KONSEP
KEBAHAGIAAN SEJATI MENURUT BOETHIUS SEBAGAI BENTUK KRITIK TERHADAP MATERIALISME
(Diajukan Untuk
Memenuhi Tugas Proposal Matakuliah Penulisan Karya Ilmiah)
OLEH:
BROJO HERMANTO
Nim: 143012007
IAIN
SULTAN AMAI GORONTALO
FAKULTAS
USHULUDHIN DAN DAKWAH
JURUSAN
FILSAFAT AGAMA
TAHUN
AJARAN 2015/2016
PROPOSAL PENELITIAN
A. Judul
Konsep Kebahagiaan Sejati Menurut Boethius
Sebagai Bentuk Kritik Terhadap Materialisme
B. Latar
Belakang
Dalam abad ke-21 ini, ada begitu banyak perubahan yang
terus-menerus berlangsung di setiap waktu kehidupan manusia. Perubahan-perubahan
itu meliputi segala hal yang dapat berubah. Seiring dengan insiden perubahan
ini, pola Fikir dan tujuan hidup dari manusia yang adalah subjek sekaligus
objek dari perubahan itu, ikut berubah. Pola Fikir dan tujuan hidup manusia
yang berubah ini ternyata mempunyai sisi baik dan sisi tidak baik[1].
Yang mau dibahas dalam tulisan ini adalah mengenai salah satu sisi buruk dari
perubahan pola Fikir dan tujuan hidup manusia saat ini. Perubahan yang paling
dirasakan berkaitan dengan tujuan hidup manusia adalah dalam kehidupan moral
manusia. Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah mengenai aturan dasar
hidup bermoral yang dewasa ini sangat mengedepankan pengejaran kenikmatan demi
mencapai sebuah kebahagiaan yang diakui sebagai tujuan dari kehidupan manusia.
Moral atau moralitas adalah salah satu gejala kemanusiaan yang paling penting.
Moralitas dapat disebut keseluruhan peraturan tentang bagaimana manusia harus
mengatur kehidupannya supaya ia menjadi orang baik.
Sudah lama manusia mengenal moralitas sebagai system
peraturan yang diyakini harus mengatur kelakuan manusia. Dengan kata lain,
moralitas masing-masing masyarakat sudah ditemukan dalam tradisi dan
kebudayaannya dan tidak jarang berakar dalam keyakinan agama terutama dalam
agama-agama monoteis .
Namun, seperti sudah dikatakan sebelumnya bahwa selalu ada perubahan seiring dengan bertambahnya waktu. Masyarakat pun turut berubah dari saat ke saat sehingga makin sebuah masyarakat berubah, makin pula dia merasakan kebutuhan untuk memastikan kembali aturan-aturan hidupnya termasuk dalam kehidupan moral. Dalam tradisi, moralitas sering bercampur-baur dengan ketetapan-ketetapan adat, aturan kesopanan, dan tatanan hukum negara. Moralitas tradisional seringkali juga tidak lagi meyakinkan. Artinya, dalam masyarakat-masyarakat yang berkembang kebudayaannya, seperti dalam masyarakat Yunani kuno, orang semakin meragukan tradisi. Situasi itulah yang melahirkan kebutuhan untuk memastikan kembali norma kelakuan yang baru. Sehingga seperti yang diuraikan Aristoteles bahwa pertimbangan yang kelihatan paling masuk akal untuk mendasarkan aturan kehidupan bermoral adalah keterarahan pada kebahagiaan. Dengan demikian, orang bisa mengerti mengapa ia, misalnya, diharapkan menguasai hawa nafsunya agar bisa bahagia.
Manusia tidak bisa langsung mengusahakan kebahagiaan. Yang harus kita usahakan adalah suatu kelakuan yang kita ketahui akan menghasilkan kebahagiaan. Kelakuan inilah yang seringkali salah diusahakan oleh hampir semua manusia yang merindukan kebahagiaan di dunia ini[2].
