taleningo.
Q.      Lokasi dan Waktu
a)      Lokasi Penelitian
Lokasi peneitian ini adalah Provinsi Gorontalo, sebab puisilisan Taleningo merupakan sastra lisan yang terdapat di Gorontalo. Sastra lisan taleningo tersebar hampir di semua wilayah di Gorontalo. Namun, dalam penelitian ini peneliti hanya melakukan penelitian di satu desa saja. Hal ini dilakukan untuk memudahkan penelitian dalam hal waktu, tenaga dan biaya. Desa yang menjadi lokasi penelitian yang dimaksud adalah desa Bulontio Timur, Kecamatan Sumalata, Kabupaten Gorontalo Utara.
b)      Waktu
Rancangan waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah lima bulan. Penelitian ini akan dimulai dari bulan Januari sampai dengan Mei 2016. Hal ini dimaksudkan agar proses penelitian makasimal dan data yang diperoleh benar-benar valid.
R.      Data dan Sumber Data
a)         Data
Data dalam penelitian ini terdiri atas dua jenis yaitu data primer dan dan data sekunder. Data primer merupakan data utama, yaitu data yang diseleksi atau diperoleh langsung dari sumbernya tanpa perantara[14]. Data primer atau data utama dalam penelitian ini adalah teks puisi lisan taleningo yang diperoleh langsung dari informan (penutur).
Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung atau lewat perantara, tetapi tetap bersandar kepada kategori atau parameter yang menjadi rujukan[15]. Dalam lain pengertian data sekunder merupakan data-data pendukung dalam penelitian. Data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku, majalah, dan media lainnya yang mengulas teori dan materi yang berhubungan dengan sastra sufistik dan sastra lisan.
b)        Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah informan. Informan adalah penutur puisi lisan taleningo. Informan merupakan orang yang mengetahui informasi-informasi serta menguasai puisi lisan taleningo. Sumber data lainnya meliputi jurnal, kumpulan teori sastra, skripsi, tesis dan sumber lain yang terkait erat dengan data primer.
S.        Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data penelitian ini adalah teknik observasi, wawancara, perekaman, penyalinan/penulisan dan penerjemahan. Teknik pengumpulan data tersebut dapat dijabarkan berikut ini:
a)        Teknik Observasi
Teknik observasi merupakan kegiatan mengamati situasi dan kondisi lokasi serta masyarakat (penutur) sebagai sumber untuk memperoleh data dalam hal ini puisi lisan taleningo. Observasi dilakukan berulang-ulang untuk memastikan bahwa data yang diperolah benar-benar valid.
b)        Teknik Wawancara
Wawancara dilakukan untuk mendapatkan data puisi lisan taleningo dari informan. Wawancara dilakukan secara terstruktur, dalam hal ini peneliti melakukan wawancara berdasarkan daftar pertanyaan yang sudah disusun sebelumnya oleh peneliti.
c)        Teknik perekaman
Menurut Finnegan (dalam Tuloli: 2000: 134) perlunya perekaman data sastra lisan secara baik didasarkan pada pertimbangan, (a) bentuk-bentuk lisan hanya berlaku dalam waktu yang singkat. Untuk menganalisis data lisan, perlu disimpan terlebih dahulu dalam rekaman; (b) rekaman memberikan harapan besar secara langsung mendengarkan suara dan sumber utama; (c) aspek-aspek tertentu dari penampilan lisan, seperti pengaruh bunyi atau isyarat, hanya dapat ditangkap melalui bentuk rekaman secara khusus; (d)rekaman secara mekanis merupakan cara yang cocok untuk mengumpul informasi dengan cepat bahkan tidak mengganggu; (e)perkembangan dalam bidang teknologi perekaman mempunyai implikasi teoritis yang sangat luas, terutama dalam menerapkan dan menemukan pendekatan terhadap sastra lisan.
d.        Teknik penyalinan
Semua hasil rekaman perlu disalin ke bentuk tulisan agar memudahkan pelaksanaan analisis teks (wacana). Penyalinan ini dapat dimaksudkan sebagai transkripsi, yaitu pengubahan dari bentuk rekaman yang bisa didengar ke bentuk kata-kata tertulis yang bisa dibaca (Tuloli: 2000:136).
e.         Teknik penerjemahan
Penerjemahan dilakukan untuk memindahkan bahasa dalam sastra lisan dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Dalam penelitian ini, penerjemahan dilakukan terhadap puisi lisan taleningo, yakni memindahkan bahasa Gorontalo ke bahasa Indnesia. Penerjemahan ini bertujuan untuk memudahkan proses analisis.
T.       Daftar Pustaka
Baruadi, Karmin. Sendi Adat dan Eksistensi Sastra: Pengaruh Islam dalam Nuansa Budaya Lokal Gorontalo2012. El Harakah Vol. 14. No. 2
TuloliPuisi Lisan Gorontalo(Jakarta: Pusat Bahasa 2003).
Sudardi, Bani. Sastra Sufistik: Internalisasi Ajaran-Ajaran Sufi dalam Sastra Indonesia(Solo: Tiga Serangkai 2003).
Rusli, Ris’an. Tasawuf dan Tarekat: Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi(Jakarta: Rajawali Pers, 2013).
Tuloli, Nani. Kajian Sastra(Gorontalo: Nurul Jannah, 2000).
Taum, Yoseph Yapi.Studi Sastra Lisan: Sejarah, Teori, Metode, dan Pendekatan Disertai Contoh Penerapannya(Yogyakarta: LAMALERA, 2011).
Siswantoro. Metode Penelitian Sastra: Analisis Struktur Puisi(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010).



[1] Baruadi, Karmin. Sendi Adat dan Eksistensi Sastra: Pengaruh Islam dalam Nuansa Budaya Lokal Gorontalo2012. El Harakah Vol. 14. No. 2
[2] Ibid…
[3] TuloliPuisi Lisan Gorontalo(Jakarta: Pusat Bahasa 2003). Hlm. 32.
[4] Sudardi, Bani. Sastra Sufistik: Internalisasi Ajaran-Ajaran Sufi dalam Sastra Indonesia(Solo: Tiga Serangkai 2003). Hlm. 2.

[5] Rusli, Ris’an. Tasawuf dan Tarekat: Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi(Jakarta: Rajawali Pers, 2013). Hlm. 46.
[6] Tuloli, Nani. Kajian Sastra(Gorontalo: Nurul Jannah, 2000). Hlm. 53.

[7] Sudardi, Bani. 2003.Sastra Sufistik: Internalisasi Ajaran-Ajaran Sufi dalam Sastra Indonesia. Solo: Tiga Serangkai

[8] Ibid 11
[9] Ibid 11-12
[10] Sudardi, Bani. 2003. Sastra Sufistik: Internalisasi Ajaran-Ajaran Sufi dalam Sastra IndonesiaHlm. 13

[11] Taum, Yoseph Yapi.Studi Sastra Lisan: Sejarah, Teori, Metode, dan Pendekatan Disertai Contoh Penerapannya(Yogyakarta: LAMALERA, 2011). Hlm. 22.
[12] Ibid. 23.
[13] Ibid. 24.
[14] Siswantoro. Metode Penelitian Sastra: Analisis Struktur Puisi(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010).  Hlm. 70.
[15] Ibid. 71.

No comments: