MAKALAHKU: konsep kebahagiaan sejati menurut boethius sebagai bentuk kritik terhadap materialisme

SELAMAT DATANG DAN SEMOGA BERMANFAAT

Friday, January 29, 2016

konsep kebahagiaan sejati menurut boethius sebagai bentuk kritik terhadap materialisme

KONSEP KEBAHAGIAAN SEJATI MENURUT BOETHIUS SEBAGAI BENTUK KRITIK TERHADAP MATERIALISME
(Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Proposal Matakuliah Penulisan Karya Ilmiah)

OLEH:
BROJO HERMANTO
Nim: 143012007


index.jpg


IAIN SULTAN AMAI GORONTALO
FAKULTAS USHULUDHIN DAN DAKWAH
JURUSAN FILSAFAT AGAMA

TAHUN AJARAN 2015/2016



PROPOSAL PENELITIAN

A.    Judul
Konsep Kebahagiaan Sejati Menurut Boethius Sebagai Bentuk Kritik Terhadap Materialisme

B.     Latar Belakang
Dalam abad ke-21 ini, ada begitu banyak perubahan yang terus-menerus berlangsung di setiap waktu kehidupan manusia. Perubahan-perubahan itu meliputi segala hal yang dapat berubah. Seiring dengan insiden perubahan ini, pola Fikir dan tujuan hidup dari manusia yang adalah subjek sekaligus objek dari perubahan itu, ikut berubah. Pola Fikir dan tujuan hidup manusia yang berubah ini ternyata mempunyai sisi baik dan sisi tidak baik[1]. Yang mau dibahas dalam tulisan ini adalah mengenai salah satu sisi buruk dari perubahan pola Fikir dan tujuan hidup manusia saat ini. Perubahan yang paling dirasakan berkaitan dengan tujuan hidup manusia adalah dalam kehidupan moral manusia. Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah mengenai aturan dasar hidup bermoral yang dewasa ini sangat mengedepankan pengejaran kenikmatan demi mencapai sebuah kebahagiaan yang diakui sebagai tujuan dari kehidupan manusia. Moral atau moralitas adalah salah satu gejala kemanusiaan yang paling penting. Moralitas dapat disebut keseluruhan peraturan tentang bagaimana manusia harus mengatur kehidupannya supaya ia menjadi orang baik.
Sudah lama manusia mengenal moralitas sebagai system peraturan yang diyakini harus mengatur kelakuan manusia. Dengan kata lain, moralitas masing-masing masyarakat sudah ditemukan dalam tradisi dan kebudayaannya dan tidak jarang berakar dalam keyakinan agama terutama dalam agama-agama monoteis .
Namun, seperti sudah dikatakan sebelumnya bahwa selalu ada perubahan seiring dengan bertambahnya waktu. Masyarakat pun turut berubah dari saat ke saat sehingga makin sebuah masyarakat berubah, makin pula dia merasakan kebutuhan untuk memastikan kembali aturan-aturan hidupnya termasuk dalam kehidupan moral. Dalam tradisi, moralitas sering bercampur-baur dengan ketetapan-ketetapan adat, aturan kesopanan, dan tatanan hukum negara. Moralitas tradisional seringkali juga tidak lagi meyakinkan. Artinya, dalam masyarakat-masyarakat yang berkembang kebudayaannya, seperti dalam masyarakat Yunani kuno, orang semakin meragukan tradisi. Situasi itulah yang melahirkan kebutuhan untuk memastikan kembali norma kelakuan yang baru. Sehingga seperti yang diuraikan Aristoteles bahwa pertimbangan yang kelihatan paling masuk akal untuk mendasarkan aturan kehidupan bermoral adalah keterarahan pada kebahagiaan. Dengan demikian, orang bisa mengerti mengapa ia, misalnya, diharapkan menguasai hawa nafsunya agar bisa bahagia.
Manusia tidak bisa langsung mengusahakan kebahagiaan. Yang harus kita usahakan adalah suatu kelakuan yang kita ketahui akan menghasilkan kebahagiaan. Kelakuan inilah yang seringkali salah diusahakan oleh hampir semua manusia yang merindukan kebahagiaan di dunia ini[2].
Sebagian manusia mengusakan kebahagiaan dengan menuruti semua hawa nafsunya dengan harapan dapat mencapai kebahagiaan. Bahkan sampai ada manusia yang kehidupannya sudah sampai pada pola hidup kaum materialis di mana kebahagiaan hanya dilihat dan diperoleh dalam segala hal yang berwujud atau berbau materi. Materialisme di sini meliputi materialisme teoritis dan praktis. Salah satu bentuk dari kehidupan materialis adalah budaya hedonisme yang sekarang terus menjamur dalam masyarakat. Namun seorang filsuf pencari penghiburan, Boethius, dalam karyanya yang ketiga mengemukakan suatu konsep tentang kebahagiaan sejati yang tentunya sangat berlawanan dengan konsep para materialis. Oleh karena itu penulis mencoba untuk meneliti masalah tersebut di bawah judul,: Konsep Kebahagiaan Sejati Menurut Boethius Sebagai Bentuk Kritik Terhadap Materialisme.