Namun, seperti sudah dikatakan sebelumnya bahwa selalu ada perubahan seiring dengan bertambahnya waktu. Masyarakat pun turut berubah dari saat ke saat sehingga makin sebuah masyarakat berubah, makin pula dia merasakan kebutuhan untuk memastikan kembali aturan-aturan hidupnya termasuk dalam kehidupan moral. Dalam tradisi, moralitas sering bercampur-baur dengan ketetapan-ketetapan adat, aturan kesopanan, dan tatanan hukum negara. Moralitas tradisional seringkali juga tidak lagi meyakinkan. Artinya, dalam masyarakat-masyarakat yang berkembang kebudayaannya, seperti dalam masyarakat Yunani kuno, orang semakin meragukan tradisi. Situasi itulah yang melahirkan kebutuhan untuk memastikan kembali norma kelakuan yang baru. Sehingga seperti yang diuraikan Aristoteles bahwa pertimbangan yang kelihatan paling masuk akal untuk mendasarkan aturan kehidupan bermoral adalah keterarahan pada kebahagiaan. Dengan demikian, orang bisa mengerti mengapa ia, misalnya, diharapkan menguasai hawa nafsunya agar bisa bahagia.
Manusia tidak bisa langsung mengusahakan kebahagiaan. Yang harus kita usahakan adalah suatu kelakuan yang kita ketahui akan menghasilkan kebahagiaan. Kelakuan inilah yang seringkali salah diusahakan oleh hampir semua manusia yang merindukan kebahagiaan di dunia ini[2].
Sebagian manusia mengusakan kebahagiaan dengan menuruti
semua hawa nafsunya dengan harapan dapat mencapai kebahagiaan. Bahkan sampai
ada manusia yang kehidupannya sudah sampai pada pola hidup kaum materialis di
mana kebahagiaan hanya dilihat dan diperoleh dalam segala hal yang berwujud
atau berbau materi. Materialisme di sini meliputi materialisme teoritis dan
praktis. Salah satu bentuk dari kehidupan materialis adalah budaya hedonisme
yang sekarang terus menjamur dalam masyarakat. Namun seorang filsuf pencari
penghiburan, Boethius, dalam karyanya yang ketiga mengemukakan suatu konsep
tentang kebahagiaan sejati yang tentunya sangat berlawanan dengan konsep para
materialis. Oleh karena itu penulis mencoba untuk meneliti masalah tersebut di
bawah judul,: Konsep Kebahagiaan Sejati Menurut Boethius Sebagai Bentuk Kritik
Terhadap Materialisme.
C.
Perumusan Masalah
Atas dasar latar belakang yang sudah dipaparkan terdahulu,
maka penulis merumuskan masalah dalam pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
1. Bagaimana konsep kebahagiaan sejati
menurut Boethius?
2. Apa itu materialisme?
3. Bagaimana Boethius mengkritik
Materialisme?
D.
Batasan Masalah
Dalam penulisan ini penulis membatasi masalah agar
pembahasan dan penelitian yang kelak akan dipaparkan tidak terlalu meluas. Adapun
batasan dalam penulisan ini adalah:
1.
Konsep Bahagia
menurut Boethius.
2.
Cara menempuh
dan mendapatkan kebahagian sejati.
E. Manfaat
Penelitian
Manfaat diadakannya sebuah
mainstream peneltian ini antara lain:
a. Bagi Universitas
Supaya para mahasiswa meningkatkan
semangat ilmiahnya terutama dalam menelaah suatu masalah sesuai dengan berbagai
disiplin ilmu yang diperoleh baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
b. Bagi Fakultas
Supaya mahasiswa dapat memahami
konsep kebahagiaan sejati menurut Boethius, sehingga dapat memahami dirinya
sendiri sebagai manusia yang juga memiliki perasaan bahagia. konsep yang
ditawarkan oleh Boethius diharapkan membantu mahasiswa memahami kebahagiaan
yang mahasiswa alami.
c. Bagi Peneliti
Penelitian memberikan wawasan
berpikir kritis dan mepertgaska pengambilan sikap penulis dalam menghadapi
setiap problem serta menyelesaikannya secara lebih jernih dan berdaya guna, di
samping pembentukan pribadi dan perkembangan pribadi peneliti dalam zaman yang
semakin global.
