FETHULLAH GULEN
(Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Makalah
Matakuliah Pemikiran filsafat timur tengah)
OLEH:
Kelompok IV
Brojo Hermanto
Arniyanti Toyini
IAIN SULTAN AMAI
GORONTALO
FAKULTAS USHULUDDIN
DAN DAKWAH
JURUSAN AQIDAH &
FILSAFAT ISLAM
TAHUN AKADEMIK
2016-2017
A.
Pendahuluan
Sejak tumbangnya
komunisme di belahan timur dunia, Islam menjadi musuh besar dalam pandangan
Barat, menurut mereka, Islam adalah musuh yang paling berbahaya dan mengancam
status quo adidaya barat yang sudah menggurita di seluruh dunia. Islam
seolah-olah sedang berhadap-hadapan dengan Barat dengan memunculkan alternatif
lain bagi nilai-nilai dasar demokrasi dan humanisme modern. Sekilas tampak
serangan WTC New York pada 11 September 2001 menegaskan hal tersebut. Islam
muncul sebagai kelompok yang mengancam Barat secara serius. Dampak yang harus
ditanggung oleh umat Islam dengan stereotype semacam itu, Islam dianggap agama
yang menakutkan dan memiliki karakter yang keras, kejam, radikal, tidak
memiliki ajaran pluralitas, memperlakukan perempuan dengan tidak proporsional,
membenci kelompok lain, bom bunuh diri dengan gerakan terorisme dan lain- lain.[1] Potret
Islam semacam ini menjadi kegelisahan seorang pemikir bernama Fethullah Gülen.
Menurut Gülen, Islam bukanlah sumber masalah, tapi Islam merupakan ajaran yang
berisi tentang perintah kasih sayang dan toleran kepada semua. Karena itu, ia
berusaha menemukan benang kusut pertemuan Islam dengan modernitas, dan
perpaduan Islam dengan nilai-nilai humanisme universal yang dianut di Barat.
Persoalan bagaimana Islam bisa hidup di alam modern yang sadar akan kemajemukan
inilah yang kemudian melatari Fethullah Gülen merajut pemikiran - pemikirannya
dalam buku Toward a Global Civilization of Love Tolerance.[2]
B.
Biografi dan Sketsa
Intelektual
Fethullah Gülen (
Hodja Efendi ) lahir pada tahun 1938 di sebuah kota kecil yang dihuni oleh
sekitar 50-60 kepala keluarga di Korucuk, Propinsi Erzurum.[3] Kelahiran
Gülen bersamaan dengan kejadian besar yang tengah berlangsung di Turki:
Kekhalifahan Utsmania kalah dalam Perang Dunia I , lalu dirubah oleh Mustafa
Kemal Attaturk menjadi republik modern yang kita kenal dengan Turki modern.
Mempercepat usaha ini, Attaturk mengadakan beberapa revolusi: membubarkan
kesultanan (1922); memproklamasikan berdirinya Republik Turki (1923); menghapus
kekhalifahan, membubarkan Kementerian Agama, menutup sekolah agama dan
pengadilan agama (1924); memberangus perkumpulan-perkumpulan sufi dan
membongkar kuburan para wali; menerapkan hukum sipil menggantikan hukum
syar’iyah (1926), merubah huruf arab dengan tulisan latin (1928).[4]Selain
sebagai seorang pegiat dialog antar agama,
Fethullah Gülen adalah
seorang penulis yang produktif. Ia menulis tidak kurang 60 buku, video &
tape yang berisi ceramahnya.[5] Gülen
adalah seorang pemimpin spiritual, ahli agama, intelektual, aktivis perdamaian,
penulis, sastrawan, dan seorang mentor yang menghabiskan hidupnya mencari
penyelesaian tentang kebutuhan akan spiritual pada masyarakat Muslim modern.