C.    Perumusan Masalah
Atas dasar latar belakang yang sudah dipaparkan terdahulu, maka penulis merumuskan masalah dalam pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
1.      Bagaimana konsep kebahagiaan sejati menurut Boethius?
2.      Apa itu materialisme?
3.      Bagaimana Boethius mengkritik Materialisme?

D.    Batasan Masalah
Dalam penulisan ini penulis membatasi masalah agar pembahasan dan penelitian yang kelak akan dipaparkan tidak terlalu meluas. Adapun batasan dalam penulisan ini adalah:
1.      Konsep Bahagia menurut Boethius.
2.      Cara menempuh dan mendapatkan kebahagian sejati.

E.     Manfaat Penelitian
Manfaat diadakannya sebuah mainstream peneltian ini antara lain:
a.       Bagi Universitas
Supaya para mahasiswa meningkatkan semangat ilmiahnya terutama dalam menelaah suatu masalah sesuai dengan berbagai disiplin ilmu yang diperoleh baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
b.      Bagi Fakultas
Supaya mahasiswa dapat memahami konsep kebahagiaan sejati menurut Boethius, sehingga dapat memahami dirinya sendiri sebagai manusia yang juga memiliki perasaan bahagia. konsep yang ditawarkan oleh Boethius diharapkan membantu mahasiswa memahami kebahagiaan yang mahasiswa alami.
c.       Bagi Peneliti
Penelitian memberikan wawasan berpikir kritis dan mepertgaska pengambilan sikap penulis dalam menghadapi setiap problem serta menyelesaikannya secara lebih jernih dan berdaya guna, di samping pembentukan pribadi dan perkembangan pribadi peneliti dalam zaman yang semakin global.
F.     Tujuan Penelitian
Memaparkan pengertian dari konsep kebahagiaan sejati demi menanggulangi budaya materialisme yang semakin berakar dalam masyarakat. Budaya tersebut dikritik karena pemikiran kebahagiaan yang dianutnya berdasar pada barang yang bersifat fana.
a.       Inventarisasi
Mengumpulkan, mengetahui dan mempelajari karya-karya Boethius, terutama tentang pemikiran atau konsep Kebahagiaan Sejati yang mengatakan bahwa kebahagiaan sejati hanya ada pada Allah sebagai sosok yang sempurna.
b.      Sintesis
Bertolak dari inventarisasi, peneliti mencoba mensintesiskan konsep Kebahagiaan Boethius dalam kerangka judul tulisan ini.