F. Tujuan
Penelitian
Memaparkan pengertian dari konsep kebahagiaan sejati demi
menanggulangi budaya materialisme yang semakin berakar dalam masyarakat. Budaya
tersebut dikritik karena pemikiran kebahagiaan yang dianutnya berdasar pada
barang yang bersifat fana.
a. Inventarisasi
Mengumpulkan, mengetahui dan
mempelajari karya-karya Boethius, terutama tentang pemikiran atau konsep
Kebahagiaan Sejati yang mengatakan bahwa kebahagiaan sejati hanya ada pada
Allah sebagai sosok yang sempurna.
b. Sintesis
Bertolak dari inventarisasi, peneliti
mencoba mensintesiskan konsep Kebahagiaan Boethius dalam kerangka judul tulisan
ini.
G. Landasan
Teoritis
a. Informasi Yang Diperoleh
1. Biodata
Boethius yang dikenal sebagai filsuf
pencari penghiburan karena dengan semangat ia telah berfilsafat tentang makna
kehidupan manusia memiliki nama lengkap Anicius Manlius Severinus Boethius
(480-535) . Ia lahir di Italia pada tahun 480, sekota dengan st. Benediktus. Ia
lahir dari keluarga bangsawan. Ayahnya bernama Flavius Malius Boethius yang
adalah seorang pejabat tinggi dalam kekaisaran Roma. Dua orang dari
keturunannya pernah menjadi Paus. Boethius menikah dengan anak perempuan
Symmachus yang bernama Rusticiana dan kemudian menikah lagi dengan Elphis anak
dari Paus Yohanes II. Pada tahun 523, ketika sudah memegang jabatan tinggi
dalam kekaisaran Roma, ia bersama senator Albius dituduh berkonspirasi dengan
maharaja Byzantine yang bernama Justin I. kemudian ia dipenjara di Pavia. Pada
tahun 524, atas arahan Raja Theodorik, ia dihukum mati. Dan juga pada tahun
525, Paus John II dan Symmachus, kedua mertuanya itu ikut dihukum mati.
Boethius kemudian digelar kudus dan diperingati setiap tanggal 23 Oktober[3].
2. Karya-Karya
Kata orang, “kalau kamu ingin
pintar, sering-seringlah berdialog dengan orang mati”. Yang dimaksud “berdialog
dengan orang mati” di sini bukanlah satu bentuk sinkretis atau upaya
menyekutukan Tuhan. Mengobservasi, menggali, mengkritisi, menginterpretasi dan
jika memungkinkan juga turut memberikan jalan tengah atau solusi inilah yang
harus kita lakukan tatkala berdiskusi dengan “orang mati”. Hal seperti ini juga
yang telah dilakukan Boethius, seorang yang mengabdikan dirinya pada dunia
filsafat. Filsuf yang berasal dari keluarga bangsawan Roma ini, sejak kecil
sudah terbiasa mandiri dalam segala hal. Sepeninggal ayahnya, Boethius kemudian
diasuh dan dibesarkan oleh Symmachus. Didikan yang sangat baik dari keluarga
ini, membuat Boethius menjadi semakin terbentuk baik dari segi mental maupun
pemahamannya. Bahkan dia juga mahir sekali dalam bahasa Yunani, satu hal yang
sangat jarang di dunia Barat masa itu.
Boethius melihat dirinya sebagai
“guru dunia Barat”. Boethius menggali dan menginterpretasi karya Aristoteles
maupun Plato, lalu memberikan sedikit konklusi, penjelasan, atau mencoba
mengharmonisasi karya dua tokoh besar filsafat itu dalam bahasa Latin.
Tujuannya tak lain dan tak bukan adalah demi “mendaratkan” pikiran Plato dan
Aristoteles tadi kepada konteks sosial bangsa Latin yang ada di dunia Barat.