Banyak ide Gülen dipengaruhi oleh Said Nursi (1876-1960), yang menulis “Risale-i
Nur Kulliyati” atau “Risalah tentang Cahaya Alam”. Tokoh lain yang ikut
mempengaruhi pemikiran Gülen adalah Alvarli Muhammad Lutfi, seorang tokoh sufi,
Mehmet Akif, seorang penyair Turki, Necip Fazil, tokoh intelektual Turki dan
sekaligus penyair, dan Muhammed Hamdi Yazir (1878 -1942), seorang mufassir
al-Qur’an. Özdalga mengungkapkan bahwa aliran Islam sunni, terutama tradisi
sufi Naqshabandi, dan Nurculuk (Gerakan Nur) telah membentuk pemikiran
Fethullah Gülen.[6]
Gülen belajar di bawah bimbingan Muhammad Lutfi dalam agama.
Sementara itu, Gülen
juga belajar bahasa Arab dari Sadi Efendi, dan belajar al-Qur’an dari al-Qar i
Haci Sidqi Efendi. Pada umur 7 tahun ia menjadi seorang penghafal al-Qur’an.
Selama 1950 - an ia mempelajari teori-teori sosial modern dan sains fisika.
Gülen belajar hadis dengan mempelajari kutubus sittah (Bukhari, Muslim, Nasai,
Ibn Majah, Tirmidhi, dan Abu Dawud). Selain itu, ia juga mempelajari khitobah,
filsafat, sejarah Islam, teologi, dan fiqh. Ia juga mempelajari karya-karya
filosof klasik dan modern seperti Ar istoteles, Marcus, Descartes, Kant, Camus,
dan Sartre. Satu titik penting dalam hidup Gülen adalah pertemuannya dengan
salah seorang murid Said Nursi ( yang mengantarkannya membaca Risail al. Nur).
Gülen sangat terinspirasi oleh kehidupan spiritual Nursi dan semangatnya
melayani umat. Kelak ia menerapkan ajaran Nursi itu dalam prinsip hizmet.
Keberhasilan dan kesuksesan terbesar Gülen adalah mendidik generasi muda dalam
ilmu -ilmu sains dan agama sehingga mampu mengentaskan mereka dari kejahilan
dan membentengi mereka dari penyakit-penyakit spiritual. Pendidikan formal
Fethullah Gulen diawali di desa kelahirannya, dan setelah keluarganya pindah ke
desa tetangga, beliau mulai belajar tentang agama secara informal dari beberapa
orang, yaitu ayahnya sendiri, serta beberapa guru sufi seperti Muhammad Lutfi
Effendi, Haci Sıtkı, Sadi Effendi, dan Osman Bektaş. Latar belakang pendidikan
agama beliau dipenuhi dengan nilai-nilai kebajikan yang dicontohkan secara
langsung oleh para pendidiknya. Spiritualitas yang didapatkannya sebagian besar
dilatar belakangi oleh ajaran tasawuf. Namun begitu, walaupun beliau sangat
menaruh hormat kepada guru-gurunya maupun tradisi tasawuf, beliau tidak pernah
tergabung ke dalam tarekat manapun. Beliau dikenal mempunyai rasa ingin tahu
dan gairah membaca yang sangat besar, dan selama masa pendidikan agama inilah
ia mulai tertarik pada isu-isu kontemporer pada masa itu. Ia juga mempelajari
litera-tur Barat klasik seperti Faust, Les Misérables, Of Mice and Man dan
banyak lagi yang lain untuk mendapatkan pemahaman tentang dunia Barat secara
lebih baik. Beliau juga sangat menyukai seni dan menikmati music Turki klasik
dan mengagumi karya lukis Picasso dan Da Vinci. Fethullah Gulen pernah
menjelaskan bahwa gaya abstrak Picasso sangat dekat dengan pemahaman Islam
tentang seni. Pada tahun 1966, Fethullah Gulen ditugaskan ke Izmir sebagai
khatib senior dan diizinkan untuk memberikan ceramah di beberapa provinsi.
Kepindahannya ke Izmir merupakan titik tolak penting dalam aktivitas sosialnya.