G.    Landasan Teoritis
a.       Informasi Yang Diperoleh
1.      Biodata
Boethius yang dikenal sebagai filsuf pencari penghiburan karena dengan semangat ia telah berfilsafat tentang makna kehidupan manusia memiliki nama lengkap Anicius Manlius Severinus Boethius (480-535) . Ia lahir di Italia pada tahun 480, sekota dengan st. Benediktus. Ia lahir dari keluarga bangsawan. Ayahnya bernama Flavius Malius Boethius yang adalah seorang pejabat tinggi dalam kekaisaran Roma. Dua orang dari keturunannya pernah menjadi Paus. Boethius menikah dengan anak perempuan Symmachus yang bernama Rusticiana dan kemudian menikah lagi dengan Elphis anak dari Paus Yohanes II. Pada tahun 523, ketika sudah memegang jabatan tinggi dalam kekaisaran Roma, ia bersama senator Albius dituduh berkonspirasi dengan maharaja Byzantine yang bernama Justin I. kemudian ia dipenjara di Pavia. Pada tahun 524, atas arahan Raja Theodorik, ia dihukum mati. Dan juga pada tahun 525, Paus John II dan Symmachus, kedua mertuanya itu ikut dihukum mati. Boethius kemudian digelar kudus dan diperingati setiap tanggal 23 Oktober[3].
2.      Karya-Karya
Kata orang, “kalau kamu ingin pintar, sering-seringlah berdialog dengan orang mati”. Yang dimaksud “berdialog dengan orang mati” di sini bukanlah satu bentuk sinkretis atau upaya menyekutukan Tuhan. Mengobservasi, menggali, mengkritisi, menginterpretasi dan jika memungkinkan juga turut memberikan jalan tengah atau solusi inilah yang harus kita lakukan tatkala berdiskusi dengan “orang mati”. Hal seperti ini juga yang telah dilakukan Boethius, seorang yang mengabdikan dirinya pada dunia filsafat. Filsuf yang berasal dari keluarga bangsawan Roma ini, sejak kecil sudah terbiasa mandiri dalam segala hal. Sepeninggal ayahnya, Boethius kemudian diasuh dan dibesarkan oleh Symmachus. Didikan yang sangat baik dari keluarga ini, membuat Boethius menjadi semakin terbentuk baik dari segi mental maupun pemahamannya. Bahkan dia juga mahir sekali dalam bahasa Yunani, satu hal yang sangat jarang di dunia Barat masa itu.
Boethius melihat dirinya sebagai “guru dunia Barat”. Boethius menggali dan menginterpretasi karya Aristoteles maupun Plato, lalu memberikan sedikit konklusi, penjelasan, atau mencoba mengharmonisasi karya dua tokoh besar filsafat itu dalam bahasa Latin. Tujuannya tak lain dan tak bukan adalah demi “mendaratkan” pikiran Plato dan Aristoteles tadi kepada konteks sosial bangsa Latin yang ada di dunia Barat.
Selain itu, mereka juga memiliki tujuan dan keinginan lainnya yaitu, untuk menunjukkan pada dunia bahwa filsafat di antara Aristoteles dan Plato itu harmonis dan berdampingan, tak seperti tuduhan banyak orang itu. Ide keharmonisan antara kedua filsafat besar itu didapatnya dari neoplatonisme. Karya Boethius nyatanya tak hanya berada dalam area filsafat yang begitu luas. Dalam karyanya yang ketiga sampai kelima ini Boethius justru mengkhususkan diri menyoroti “teologi”. Dalam buku yang ketiga ini Boethius kembali berdiskusi dengan “sosok“ perempuan yang dinamakan filsafat, membicarakan kebahagiaan sejati. Mereka (Boethius dan filsafat) sadar bahwa hanya Allah yang dapat memberikan kebahagiaan yang sejati: selanjutnya dalam bukunya yang keempat, diskusi di antara mereka semakin seru saja. Di buku ini secara khusus dibahas soal takdir. Si filsafat dihadapkan pada keberatan yang diutarakan oleh Boethius. “Semua nasib, apakah dia baik atau buruk dimaksudkan untuk memberi ganjaran atau menertibkan orang baik dan menghukum atau mengoreksi orang yang jahat. Oleh sebab itu kita setuju bahwa nasib itu adil dan berguna. Jadi semua nasib itu baik (Hiburan 4: 7)”. Menurut filsafat bagaimana mungkin kejahatan terjadi terus-menerus tanpa ada hukuman di dalam dunia yang dikuasai oleh Allah yang baik, mahatahu dan mahakuasa[4].