Selain itu, mereka juga memiliki
tujuan dan keinginan lainnya yaitu, untuk menunjukkan pada dunia bahwa filsafat
di antara Aristoteles dan Plato itu harmonis dan berdampingan, tak seperti
tuduhan banyak orang itu. Ide keharmonisan antara kedua filsafat besar itu
didapatnya dari neoplatonisme. Karya Boethius nyatanya tak hanya berada dalam
area filsafat yang begitu luas. Dalam karyanya yang ketiga sampai kelima ini
Boethius justru mengkhususkan diri menyoroti “teologi”. Dalam buku yang ketiga
ini Boethius kembali berdiskusi dengan “sosok“ perempuan yang dinamakan
filsafat, membicarakan kebahagiaan sejati. Mereka (Boethius dan filsafat) sadar
bahwa hanya Allah yang dapat memberikan kebahagiaan yang sejati: selanjutnya
dalam bukunya yang keempat, diskusi di antara mereka semakin seru saja. Di buku
ini secara khusus dibahas soal takdir. Si filsafat dihadapkan pada keberatan
yang diutarakan oleh Boethius. “Semua nasib, apakah dia baik atau buruk
dimaksudkan untuk memberi ganjaran atau menertibkan orang baik dan menghukum
atau mengoreksi orang yang jahat. Oleh sebab itu kita setuju bahwa nasib itu
adil dan berguna. Jadi semua nasib itu baik (Hiburan 4: 7)”. Menurut filsafat
bagaimana mungkin kejahatan terjadi terus-menerus tanpa ada hukuman di dalam
dunia yang dikuasai oleh Allah yang baik, mahatahu dan mahakuasa[4].
Seolah hendak melengkapi bukunya
yang keempat, dalam bukunya yang ke-5, Boethius mengarahkan diri pada
penjelasan dan dialog tentang apa itu kehendak bebas. Dalam buku ini filsafat
mencoba menyelaraskan pengetahuan awal Allah dengan kehendak bebas manusia.
Pengetahuan Allah “bukanlah semacam pengetahuan awal mengenai masa depan,
tetapi pengetahuan awal mengenai masa kini yang tak berkesudahan”. Allah
melihat segala sesuatu dalam masa kini yang kekal mengenai segala tindakanku
tidak bertolak belakang dengan kehendak bebasku. Meski ketiga bukunya ini
membahas siapa Allah dan bagaimana hubungannya dengan umat yang diciptakanNya,
namun buru-buru menyimpulkan karyanya ini dalam ranah teologi adalah tidak
bijak. Sebab karya Boethius memang tak ditujukan sebagai karya teologis
meskipun ditinjau dari “objek” secara fisik memang sama, tapi sudut
pandangnyalah yang berbeda. Pengaruh Boethius terhadap abad pertengahan sangat
mendalam. Doa yang menjadi penghubung anatar filsafat klasik dengan pemikiran
pada abad-abad mendatang. Hal ini terbukti dari abadinya karya Boethius yang
masih dapat ditemui hingga abad ke-13.
3. Filsuf yang Berpengaruh
Aristoteles adalah filosof pertama
yang merumuskan dengan jelas bahwa kebahagiaan adalah apa yang dicari semua
orang. Karena itu etikanya disebut “eudemonisme”, dari kata Yunani eudaimonia
yang berarti bahagia. manusia harus menata kehidupannya sedemikian rupa hingga
ia menjadi semakin bahagia. dengan demikian Aristoteles memberikan tolak ukur
yang jelas, yang dapat mendasari semua petunjuk dan aturan etika. Pandangan ini
dinilai masuk akal karena jelaslah bahwa kebahagiaan merupakan tujuan terakhir
manusia. Kita semua meminatinya, dan apabila tidak menghasilkan kebahagiaan,
belum memuaskan. Jadi, menurut Aristoteles aturan-aturan moralitas bukan
sesuatu yang tidak dapat dimengerti, sesuatu yang diharuskan dari luar,
melainkan sesuatu yang sangat masuk akal, yang perlu kita perhatikan agar dapat
mencapai kebahagiaan. Kita hendaknya hidup secara bermoral karena itulah jalan
ke kebahagiaan karena tujuan moralitas adalah menghantar manusia pada
kebahagiaan. Kebahagiaan yang dicapai dengan jalan yang tidak bermoral
sebenarnya telah mendehumanisasikan manusia[5].
b. Konsep Kebahagiaan Sejati Menurut
Boethius
1. Kebahagiaan dan Tujuan Manusia
Etika Nikomacheia mulai dengan
kalimat termasyur: “Setiap keterampilan dan ajaran, begitu pula tindakan dan
keputusan tampaknya mengejar salah satu nilai.” Apabila manusia melakukan
sesuatu, ia selalu melakukannya karena ada tujuannya, sebuah nilai. Apabila
manusia mau mengatur kehidupannya secara nalar, maka apakah tujuan manusia?