Di kota ini, beliau mulai menyebarkan gagasannya tentang masalah-masalah sosial
seperti keadilan sosial, pemulihan ekonomi, pembenahan bidang pendidikan serta
kemajuan teknologi untuk mengobati penyakit-penyakit kemanusiaan seperti yang
telah dijelaskan oleh Said Nursi. Pada pertengahan tahun 1990-an, gerakan yang
diinisiasi oleh Fethullah Gulen telah berkembang pesat hingga suatu tingkat di
mana berbagai label mulai disematkan padanya, seperti “Gerakan Gulen” atau
“Jama’ah Fethullah Gulen” seperti yang dipakai oleh banyak media massa. Gerakan
Gulen sepenuhnya mendanai seluruh aktivitasnya melalui sumbangan dari
masyarakat umum dan tidak menerima bantuan dari Pemerintah dalam bentuk apapun.
Hal ini membantunya untuk senantiasa terhindar dari korupsi dan politik. Saat
ini Fethullah Gulen berdiam di negara bagian Pennsylvania, Amerika Serikat.
Beliau menderita berbagai gangguan kesehatan yang menyebabkannya hidup dengan
sangat sederhana. Jika kesehatannya membaik, Beliau bisa menerima tamu dan
memberikan nasihatnya kepada para pendengarnya. Buku-buku yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris (dalam urutan waktu penerbitan)
C.
Konsep Dialog
Masyarakat Kosmopolitan
Menurut Güllen, salah
satu upaya menjawab clash of civilization dalam masyarakat, adalah dengan
dialog. Dialog dalam masyarakat Cosmopolitan yang kompleks adalah sebuah
keniscayaan. seperti yang ia tuangkan dalam buku Toward a Global Civilization
of Love Tolerance. Masyarakat yang ikut dalam Kosmopolitanisme pada dasarnya
memberi ruang penting pada peran individu dalam membentuk komunitas. Dengan
dampak globalisasi pada relasi-relasi sosial, kosmopolitanisme menegaskan bahwa
perbedaan kultur individu, kelompok dan bangsa, dan dialog antar kelompok
tersebut, sebagai batu pijakan dalam membangun tatanan komunitas global. Secara
umum kosmopolitanisme merupakan harapan ideal tentang warga dunia tanpa
perbatasan, dan kosmopolitanisme bersumber dari inspirasi pemikiran humanitas
rasional, sebuah nilai yang terkandung dalam diri setiap manusia.[7] Konsep
kosmopolitan berangkat dari pemikiran Kant, yang menyatakan bahwa sebuah
tatanan dunia itu ada karena adanya nilai moral yang dihargai secara universal.
Kosmopolitan sesungguhnya memberi titik tekan pada wilayah pertukaran
indentitas yang terkonstruksi melompati batas kultural, moral dan politik.
Pandangan lintas kultural dalam kosmopolitan ini memberi arti akan pentingnya
dialog dalam sebuah komunitas dengan landasan saling mengakui dan menghargai, di
mana perbedaan pada manusia dianggap sebagai inti dalam menciptakan kehidupan
dunia yang damai. Fethullah Gülen muncul dengan konsep kosmopolitanisme yang
menjadi kegelisahannya. Apresiasi Gülen pada dialog interkultural sebagai
pijakan dalam menata dunia yang plural, membuka perspektif baru akan adanya
penghargaan Islam pada toleransi dengan rekonsiliasi pemikiran-pemikiran agama
dengan aturan kehidupan modern. Semangat pluralisme yang ia anut dalam
menautkan berbagai penganut agama yang berbeda dalam dialog antar iman
menjadikannya sebagai sebuah gerakan intelektual yang menyemaikan perdamian dan
stabilitas di saat warga dunia saling curiga-mencurigai.
D.