Seolah hendak melengkapi bukunya yang keempat, dalam bukunya yang ke-5, Boethius mengarahkan diri pada penjelasan dan dialog tentang apa itu kehendak bebas. Dalam buku ini filsafat mencoba menyelaraskan pengetahuan awal Allah dengan kehendak bebas manusia. Pengetahuan Allah “bukanlah semacam pengetahuan awal mengenai masa depan, tetapi pengetahuan awal mengenai masa kini yang tak berkesudahan”. Allah melihat segala sesuatu dalam masa kini yang kekal mengenai segala tindakanku tidak bertolak belakang dengan kehendak bebasku. Meski ketiga bukunya ini membahas siapa Allah dan bagaimana hubungannya dengan umat yang diciptakanNya, namun buru-buru menyimpulkan karyanya ini dalam ranah teologi adalah tidak bijak. Sebab karya Boethius memang tak ditujukan sebagai karya teologis meskipun ditinjau dari “objek” secara fisik memang sama, tapi sudut pandangnyalah yang berbeda. Pengaruh Boethius terhadap abad pertengahan sangat mendalam. Doa yang menjadi penghubung anatar filsafat klasik dengan pemikiran pada abad-abad mendatang. Hal ini terbukti dari abadinya karya Boethius yang masih dapat ditemui hingga abad ke-13.
3.      Filsuf yang Berpengaruh
Aristoteles adalah filosof pertama yang merumuskan dengan jelas bahwa kebahagiaan adalah apa yang dicari semua orang. Karena itu etikanya disebut “eudemonisme”, dari kata Yunani eudaimonia yang berarti bahagia. manusia harus menata kehidupannya sedemikian rupa hingga ia menjadi semakin bahagia. dengan demikian Aristoteles memberikan tolak ukur yang jelas, yang dapat mendasari semua petunjuk dan aturan etika. Pandangan ini dinilai masuk akal karena jelaslah bahwa kebahagiaan merupakan tujuan terakhir manusia. Kita semua meminatinya, dan apabila tidak menghasilkan kebahagiaan, belum memuaskan. Jadi, menurut Aristoteles aturan-aturan moralitas bukan sesuatu yang tidak dapat dimengerti, sesuatu yang diharuskan dari luar, melainkan sesuatu yang sangat masuk akal, yang perlu kita perhatikan agar dapat mencapai kebahagiaan. Kita hendaknya hidup secara bermoral karena itulah jalan ke kebahagiaan karena tujuan moralitas adalah menghantar manusia pada kebahagiaan. Kebahagiaan yang dicapai dengan jalan yang tidak bermoral sebenarnya telah mendehumanisasikan manusia[5].
b.      Konsep Kebahagiaan Sejati Menurut Boethius
1.      Kebahagiaan dan Tujuan Manusia
Etika Nikomacheia mulai dengan kalimat termasyur: “Setiap keterampilan dan ajaran, begitu pula tindakan dan keputusan tampaknya mengejar salah satu nilai.” Apabila manusia melakukan sesuatu, ia selalu melakukannya karena ada tujuannya, sebuah nilai. Apabila manusia mau mengatur kehidupannya secara nalar, maka apakah tujuan manusia? Menurut Aristoteles, setiap tindakan yang mengarah ke pencapaian tujuan itu masuk akal, dan setiap tindakan yang tidak menunjang tercapainya tujuan manusia tidak masuk akal. Ia mengungkapkan bahwa ada tujuan akhir dari manusia di mana tidak ada lagi yang masih dituju ketika tujuan itu telah dicapai. Aristoles menjawab tujuan akhir dari manusia adalah kebahagiaan. Kalau manusia bahagia tidak ada yang masih diinginkan selebihnya. Dan sebaliknya, selama ia belum bahagia, apa pun yang diperolehnya tidak akan membuatnya puas. Jadi, kebahagiaan merupakan tujuan akhir manusia di mana pada saat itu mencapai kesempurnaannya sebagai manusia.