Menurut Aristoteles, setiap tindakan yang mengarah ke pencapaian tujuan itu masuk
akal, dan setiap tindakan yang tidak menunjang tercapainya tujuan manusia tidak
masuk akal. Ia mengungkapkan bahwa ada tujuan akhir dari manusia di mana tidak
ada lagi yang masih dituju ketika tujuan itu telah dicapai. Aristoles menjawab
tujuan akhir dari manusia adalah kebahagiaan. Kalau manusia bahagia tidak ada
yang masih diinginkan selebihnya. Dan sebaliknya, selama ia belum bahagia, apa
pun yang diperolehnya tidak akan membuatnya puas. Jadi, kebahagiaan merupakan
tujuan akhir manusia di mana pada saat itu mencapai kesempurnaannya sebagai
manusia.
2. Konsep Kebahagiaan Sejati Menurut
Boethius
Boethius sangat bersemangat untuk
berfilsafat tentang makna kehidupan manusia, terutama tentang kebahagiaan dan
kemungkinan ultimo manusia. Ketika dipenjara di tempat pembuangan, ia hidup
melarat, jauh dari keluarga serta tanah airnya, dan mulai berpikir tentang
nasibnya, tentang liku-liku kehidupan yang sukar diramalkan, dan petanyaan
entah suatu Penyelenggaraan Ilahi atau suatu takdir yang buta serta tingkah mengatur
segala-galanya. Permenungan filosofis ini dituliskannya dalam bukunya yang
termasyur dan ditulis dalam bahasa Latin berjudul De consolation Philosophiae
dengan konsep utama Wheel of Fortune
atau Roda Untung Nasib.
Philosophia, sahabatnya sejak dulu,
datang menjenguk Boethius dalam penderitaanya di tempat pengasingan. Ia mencoba
menghibur dia dengan mengingatkan kembali cintanya dahulu akan kebijaksanaan.
Pertama-tama ia harus menemukan kembali dirinya sendiri, lalu ia harus mendapat
lagi suatu pandangan sehat tentang pengaturan dunia. Sebab, Boethius bahkan
mulai meragukan Penyelenggaraan Ilahi dan keyakinan dulu bahwa orang jahat
tidak mungkin berbahagia. Janganlah ia mengandalkan “Fortuna” karena dewi
keuntungan ini berubah-ubah dan tidak bisa diperhitungkan. Ia menulis, dewi Fortuna
itu sendiri menegaskan: “Saya memutarkan roda yang cepat dan kesukaan saya yang
paling besar ialah menjungkirbalikkan yang di bawah ke atas dan yang di atas
kebawah”.
Anugerah-anugerah Fortuna terletak
di pinggiran saja, seperti kekayaan, kedudukan tinggi, kekuasaan, dan
kehormatan. Terlalu sembrono bila orang mencari kebahagiaan dan makna kehidupan
dalam hal ini. Sri Paduka Philosophia, yang berhubungan keluarga dengan Plato,
Stoa, dan Plotinos mengantar dia ke batinnya sendiri. Kebahagiaan yang benar
tidak pernah terdiri dari barang milik, tetapi terletak di dalam batin.
Janganlah kita mencari kebahagiaan di luar, melainkan di dalam diri kita
sendiri. Hal inilah yang ditemukan Boethius dalam dialognya dengan Philosophia.
Kebahagiaan yang sejati tidak boleh
cepat berlalu dan tidak sempurna. Kemudian dari hasil permenungannya bersama
filsafat ia memberi semacam definisi tentang kebahagiaan sejatiyang telah
menjadi klasik: “Keadaan di mana segala sesuatu yang terintegrasi dengan
sempurna” (Status bonorum omnium congregatione perfecta). Dapat dikatakan bahwa
kebahagiaan sejati tidak mungkin disertai ketidakpuasan dan ketakutan akan
kehilangan. Kebahagiaan adalah kepuasan sempurna dan tetap dari
keinginan-keinginan hati kita yang paling mendalam dan paling jujur. Di mana
dapat ditemukan kebahagiaan sedemikian? Di dalam uang dan harta milik? Di dalam
makanan dan minuman? Di dalam kenikmatan indra? Ataukah di dalam kekuasaan
serta gengsi? Tidak. Karena semuanya itu terlalu rapuh dan fana. Kebahagiaan
sejati harus membuat kita menjadi “sungguh-sungguh puas, berkuasa, terhormat,
terpuji, dan bergembira ria”.