Konsep Hizmet /
Khidmah ( Pelayanan ) Agama
Pemikiran Gulen
tentang hizmet didasarkan pada ajaran agama. Gulen menandaskan bahwa kesalehan
(piety) adalah dengan ‘berbuat’ dan ‘bekerja’ (to work), bekerja untuk melayani
umat manusia. Iman bagi Gulen adalah applied action, tidak hanya berhenti
sebagai keyakinan semata. Etos agama Islam adalah hizmet, pelayanan. Agama,
dengan demikian, ia ditransformasikan menjadi pela yanan kepada umat manusia.
Dengan jumlah pengikut besar dan jutaan simpatisan, menjadikan gerakan ini sebagai
gerakan sipil terbesar. Karena itu perlu kiranya kita memahami siapa Fethullah
Gülen ini, dan apa yang ia perjuangkan.
E.
Konsep Pendidikan
Versi Gullen
Menurut Fethullah
Gulen, dalam melakukan perubahan sosial, masyarakat perlu dididik dengan
pendidikan non-kekerasan. Gullen menjabarkan pendidikan masa kini harus bisa
mengatasi masalah kemiskinan, kebodohan serta perpecahan antar berbagai
kelompok masyarakat. Langkah pertamanya adalah mengurangi angka buta huruf
serta meningkatkan kualitas pendidikan. Beliau juga memobilisasi kalangan
bisnis, pengusaha dan orang-orang kaya untuk mendanai berbagai institusi
pendidikan yang kini sering disebut sebagai “Gullen Schools”, seperti asrama
untuk para pelajar dan mahasiswa, lembaga bimbingan belajar untuk masuk
perguruan tinggi, sekolah serta pada akhirnya universitas yang menitikberatkan
pada sains dan nilai-nilai kemanusiaan.
Institusi pendidikan
tidaklah akan banyak berarti jika tidak memiliki guru-guru yang berkualitas
yang secara suka rela mengabdikan dirinya untuk mendidik generasi penerus yang
akan membawa pencerahan bagi umat manusia dan kemanusiaan. Ribuan mahasiswa
dari berbagai disiplin keilmuan yang mendengarkan khutbah dan ceramahnya serta
merta memutuskan untuk menjadi guru. Semakin banyak orang yang menghadiri
khutbah dan ceramah Hoja Effendi, makin banyak pula institusi pendidikan yang diinspirasi
olehnya bertebaran di seantero Turki. Pada pertengahan dekade 1980-an, visi
Fethullah Gulen tentang bagaimana mewujudkan “better world through a better
education” melahirkan sebuah proposal baru bagi para pengikutnya membuka
sekolah-sekolah di Asia Tengah yang akan segera lepas dari Uni Sovyet. Beliau
memulainya dengan negara-negara baru ini karena kedekatan etnik dengan
orang-orang Turki Anatolia. Dalam tahun-tahun berikutnya, beliau mendorong para
pengikutnya untuk membuka dan mendanai institusi-institusi pendidikan di
seluruh dunia.
F.
Konsep Cinta “ Ala”
Gullen Cinta
tulis Gülen, adalah
elemen paling penting bagi setiap makhluk hidup, dan. Cinta juga yang bisa
mengangkat martabat seseorang dan mempersiapkan jiwanya menuju keabadian.
Kekuatan cinta ini diceritakan oleh Gülen sebagai penggerak segala sesuatu,
termasuk perputaran alam semesta. Bahkan matahari sendiri, ungkap Gülen, bergerak
dan digerakkan oleh cinta; air menguap, menuju cinta itu, lalu menjadi
butiran-butiran air di atas sana dan berjatuhan ke atas permukaan bumi dibawa
oleh sayap cinta, lantas ribuan bunga mekar berkat cinta menawarkan senyum
indah kepada apa yang di sekitarnya. Domba dan kambing meloncat berlar ian
dalam riang dan cinta, dan burung berkicau bersama cinta dan membentuk paduan
suara penuh cinta. Karena itu, cinta menjadi dasar penting seorang Muslim dalam
interaksinya dengan kelompok lain, dan nilai dasar dari masyarakat sesungguhnya
adalah cinta, “In society, if there is a currency that maintains its value, it
is love, and again the value of love is found itself.” Setiap kali mengajar,
Gülen lebih memusatkan pada cinta, iman, dan sunnah nabi. Selain itu ia juga
menjelaskan tentang penyucian diri, kriteria dan prinsip dasar hizmet, melayani
masyarakat, konsep kunci tasawuf seperti taqwa, taubat, zuhud, ikhlas,
muraqabah, istiqamah, tawakkal, tawadu’, syukur, ihsan, sabar, dan ma’rifah.