2.      Konsep Kebahagiaan Sejati Menurut Boethius
Boethius sangat bersemangat untuk berfilsafat tentang makna kehidupan manusia, terutama tentang kebahagiaan dan kemungkinan ultimo manusia. Ketika dipenjara di tempat pembuangan, ia hidup melarat, jauh dari keluarga serta tanah airnya, dan mulai berpikir tentang nasibnya, tentang liku-liku kehidupan yang sukar diramalkan, dan petanyaan entah suatu Penyelenggaraan Ilahi atau suatu takdir yang buta serta tingkah mengatur segala-galanya. Permenungan filosofis ini dituliskannya dalam bukunya yang termasyur dan ditulis dalam bahasa Latin berjudul De consolation Philosophiae dengan konsep utama Wheel of  Fortune atau Roda Untung Nasib.
Philosophia, sahabatnya sejak dulu, datang menjenguk Boethius dalam penderitaanya di tempat pengasingan. Ia mencoba menghibur dia dengan mengingatkan kembali cintanya dahulu akan kebijaksanaan. Pertama-tama ia harus menemukan kembali dirinya sendiri, lalu ia harus mendapat lagi suatu pandangan sehat tentang pengaturan dunia. Sebab, Boethius bahkan mulai meragukan Penyelenggaraan Ilahi dan keyakinan dulu bahwa orang jahat tidak mungkin berbahagia. Janganlah ia mengandalkan “Fortuna” karena dewi keuntungan ini berubah-ubah dan tidak bisa diperhitungkan. Ia menulis, dewi Fortuna itu sendiri menegaskan: “Saya memutarkan roda yang cepat dan kesukaan saya yang paling besar ialah menjungkirbalikkan yang di bawah ke atas dan yang di atas kebawah”.
Anugerah-anugerah Fortuna terletak di pinggiran saja, seperti kekayaan, kedudukan tinggi, kekuasaan, dan kehormatan. Terlalu sembrono bila orang mencari kebahagiaan dan makna kehidupan dalam hal ini. Sri Paduka Philosophia, yang berhubungan keluarga dengan Plato, Stoa, dan Plotinos mengantar dia ke batinnya sendiri. Kebahagiaan yang benar tidak pernah terdiri dari barang milik, tetapi terletak di dalam batin. Janganlah kita mencari kebahagiaan di luar, melainkan di dalam diri kita sendiri. Hal inilah yang ditemukan Boethius dalam dialognya dengan Philosophia.
Kebahagiaan yang sejati tidak boleh cepat berlalu dan tidak sempurna. Kemudian dari hasil permenungannya bersama filsafat ia memberi semacam definisi tentang kebahagiaan sejatiyang telah menjadi klasik: “Keadaan di mana segala sesuatu yang terintegrasi dengan sempurna” (Status bonorum omnium congregatione perfecta). Dapat dikatakan bahwa kebahagiaan sejati tidak mungkin disertai ketidakpuasan dan ketakutan akan kehilangan. Kebahagiaan adalah kepuasan sempurna dan tetap dari keinginan-keinginan hati kita yang paling mendalam dan paling jujur. Di mana dapat ditemukan kebahagiaan sedemikian? Di dalam uang dan harta milik? Di dalam makanan dan minuman? Di dalam kenikmatan indra? Ataukah di dalam kekuasaan serta gengsi? Tidak. Karena semuanya itu terlalu rapuh dan fana. Kebahagiaan sejati harus membuat kita menjadi “sungguh-sungguh puas, berkuasa, terhormat, terpuji, dan bergembira ria”.
c.       Konsep Kebahagiaan Sejati Menurut Boethius Sebagai Bentuk Kritik Terhadap Materialisme
1.      Materialisme