c. Konsep Kebahagiaan Sejati Menurut
Boethius Sebagai Bentuk Kritik Terhadap Materialisme
1. Materialisme
Materialisme berpendapat bahwa, alam
semesta ini terdiri dari suatu aglomerasi atom-atom yang dikuasai oleh
hukum-hukum fisis-kimiawi. Kemungkinan tertinggi atom-atom itu ialah dapat
membentuk manusia. Bilamana dikatakan bahwa manusia mempunyai roh, jiwa atau
kesadaran, maka hal itu tidak berarti bahwa mereka menerima juga suatu unsur
non-materiil dalam dunia atau dalam diri manusia. Apa yang mereka sebut
kesadaran, jiwa, atau roh, pada akhirnya tidak lain daripada sejumlah fungsi
serta kegiatan otak. Dunia dan manusia tetap materiil belaka. Juga
kemungkinan-kemungkinan yang dimiliki manusia tidak melebihi
kemungkinan-kemungkinan kombinasi-kombinasi atom dan arena itu tidak pernah
malampaui potensi-potensi jasmani. Materialisme memang masih berbicara tentang
refleksi diri, keinsafan sosial dan etis, tentang ilmu pengetahuan dan
kebudayaan, tetapi serentak berusaha mereduksikan semuanya itu kepada
kemungkinan-kemungkinan dan daya-daya materi.
Kita menemukan materialisme di zaman kuno dan di zaman modern, tetapi tidak ada materialisme pada Abad Pertengahan.
Kita menemukan materialisme di zaman kuno dan di zaman modern, tetapi tidak ada materialisme pada Abad Pertengahan.
Materialisme Demokritos serta
Lucretis Carus pada dasarnya dapat disamakan dengan materialism di Prancis
waktu Masa Pencerahan (abad ke-18). Hal itu dapat ditemukan dalam dua karangan
De La Mettrie (1709-1751) berjudul L’homme machine (manusia mesin) dan L’honne
plante (manusia tumbuhan). Semboyannya ialah: Nikmatilah kehidupan ini sebab
bila kita mati, sudah habislah lelucon! Baron von Holbach, yang hidup kira-kira
pada waktu bersamaan, mengemukakan juga suatu materialisme ateistis. Jiwa
sebetulnya sama denga fungsi-fungsi otak. Para materialis ini menolak berbicara
tentang makna kehidupan manusia karena kata “makna” itu bernada teralu
spiritualistis karena kemungkinan terakhir dari tujuan hidup manusia adalah
kematian yang diyakini sebagai hancurnya stuktur atom-atom manusia, peleburan,
serta penyebaran kombinasi atom-atom. Tidak ada dasar apa pun untuk menerima
kelanjutan kehidupan personal sesudah mati. Beberapa dari antara mereka
menganggapnya sebagai makan kehidupan bilamana menerima saja yang akan datang,
menyerah pada nasib, facum. Ada materialis yang bergabung dengan Horatius dalam
sajaknya Carpe Diem, nikmatilah hari ini, dan menjadi sensualis atau hanya meminati
hidup bersenang-senang[6].
Atas dasar pemikiran
materialis-materialis dan juga oleh semboyan La Mettrie dan Horatius inilah
manusia mulai memaknai kebahagiaannya pada sesuatu yang bersifat duniawi atau
materi. Dari sinilah kita dapat menyaksikan hadirnya budaya baru dalam hidup
manusia yang semakin digemari yaitu budaya hedonisme yang dalam filsafat
Epikuros (341-270) disebut sebagai dasar moralitas yang paling rasional.