Cinta, tulis Gülen, adalah elemen paling penting bagi setiap makhluk hidup,
dan.cinta juga yang bisa mengangkat martabat seseorang dan mempersiapkan
jiwanya menuju keabadian. Kekuatan cinta ini diceritakan oleh Gülen sebagai
penggerak segala sesuatu, termasuk perputaran alam semesta. Bahkan matahari
sendiri, ungkap Gülen, bergerak dan digerakkan oleh cinta; air menguap, menuju
cinta itu, lalu menjadi butiran-butiran air di atas sana dan berjatuhan ke atas
permukaan bumi dibawa oleh sayap cinta, lantas ribuan bunga mekar berkat cinta
menawarkan senyum indah kepada apa yang di sekitarnya. Domba dan kambing
meloncat berlarian dalam riang dan cinta, dan burung berkicau bersama cinta dan
membentuk paduan suara penuh cinta.
Karena itu, cinta
menjadi dasar penting seorang Muslim dalam interaksinya dengan kelompok lain,
dan nilai dasar dari masyarakat sesungguhnya adalah cinta, “In society, if
there is a currency that maintains its value, it is love, and again the value
of love is found itself.”
G.
Karakteristik Gerakan
Gülen
Pemikiran Gülen
melahirkan perkawinan antara agama dan sains, tradisional dan modernitas,
spiritualitas dan intelektual, rasio dan wahyu, akal dan hati. Gülen mengkritik
pandangan hidup materialis, ia menegaskan bahwa harmoni sosial dengan alam,
serta dengan manusia dapat diraih jika material dan spiritual dapat dipadukan;
“Religion reconciles opposites that seem to be mutually exclusive:
religion-science, this world-the next world, nature-Divine Books, the
material-the spiritual, and spirit-body.”[8] Agama,
lanjut Gülen, dapat menjadi benteng pencegah kehancuran yang ditimbulkan oleh
materialisme sains, menempatkan sains pada tempatnya, dan mengakhiri konflik
berkepanjangan di antara manusia dan antar agama.
Prinsip gerakan Gülen
berusaha untuk tidak mengusung kembali masa lalu, mengagungkan romantisme masa
awal Islam, tetapi menyegarkan modernitas dengan nilai-nilai tradisional.
Tujuan Gülen adalah mendidik generasi yang memiliki kedalaman spiritual, terlibat
dalam pengejaran intelektualitas, dan berkomitmen melayani seluruh manusia.
Bagi Gülen, “melayani manusia berarti melayani Tuhan”. Ia mendorong pengikutnya
untuk membuka sekolah dan universitas modern, dengan fokus pada sains dan
bahasa. Kata kunci yang dimunculkan oleh Gülen adalah harmonisasi antara
modernitas dan spir itualitas serta semangat mela yani dan perduli pada
manusia. Problem yang Umat Islam hadapi, tulis Gülen, berakar dari pandangan
hidup materialis yang membatasi peran agama dalam kehidupan sosial kontemporer,
hanya sedikit orang yang menyadari bahwa harmoni sosial, damai dengan alam,
antar manusia, dan dalam diri manusia itu sendiri, dapat diatasi dengan
rekonsiliasi antara material dan spiritual. Pada abad 21 ini, mimpi Gülen, akan
berkembang dinamika spiritual yang akan menghidupkan kembali nilai-nilai moral,
menjadi sebuah abad yang penuh toleransi, saling memahami dan tercipta
kerjasama internasional yang baik. Semua ini akan menghantarkan perdamaian umat
manusia melalui dialog intercultural dan sharing nilai-nilai, dan menjadikan
dunia ini tempat persemaian peradaban inklusif yang tunggal. Terbuka pada semua
keyakinan dan tradisi agama melalui jalan dialog merupakan karakteristik lain
yang membedakan Gülen dari pemimpin agama lainnya. Sejak 1991, meskipun kritik
datang bertubi-tubi dari pemimpin agama, politisi dan media, Gülen tetap teguh
pada keyakinan dan gagasan dialog antar agama dengan pemimpin Yahudi, Gereja
ortodoks Timur, dan ia mendorong para pengikutnya untuk melakukan hal yang
sama. Dalam ruang dialog, Gülen menegaskan, bukan perbedaan yang dicari, tapi
persamaanlah yang harus ditemukan, terutama antara Islam dan Kristen yang
memiliki - setidaknya- delapan persamaan:
1.