Materialisme berpendapat bahwa, alam semesta ini terdiri dari suatu aglomerasi atom-atom yang dikuasai oleh hukum-hukum fisis-kimiawi. Kemungkinan tertinggi atom-atom itu ialah dapat membentuk manusia. Bilamana dikatakan bahwa manusia mempunyai roh, jiwa atau kesadaran, maka hal itu tidak berarti bahwa mereka menerima juga suatu unsur non-materiil dalam dunia atau dalam diri manusia. Apa yang mereka sebut kesadaran, jiwa, atau roh, pada akhirnya tidak lain daripada sejumlah fungsi serta kegiatan otak. Dunia dan manusia tetap materiil belaka. Juga kemungkinan-kemungkinan yang dimiliki manusia tidak melebihi kemungkinan-kemungkinan kombinasi-kombinasi atom dan arena itu tidak pernah malampaui potensi-potensi jasmani. Materialisme memang masih berbicara tentang refleksi diri, keinsafan sosial dan etis, tentang ilmu pengetahuan dan kebudayaan, tetapi serentak berusaha mereduksikan semuanya itu kepada kemungkinan-kemungkinan dan daya-daya materi.
Kita menemukan materialisme di zaman kuno dan di zaman modern, tetapi tidak ada materialisme pada Abad Pertengahan.
Materialisme Demokritos serta Lucretis Carus pada dasarnya dapat disamakan dengan materialism di Prancis waktu Masa Pencerahan (abad ke-18). Hal itu dapat ditemukan dalam dua karangan De La Mettrie (1709-1751) berjudul L’homme machine (manusia mesin) dan L’honne plante (manusia tumbuhan). Semboyannya ialah: Nikmatilah kehidupan ini sebab bila kita mati, sudah habislah lelucon! Baron von Holbach, yang hidup kira-kira pada waktu bersamaan, mengemukakan juga suatu materialisme ateistis. Jiwa sebetulnya sama denga fungsi-fungsi otak. Para materialis ini menolak berbicara tentang makna kehidupan manusia karena kata “makna” itu bernada teralu spiritualistis karena kemungkinan terakhir dari tujuan hidup manusia adalah kematian yang diyakini sebagai hancurnya stuktur atom-atom manusia, peleburan, serta penyebaran kombinasi atom-atom. Tidak ada dasar apa pun untuk menerima kelanjutan kehidupan personal sesudah mati. Beberapa dari antara mereka menganggapnya sebagai makan kehidupan bilamana menerima saja yang akan datang, menyerah pada nasib, facum. Ada materialis yang bergabung dengan Horatius dalam sajaknya Carpe Diem, nikmatilah hari ini, dan menjadi sensualis atau hanya meminati hidup bersenang-senang[6].
Atas dasar pemikiran materialis-materialis dan juga oleh semboyan La Mettrie dan Horatius inilah manusia mulai memaknai kebahagiaannya pada sesuatu yang bersifat duniawi atau materi. Dari sinilah kita dapat menyaksikan hadirnya budaya baru dalam hidup manusia yang semakin digemari yaitu budaya hedonisme yang dalam filsafat Epikuros (341-270) disebut sebagai dasar moralitas yang paling rasional. Menurutnya, kalau mau bahagia maka hindarilah perasaan sakit dan usahakan nikmat. Hedonisme (dari kata Yunani hedone, nikmat kegembiraan) adalah aliran dalam filsafat yang mengajarkan agar selalu menghindar dari rasa sakit dalam hidup ini dan mengusahakan yang nikmat. Semua orang akhirnya terbius oleh paham yang ternyata sangat memanjakan manusia untuk mencapai kebahagiaan. Dan kebanyakan orang berpikir bahwa yang nikmat itu selalu ada dalam barang-barang duniawi. Semua orang mulai mengusahakan mendapatkan barang-barang duniawi seperti materi dan uang, harta milik, makanan dan minuman, kenikmatan indra, dan juga dalam kekuasaan indra dan gengsi. Berbagai usaha pun dilakukan walau pun tak jarang harus menempuh jalan tidak lazim demi menghidarkan rasa sakit dan memperoleh nikmat.
Pola hidup seperti ini sudah berbaur dalam pola-pola kehidupan masyarakat yang bahkan sangat menjunjung tinggi nilai perjuangan dari pada hasil. Tanpa kita sadari bahwa materialis-materialis saat ini terus bertumbuh dan kalau tidak dicegah akan melahirkan generasi manusia bermental instan.