Menurutnya, kalau mau bahagia maka hindarilah perasaan sakit dan usahakan
nikmat. Hedonisme (dari kata Yunani hedone, nikmat kegembiraan) adalah aliran
dalam filsafat yang mengajarkan agar selalu menghindar dari rasa sakit dalam
hidup ini dan mengusahakan yang nikmat. Semua orang akhirnya terbius oleh paham
yang ternyata sangat memanjakan manusia untuk mencapai kebahagiaan. Dan
kebanyakan orang berpikir bahwa yang nikmat itu selalu ada dalam barang-barang
duniawi. Semua orang mulai mengusahakan mendapatkan barang-barang duniawi
seperti materi dan uang, harta milik, makanan dan minuman, kenikmatan indra,
dan juga dalam kekuasaan indra dan gengsi. Berbagai usaha pun dilakukan walau
pun tak jarang harus menempuh jalan tidak lazim demi menghidarkan rasa sakit
dan memperoleh nikmat.
Pola hidup seperti ini sudah berbaur dalam pola-pola kehidupan masyarakat yang bahkan sangat menjunjung tinggi nilai perjuangan dari pada hasil. Tanpa kita sadari bahwa materialis-materialis saat ini terus bertumbuh dan kalau tidak dicegah akan melahirkan generasi manusia bermental instan.
Pola hidup seperti ini sudah berbaur dalam pola-pola kehidupan masyarakat yang bahkan sangat menjunjung tinggi nilai perjuangan dari pada hasil. Tanpa kita sadari bahwa materialis-materialis saat ini terus bertumbuh dan kalau tidak dicegah akan melahirkan generasi manusia bermental instan.
2. Sebuah Kritik Terhadap Materialisme
Boethius mengemukakan konsep
kebahagiaan sejati atas dasar pengalaman kehidupannya sebagai pejabat tinggi
Roma yang kemudian dipenjara. Menurutnya, kebahagiaan sejati tidak dialami pada
sesuatu yang duniawi. Jadi, kita harus mencari lebih tinggi karena hanya
sesuatu yang sempurna, tertinggi, dan tetap dapat membahagiakan kita
sepenuh-penuhnya. Lalu, bagi Borthius, yang dididik dalam tradisi Platonistis,
tidak sulit lagi untuk menyetarafkan hal yang tertinggi serta sempurna itu
dengan Allah. Kalau di dunia sudah terdapat nilai-nilai berhingga, seperti
keberadaan, keindahan, kebaikan, kebenaran, dan kehidupan, maka haruslah ada
juga suatu nilai (bonum) tak berhingga sebab yang berhingga hanya kata berada
karena yang tak berhingga merupakan syaratnya. Boethius menganggap Tuhan adalah
yang tak berhingga dan sempurna, sumber segala sesuatu yang baik. Filsafat
menghantar Boethius ke puncak kemungkinan-kemungkinannya, ke makna
keberadaannya: kebahagiaan di dalam Tuhan. Kebahagiaan adalah keTuhanan itu
sendiri, maka mengambil bagian dalam keTuhanan haruslah menjadikan manusia
bahagia. Semua orang yang bahagia adalah Tuhan, menjadi Tuhan dengan jalan
“partisipasi”[7].
Tampaknya yang bahagia adalah
orang-orang yang berkuasa, memiliki harta, punya uang yang banyak, selalu
mendapatkan kenikmatan indra, dan yang berkelimpahan makanan dan minuman. Namun
kebahagiaan itu hanyalah kebahagiaan semu yang dapat musnah karena materi yang
dijadikan dasar dari kebahagiaan itu dapat hilang karena bersifat fana.
Manusia-manusia materialis sebenarnya tidak bahagia karena mereka selalu cemas
dan takut akan kehilangan materi yang dimilikinya.
Aristoteles pun meletakkan dasar
yang sama tentang kebahagiaan. Aristoteles ternyata serta merta menolak budaya
hedonisme yang merupakan akibat dari materialisme. Masih pada permulaan Etika
Nikomacheia ia menyebutkan tiga pola hidup yang membawa kepuasan dalam dirinya
sendiri yaitu hidup mengejar nikmat, hidup berpolitik dan filsafat. Namun, pola
hidup mengejar nikmat langsung disebutnya sebagai pola “hidup ternak”.
Aristoteles tidak menjelaskan “vonis” keras itu. Tetapi dapat kita mengerti
bahwa pola hidup seperti itu tidak beda dengan kehidupan binatang yang
melakukan apa pun semata-mata demi pencapaian nikmat (misalnya makan dan
seksualitas) atau untuk menghindar dari perasaan-perasaan yang menyakitkan. Hedonisme
merupakan perilaku hewani dan tentunya tidak masuk akal dan memalukan.