Islam dan Kristen muncul dari wilayah kebudayaan yang sama,
yaitu Timur Tengah. Keduanya mengaku sebagai pewaris spiritualitas Ibrahim.
2.
Kedua agama sama- sama memiliki etika monoteisme,
3.
Islam dan Kristen adalah agama sejarah, meyakini bahwa Tuhan
bertindak melewati sejarah.
4.
Kedua agama adalah agama wahyu,
5.
Keduanya mengajarkan bahwa wahyu datang melalui dua cara:
kitab suci dan nabi.
6.
Kristen dan Islam merupakan agama yang memiliki kitab suci.
Pemeluk keduanya akan menjadikan kitab suci mereka sebagai pedoman dan
petunjuk.
7.
Posisi nabi sangat penting dalam kedua agama
8.
Islam memiliki kesamaan dengan Kristen dalam pandangannya
terhadap agama Yahudi.
Bahkan untuk
menegaskan dialog antar iman itu, pada tahun 1998, Gülen bertemu dengan Paus
John Paul II di Vatikan ketika di Turki masih berkembang anggapan bahwa dialog
terbuka dengan berbagai kelompok agama lain merupakan hal tabu. Namun,
diinspirasi oleh langkah Gülen dalam menjembatani dialog antar agama ini,
pengikut Gülen mendirikan organisasi - organisasi interfaith dan intercultural
di seluruh dunia. Di AS saja tidak kurang dari 42 buah organisasi semacam ini
telah berdiri. Kendati begitu, Gülen mengakui adanya kesulitan yang menghambat
inisiasi dialog antar agama. Di antaranya, kecurigaan umat Islam terhadap
kelompok Kristen sebagai akibat konflik yang telah berlangsung berabadabad.
Apalagi diperparah dengan temuan Graham E. Fuller dan Ian O. Lesser-sebagaimana
dikutip oleh Gü len yang menyatakan bahwa jumlah orang Islam yang dibunuh oleh
bangsa Barat selama satu abad terakhir ini jauh lebih besar dibanding jumlah
orang Kristen yang dibunuh oleh Muslim selama rentang sejarah agama ini.
Sementara itu di pihak Barat, seperti diungkapkan oleh Sidney Griffith,
memelihara cara pandang tertentu kepada Islam, misalnya, di
universitas-universitas Amerika, Islam tidak diajarkan sebagai agama di
fakultas theologi, tetapi diajarkan satu sistem poli tik di departemen
political science atau departemen hubungan internasional.