2.      Sebuah Kritik Terhadap Materialisme
Boethius mengemukakan konsep kebahagiaan sejati atas dasar pengalaman kehidupannya sebagai pejabat tinggi Roma yang kemudian dipenjara. Menurutnya, kebahagiaan sejati tidak dialami pada sesuatu yang duniawi. Jadi, kita harus mencari lebih tinggi karena hanya sesuatu yang sempurna, tertinggi, dan tetap dapat membahagiakan kita sepenuh-penuhnya. Lalu, bagi Borthius, yang dididik dalam tradisi Platonistis, tidak sulit lagi untuk menyetarafkan hal yang tertinggi serta sempurna itu dengan Allah. Kalau di dunia sudah terdapat nilai-nilai berhingga, seperti keberadaan, keindahan, kebaikan, kebenaran, dan kehidupan, maka haruslah ada juga suatu nilai (bonum) tak berhingga sebab yang berhingga hanya kata berada karena yang tak berhingga merupakan syaratnya. Boethius menganggap Tuhan adalah yang tak berhingga dan sempurna, sumber segala sesuatu yang baik. Filsafat menghantar Boethius ke puncak kemungkinan-kemungkinannya, ke makna keberadaannya: kebahagiaan di dalam Tuhan. Kebahagiaan adalah keTuhanan itu sendiri, maka mengambil bagian dalam keTuhanan haruslah menjadikan manusia bahagia. Semua orang yang bahagia adalah Tuhan, menjadi Tuhan dengan jalan “partisipasi”[7].
Tampaknya yang bahagia adalah orang-orang yang berkuasa, memiliki harta, punya uang yang banyak, selalu mendapatkan kenikmatan indra, dan yang berkelimpahan makanan dan minuman. Namun kebahagiaan itu hanyalah kebahagiaan semu yang dapat musnah karena materi yang dijadikan dasar dari kebahagiaan itu dapat hilang karena bersifat fana. Manusia-manusia materialis sebenarnya tidak bahagia karena mereka selalu cemas dan takut akan kehilangan materi yang dimilikinya.
Aristoteles pun meletakkan dasar yang sama tentang kebahagiaan. Aristoteles ternyata serta merta menolak budaya hedonisme yang merupakan akibat dari materialisme. Masih pada permulaan Etika Nikomacheia ia menyebutkan tiga pola hidup yang membawa kepuasan dalam dirinya sendiri yaitu hidup mengejar nikmat, hidup berpolitik dan filsafat. Namun, pola hidup mengejar nikmat langsung disebutnya sebagai pola “hidup ternak”. Aristoteles tidak menjelaskan “vonis” keras itu. Tetapi dapat kita mengerti bahwa pola hidup seperti itu tidak beda dengan kehidupan binatang yang melakukan apa pun semata-mata demi pencapaian nikmat (misalnya makan dan seksualitas) atau untuk menghindar dari perasaan-perasaan yang menyakitkan. Hedonisme merupakan perilaku hewani dan tentunya tidak masuk akal dan memalukan. Sebenarnya, menurut Aristoteles, hal nikmat dan perasaan sakit bukan sesuatu yang boleh diabaikan. Manusia akan suka melakukan hal-hal yang dinikmatinya dan menghindar dari hal-hal yang menyakiti. Dua daya kuat itu harus dimanfaatkan agar orang mengembangkan diri[8].
3.      Hipotesa
Boethius memberikan suatu pemikiran tentang kebahagiaan sejati yang seringkali tidak disadari oleh manusia zaman sekarang. Para manusia materialis selalu berusaha menyenangkan diri demi mendapatkan kebahagiaan yang dipercaya sebagai tujuan hidup. Namun, menurut mereka kesenangan itu hanya bisa didapat pada barang-barang duniawi. Hal inilah yang mau dikritik oleh peneliti dengan mendasarkan pemikiran pada pemikiran Boethius, seorang filsuf pencari penghiburan. Menurut Boethius, kebahagiaan sejati tidak didapat pada barang-barang duniawi, tetapi terdapat dalam Allah, dalam hidup yang bersatu dengan Allah.