Sebenarnya, menurut Aristoteles, hal nikmat dan perasaan sakit bukan sesuatu
yang boleh diabaikan. Manusia akan suka melakukan hal-hal yang dinikmatinya dan
menghindar dari hal-hal yang menyakiti. Dua daya kuat itu harus dimanfaatkan agar
orang mengembangkan diri[8].
3. Hipotesa
Boethius memberikan suatu pemikiran
tentang kebahagiaan sejati yang seringkali tidak disadari oleh manusia zaman
sekarang. Para manusia materialis selalu berusaha menyenangkan diri demi
mendapatkan kebahagiaan yang dipercaya sebagai tujuan hidup. Namun, menurut
mereka kesenangan itu hanya bisa didapat pada barang-barang duniawi. Hal inilah
yang mau dikritik oleh peneliti dengan mendasarkan pemikiran pada pemikiran
Boethius, seorang filsuf pencari penghiburan. Menurut Boethius, kebahagiaan
sejati tidak didapat pada barang-barang duniawi, tetapi terdapat dalam Allah,
dalam hidup yang bersatu dengan Allah.
H. Metode
Penelitian
Metode penelitian yang digunakan
adalah penelitian kepustakaan, dan manuskrip-manuskrip lain. Unsur-unsur metode
yang digunakan terdiri dari:
a. Interpretasi
Peneliti berusaha menyelami
pemikiran Boethius, untuk menangkap arti serta dan nuansa essensial, serta
pendapat-pendapat orang lain, tentang Boethius dan pemikirannya dengan bertumpu
pada evidensi objektif.
b. Induksi dan Deduksi
Peneliti menggunakan kedua metode
ini secara serempak. Data-data yang dikumpulkan akan dipelajari dengan
menganalisa konsep-konsep yang berhubungan satu sama lainnya, dengan memahami
konsep itu, barulah peneliti membuat satu sintesis.
c. Koherensi Interen
Agar dapat menginterpretasi secara
tepat mengenai konsep yang terkait dan aspek-aspek yang membentuk satu
kesatuan, sehingga dapat diketahui inti pemikiran yang mendasar.
d. Holistika
Peneliti akan menyelami keseluruhan
pikiran dari Boethius. Dengan itu peneliti akan menemukan benang merah yang
menjadi pegangan dan dasar penilaian atas pikirannya sendiri.
e. Kesinambungan Historis
Inti pemikiran Boethius berkaitan
denga lingkungan historis dan pengaruh-pengaruh yang dialaminya dalam
perjalanan hidup sebagai latar belakang eksternal. Sedangkan latar belakang
internalnya adalah biografinya, serta para filsuf lainnya dengan pikirannya.
Maka peneliti akan menyelidiki keadaan khusus zamannya, biografinya dan pikiran
beberapa filsuf yang mempengaruhinya.
f. Idealisasi
Peneliti akan berusaha memahami
pemikiran Boethius dengan tetap memlihara keutuhan analisis dalam rangka
memperoleh sesuatu yang universal dan ideal.
g. Komparasi
Peneliti akan membandingkan pendapat
Boethius dengan filsuf lainnya, baik secara eksponen maupun imponen.
h. Heuristika
Terhadap pemikiran Boethius,
terutama menjadi pribadi yang memahami kebahagiaan sejati dalam diri, peneliti
akan berusaha menemukan satu pemahaman baru berdasarkan refleksi peneliti
sendiri. Selanjutnya peneliti akan memberikan beberapa tinjauan kritis atas
pikirannya, dan menilai sistem yang ada berdasarkan pikiran kritisnya.
I. Daftar
Pustaka
Suseno, Franz Magnis, Menjadi Manusia: Belajar dari Aristoteles.
(Yogyakarta: Kanisius, 2009).
Van der Weij, P.A., Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia, (Yogyakarta:
Kanisiu, 2000).
Wiramihardja, S.A., Pengantar Filsafat, (Bandung: Refika Aditama,
2007).
Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta:
Kanisius, 1980).
No comments:
Post a Comment