Pilar-pilar dalam
menegakkan dialog antar agama, tulis Gulen, meliputi: love (cinta), compassion
(sikap simpati pada orang lain), tolerance (toleransi), dan forgiving (saling
memaafkan). Dimensi moral lain dalam Islam, ungkap Gülen, seorang Muslim harus
menjauhi diri dari perilaku merusak dan mengganggu orang lain dengan sepenuh
kemampuannya, apakah itu secara fisik ataupun spiritual. Kewajiban setiap
segmen masyarakat Muslim adalah menegakkan rasa aman dan ketentraman.[9] Tidak
seperti pemimpin Muslim lainnya, Gülen tidak menentang masuknya Turki dalam Uni
Eropa. Ia bahkan yakin bahwa keanggotaan Turki dalam UE bisa berkontribusi
dalam menciptakan perdamaian dunia dan membantu menangkal “clash of
civilizations”. Ia menekankan bahwa Barat merupakan rival dalam berkompetisi,
bukan sebagai musuh yang harus diperangi. Ia berpendapat bahwa Turki perlu
meningkatkan kekuatan ekonomi dengan menyerap sistem ekonomi dan politik Barat.
Pandangan Gülen dalam keanggotaan UE ini mempengaruhi pola pikir kelompok
Muslim mayoritas Turki.
Menurut survey oleh
Hurriyet (11 Juli 2007), lebih dari 54% Turki mendukung keanggotaan UE. Sebagai
seorang pemimpin spiritual yang karismatik, partai–partai politik berebut
dukungannya, khususnya dalam pemilu. Namun Gülen tidak mendukung partai
tertentu. Peran penting Gülen sebagai pemimpin adalah upayanya dalam
mempertahankan hubungan harmonis dengan negara atau pemerintah, militer, media
dan kelompok- kelompok politik, agama dan sosial. Disebutkan bahwa prinsip
pengikut Gülen: “Kami tidak ingin perang, kami tidak ingin konflik” merupakan
modal dasar kesuksesan gerakan ini. Gülen mendorong pengikutnya untuk
menghormati dan mener ima pendapat dan keyakinan organisasi dan individu yang
berbeda. Ia mengatakan, “Perbedaan adalah bagian terindah hidup manusia”.
Ungkapan ini ia perkuat dengan mengutip Bediuzaman Said Nursi, “We are devotees
of love; we do not have time for antagonism.” Muslim sejati, ujar Gülen, adalah
wakil perdamaian universal yang paling dapat dipercaya.
H.
Kesimpulan
Menurut Gülen,
modernitas dan ajaran Islam tidaklah saling berlawanan, tetapi memberikan
imbangan antara materialisme dan spiritualitas. Menurut Nulifer Goleh, seorang
antropolog, Gülen merontokkan persepsi dikotomi antara modernitas dan Islam. Ia
berusaha mengakhiri monopoli modernitas yang saat ini berada di tangan Barat,
dan berupaya memasukkan nilai-nilai Islam dalam modernitas itu. Gole mengaskan
bahwa karya Gülen adalah menjinakan rasionalisme yang liar dengan sufisme dan
cinta, dan mendamaikan individualism dengan kerendahan hati. Gülen muncul
sebagai seorang yang bersuara lantang dan keras dalam menyeru adanya dialog
sebagai satu langkah menuju perdamaian. Sebagaimana dikutip dari Pratt, “Gülen
menawarkan sebuah jalan persemaian nilai-nilai Islam di tengah tuntutan komplek
masyarakat modern, dan menegakkan dialog dan kerjasama dengan pengikut agama
lain”. Gülen menandaskan bahwa dialog dengan pengikut agama lain merupakan
bagian integral dari etika Islam yang telah lama dilupakan. Gülen percaya bahwa
dialog merupakan salah satu kewaj iban seorang Muslim dalam rangka menciptakan
kehidupan yang damai. Michel menegaskan bahwa Gülen mempromosikan kerjasama
peradaban melalui dialog, saling memahami, dan berpijak pada nilai-nilai yang
sama. Jawaban Gülen atas tesis perbenturan peradaban (clash of civilization)
dirumuskannya dalam tiga kata: toleransi, dialog antar agama, dan saling
mencintai. Kendati begitu Gülen berjalan bukan tanpa kritik. Para pengkritik
Gülen berasal dari kelompok politisi agama radikal, kelompok sekuler, dan ultra
nasionalis, begitu juga kelompok liberal dan sosial demokrat, meskipun dalam
skala kecil. Kritik kelompok agama radikal: Gülen mencampuradukkan agama-agama.
Sekuleris menuduh Gülen bermaksud menguasai negara Turki dengan diam-diam.
Kelompok nasionalis menuduh Gülen sebagai orang yang tidak berjiwa patriot,
sebagai ‘pak turut’ negara-negara super power.
I.
Daftar Pustaka
Thomas Michel d alam
pendahuluan Toward a Global Civil ization of Love and Toler- ance , (Clifton:
Light Publi cations. Gundem,Mehmet )
Toward a Global
Civilization of Love and Tolerance ( kumpulan tulisan M. Fethullah
Gulen yang tersebar di
banyak media ), di edit oleh M. Enes Ergene.
Ali Unal and Alphon se
Williams, Advocate of Dialogue: Fethullah Gülen. 2000, Fairfax: The Fount ain,
M. Amin Abdullah:
Muslim-Christian Relati ons: Reinventing the Common Ground to Sustain a
Peaceful Coe xistence in the Global Era. Draft paper yan g dis ampai kan di ‘th
e International Seminar on “The Visi on of Fethullah Gül en and Muslim – Chris-
tian Relation s”, St. Patrick’ s Campus, Australian Catholic Uni versit y,
Melbourne, Australia, l5-l6 Juli 2009.
M. Elizabeth Özdalga,
Worldly Ascetici smin Islamic Casting: Fethullah Gülen’s Inspired Pi ety and
Activism,
Martha Nussbaum, “Kant
and Stoic Kosmopolit anism, ” Journal of Poli tical Philo- soph y 5, issue 1
(1997): 1 -25. Lih at juga Harold Caparne Baldry, The Unity of Mankind in Greek
Thought (Cambridge: Cambridge Uni ver sit y Press, 1965). Martha Nussbaum,
“Kant and Stoic Kosmopolit anism, ” Journal of Poli tical Philosophy Ali Unal
and Alphon se Williams, Advocate
Yavuz and Esposito.
Tur kish I slam and the Secular State: the Gülen Movement . Syr acuse: Syr a
cus e Uni versit y Press
[1] Thomas Michel
d alam pendahuluan Toward a Global Civil ization of Love and Toler- ance ,
(Clifton: Light Publi cations. Gundem,Mehmet )
[2] Toward a
Global Civilization of Love and Tolerance ( kumpulan tulisan M. Fethullah Gulen
yang tersebar di banyak media ), di edit oleh M. Enes Ergene.
[3] Ali Unal and
Alphon se Williams, Advocate of Dialogue: Fethullah Gülen. 2000, Fairfax: The
Fount ain, h.9
[4] Ibid. h. ii
[5] M. Amin
Abdullah: Muslim-Christian Relati ons: Reinventing the Common Ground to
Sustain a Peaceful Coe xistence in
the Global Era. Draft paper yan g dis ampai kan di ‘th e International Seminar
on “The Visi on of Fethullah Gül en and Muslim-Chris-tian Relation s”, St.
Patrick’ s Campus, Australian Catholic Uni versit y, Melbourne, Australia,
l5-l6 Juli 2009.
[6] M. Elizabeth
Özdalga, Worldly Ascetici smin Islamic Casting: Fethullah Gülen’s Inspired Pi
ety and Activism, h. 91
[7] Martha
Nussbaum, “Kant and Stoic Kosmopolit anism, ” Journal of Poli tical Philo- soph
y 5, issue 1 (1997): 1 -25. Lih at juga Harold Caparne Baldry, The Unity of Mankind
in Greek Thought (Cambridge: Cambridge Uni ver sit y Press, 1965). Marth a
Nussbaum, “Kant and Stoic Kosmopolit anism, ” Journal of Poli tical Philosophy
[8] Ali Unal and
Alphon se Williams, Advocate … h. 241
[9] Yavuz and
Esposito. Tur kish I slam and the Secular State: the Gülen Movement . Syr acuse:
Syr a cus e Uni versit y Press , h. xxxii

No comments:
Post a Comment