H.    Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan, dan manuskrip-manuskrip lain. Unsur-unsur metode yang digunakan terdiri dari:
a.       Interpretasi
Peneliti berusaha menyelami pemikiran Boethius, untuk menangkap arti serta dan nuansa essensial, serta pendapat-pendapat orang lain, tentang Boethius dan pemikirannya dengan bertumpu pada evidensi objektif.
b.      Induksi dan Deduksi
Peneliti menggunakan kedua metode ini secara serempak. Data-data yang dikumpulkan akan dipelajari dengan menganalisa konsep-konsep yang berhubungan satu sama lainnya, dengan memahami konsep itu, barulah peneliti membuat satu sintesis.
c.       Koherensi Interen
Agar dapat menginterpretasi secara tepat mengenai konsep yang terkait dan aspek-aspek yang membentuk satu kesatuan, sehingga dapat diketahui inti pemikiran yang mendasar.
d.      Holistika
Peneliti akan menyelami keseluruhan pikiran dari Boethius. Dengan itu peneliti akan menemukan benang merah yang menjadi pegangan dan dasar penilaian atas pikirannya sendiri.
e.       Kesinambungan Historis
Inti pemikiran Boethius berkaitan denga lingkungan historis dan pengaruh-pengaruh yang dialaminya dalam perjalanan hidup sebagai latar belakang eksternal. Sedangkan latar belakang internalnya adalah biografinya, serta para filsuf lainnya dengan pikirannya. Maka peneliti akan menyelidiki keadaan khusus zamannya, biografinya dan pikiran beberapa filsuf yang mempengaruhinya.
f.       Idealisasi
Peneliti akan berusaha memahami pemikiran Boethius dengan tetap memlihara keutuhan analisis dalam rangka memperoleh sesuatu yang universal dan ideal.
g.      Komparasi
Peneliti akan membandingkan pendapat Boethius dengan filsuf lainnya, baik secara eksponen maupun imponen.
h.      Heuristika
Terhadap pemikiran Boethius, terutama menjadi pribadi yang memahami kebahagiaan sejati dalam diri, peneliti akan berusaha menemukan satu pemahaman baru berdasarkan refleksi peneliti sendiri. Selanjutnya peneliti akan memberikan beberapa tinjauan kritis atas pikirannya, dan menilai sistem yang ada berdasarkan pikiran kritisnya.

I.       Daftar Pustaka
Suseno, Franz Magnis, Menjadi Manusia: Belajar dari Aristoteles. (Yogyakarta: Kanisius, 2009).
Van der Weij, P.A., Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia, (Yogyakarta: Kanisiu, 2000).
Wiramihardja, S.A., Pengantar Filsafat, (Bandung: Refika Aditama, 2007).
Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1980).
AM, H. Suhar, Filsafat Umum: Konsepsi, Sejarah dan Aliran, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2009).



[1] Suseno, Franz Magnis, Menjadi Manusia: Belajar dari Aristoteles. (Yogyakarta: Kanisius, 2009). Hlm. 23.
[2] Ibid. hlm. 24.
[3] Van der Weij, P.A., Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia, (Yogyakarta: Kanisiu, 2000). Hlm. 45.
[4] Ibid. hlm. 48.
[5] Wiramihardja, S.A., Pengantar Filsafat, (Bandung: Refika Aditama, 2007). Hlm. 61.
[6] Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1980). Hlm. 124.
[7] AM, H. Suhar, Filsafat Umum: Konsepsi, Sejarah dan Aliran, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2009). Hlm. 93.
[8] Ibid. hlm. 127.

No comments: