MAKALAHKU: MAKALAH PEMIKIRAN FETHULLAH GULEN

SELAMAT DATANG DAN SEMOGA BERMANFAAT

Saturday, February 24, 2018

MAKALAH PEMIKIRAN FETHULLAH GULEN


FETHULLAH GULEN
 (Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Makalah Matakuliah Pemikiran filsafat timur tengah)

OLEH:
Kelompok IV
Brojo  Hermanto
Arniyanti Toyini




IAIN SULTAN AMAI GORONTALO
FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
JURUSAN AQIDAH & FILSAFAT ISLAM
TAHUN AKADEMIK 2016-2017



A.    Pendahuluan

Sejak tumbangnya komunisme di belahan timur dunia, Islam menjadi musuh besar dalam pandangan Barat, menurut mereka, Islam adalah musuh yang paling berbahaya dan mengancam status quo adidaya barat yang sudah menggurita di seluruh dunia. Islam seolah-olah sedang berhadap-hadapan dengan Barat dengan memunculkan alternatif lain bagi nilai-nilai dasar demokrasi dan humanisme modern. Sekilas tampak serangan WTC New York pada 11 September 2001 menegaskan hal tersebut. Islam muncul sebagai kelompok yang mengancam Barat secara serius. Dampak yang harus ditanggung oleh umat Islam dengan stereotype semacam itu, Islam dianggap agama yang menakutkan dan memiliki karakter yang keras, kejam, radikal, tidak memiliki ajaran pluralitas, memperlakukan perempuan dengan tidak proporsional, membenci kelompok lain, bom bunuh diri dengan gerakan terorisme dan lain- lain.[1] Potret Islam semacam ini menjadi kegelisahan seorang pemikir bernama Fethullah Gülen. Menurut Gülen, Islam bukanlah sumber masalah, tapi Islam merupakan ajaran yang berisi tentang perintah kasih sayang dan toleran kepada semua. Karena itu, ia berusaha menemukan benang kusut pertemuan Islam dengan modernitas, dan perpaduan Islam dengan nilai-nilai humanisme universal yang dianut di Barat. Persoalan bagaimana Islam bisa hidup di alam modern yang sadar akan kemajemukan inilah yang kemudian melatari Fethullah Gülen merajut pemikiran - pemikirannya dalam buku Toward a Global Civilization of Love Tolerance.[2]
B.     Biografi dan Sketsa Intelektual
Fethullah Gülen ( Hodja Efendi ) lahir pada tahun 1938 di sebuah kota kecil yang dihuni oleh sekitar 50-60 kepala keluarga di Korucuk, Propinsi Erzurum.[3] Kelahiran Gülen bersamaan dengan kejadian besar yang tengah berlangsung di Turki: Kekhalifahan Utsmania kalah dalam Perang Dunia I , lalu dirubah oleh Mustafa Kemal Attaturk menjadi republik modern yang kita kenal dengan Turki modern. Mempercepat usaha ini, Attaturk mengadakan beberapa revolusi: membubarkan kesultanan (1922); memproklamasikan berdirinya Republik Turki (1923); menghapus kekhalifahan, membubarkan Kementerian Agama, menutup sekolah agama dan pengadilan agama (1924); memberangus perkumpulan-perkumpulan sufi dan membongkar kuburan para wali; menerapkan hukum sipil menggantikan hukum syar’iyah (1926), merubah huruf arab dengan tulisan latin (1928).[4]Selain sebagai seorang pegiat dialog antar agama,
Fethullah Gülen adalah seorang penulis yang produktif. Ia menulis tidak kurang 60 buku, video & tape yang berisi ceramahnya.[5] Gülen adalah seorang pemimpin spiritual, ahli agama, intelektual, aktivis perdamaian, penulis, sastrawan, dan seorang mentor yang menghabiskan hidupnya mencari penyelesaian tentang kebutuhan akan spiritual pada masyarakat Muslim modern. Banyak ide Gülen dipengaruhi oleh Said Nursi (1876-1960), yang menulis “Risale-i Nur Kulliyati” atau “Risalah tentang Cahaya Alam”. Tokoh lain yang ikut mempengaruhi pemikiran Gülen adalah Alvarli Muhammad Lutfi, seorang tokoh sufi, Mehmet Akif, seorang penyair Turki, Necip Fazil, tokoh intelektual Turki dan sekaligus penyair, dan Muhammed Hamdi Yazir (1878 -1942), seorang mufassir al-Qur’an. Özdalga mengungkapkan bahwa aliran Islam sunni, terutama tradisi sufi Naqshabandi, dan Nurculuk (Gerakan Nur) telah membentuk pemikiran Fethullah Gülen.[6] Gülen belajar di bawah bimbingan Muhammad Lutfi dalam agama.
Sementara itu, Gülen juga belajar bahasa Arab dari Sadi Efendi, dan belajar al-Qur’an dari al-Qar i Haci Sidqi Efendi. Pada umur 7 tahun ia menjadi seorang penghafal al-Qur’an. Selama 1950 - an ia mempelajari teori-teori sosial modern dan sains fisika. Gülen belajar hadis dengan mempelajari kutubus sittah (Bukhari, Muslim, Nasai, Ibn Majah, Tirmidhi, dan Abu Dawud). Selain itu, ia juga mempelajari khitobah, filsafat, sejarah Islam, teologi, dan fiqh. Ia juga mempelajari karya-karya filosof klasik dan modern seperti Ar istoteles, Marcus, Descartes, Kant, Camus, dan Sartre. Satu titik penting dalam hidup Gülen adalah pertemuannya dengan salah seorang murid Said Nursi ( yang mengantarkannya membaca Risail al. Nur). Gülen sangat terinspirasi oleh kehidupan spiritual Nursi dan semangatnya melayani umat. Kelak ia menerapkan ajaran Nursi itu dalam prinsip hizmet. Keberhasilan dan kesuksesan terbesar Gülen adalah mendidik generasi muda dalam ilmu -ilmu sains dan agama sehingga mampu mengentaskan mereka dari kejahilan dan membentengi mereka dari penyakit-penyakit spiritual. Pendidikan formal Fethullah Gulen diawali di desa kelahirannya, dan setelah keluarganya pindah ke desa tetangga, beliau mulai belajar tentang agama secara informal dari beberapa orang, yaitu ayahnya sendiri, serta beberapa guru sufi seperti Muhammad Lutfi Effendi, Haci Sıtkı, Sadi Effendi, dan Osman Bektaş. Latar belakang pendidikan agama beliau dipenuhi dengan nilai-nilai kebajikan yang dicontohkan secara langsung oleh para pendidiknya. Spiritualitas yang didapatkannya sebagian besar dilatar belakangi oleh ajaran tasawuf. Namun begitu, walaupun beliau sangat menaruh hormat kepada guru-gurunya maupun tradisi tasawuf, beliau tidak pernah tergabung ke dalam tarekat manapun. Beliau dikenal mempunyai rasa ingin tahu dan gairah membaca yang sangat besar, dan selama masa pendidikan agama inilah ia mulai tertarik pada isu-isu kontemporer pada masa itu. Ia juga mempelajari litera-tur Barat klasik seperti Faust, Les Misérables, Of Mice and Man dan banyak lagi yang lain untuk mendapatkan pemahaman tentang dunia Barat secara lebih baik. Beliau juga sangat menyukai seni dan menikmati music Turki klasik dan mengagumi karya lukis Picasso dan Da Vinci. Fethullah Gulen pernah menjelaskan bahwa gaya abstrak Picasso sangat dekat dengan pemahaman Islam tentang seni. Pada tahun 1966, Fethullah Gulen ditugaskan ke Izmir sebagai khatib senior dan diizinkan untuk memberikan ceramah di beberapa provinsi. Kepindahannya ke Izmir merupakan titik tolak penting dalam aktivitas sosialnya. Di kota ini, beliau mulai menyebarkan gagasannya tentang masalah-masalah sosial seperti keadilan sosial, pemulihan ekonomi, pembenahan bidang pendidikan serta kemajuan teknologi untuk mengobati penyakit-penyakit kemanusiaan seperti yang telah dijelaskan oleh Said Nursi. Pada pertengahan tahun 1990-an, gerakan yang diinisiasi oleh Fethullah Gulen telah berkembang pesat hingga suatu tingkat di mana berbagai label mulai disematkan padanya, seperti “Gerakan Gulen” atau “Jama’ah Fethullah Gulen” seperti yang dipakai oleh banyak media massa. Gerakan Gulen sepenuhnya mendanai seluruh aktivitasnya melalui sumbangan dari masyarakat umum dan tidak menerima bantuan dari Pemerintah dalam bentuk apapun. Hal ini membantunya untuk senantiasa terhindar dari korupsi dan politik. Saat ini Fethullah Gulen berdiam di negara bagian Pennsylvania, Amerika Serikat. Beliau menderita berbagai gangguan kesehatan yang menyebabkannya hidup dengan sangat sederhana. Jika kesehatannya membaik, Beliau bisa menerima tamu dan memberikan nasihatnya kepada para pendengarnya. Buku-buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris (dalam urutan waktu penerbitan)
C.    Konsep Dialog Masyarakat Kosmopolitan
Menurut Güllen, salah satu upaya menjawab clash of civilization dalam masyarakat, adalah dengan dialog. Dialog dalam masyarakat Cosmopolitan yang kompleks adalah sebuah keniscayaan. seperti yang ia tuangkan dalam buku Toward a Global Civilization of Love Tolerance. Masyarakat yang ikut dalam Kosmopolitanisme pada dasarnya memberi ruang penting pada peran individu dalam membentuk komunitas. Dengan dampak globalisasi pada relasi-relasi sosial, kosmopolitanisme menegaskan bahwa perbedaan kultur individu, kelompok dan bangsa, dan dialog antar kelompok tersebut, sebagai batu pijakan dalam membangun tatanan komunitas global. Secara umum kosmopolitanisme merupakan harapan ideal tentang warga dunia tanpa perbatasan, dan kosmopolitanisme bersumber dari inspirasi pemikiran humanitas rasional, sebuah nilai yang terkandung dalam diri setiap manusia.[7] Konsep kosmopolitan berangkat dari pemikiran Kant, yang menyatakan bahwa sebuah tatanan dunia itu ada karena adanya nilai moral yang dihargai secara universal. Kosmopolitan sesungguhnya memberi titik tekan pada wilayah pertukaran indentitas yang terkonstruksi melompati batas kultural, moral dan politik. Pandangan lintas kultural dalam kosmopolitan ini memberi arti akan pentingnya dialog dalam sebuah komunitas dengan landasan saling mengakui dan menghargai, di mana perbedaan pada manusia dianggap sebagai inti dalam menciptakan kehidupan dunia yang damai. Fethullah Gülen muncul dengan konsep kosmopolitanisme yang menjadi kegelisahannya. Apresiasi Gülen pada dialog interkultural sebagai pijakan dalam menata dunia yang plural, membuka perspektif baru akan adanya penghargaan Islam pada toleransi dengan rekonsiliasi pemikiran-pemikiran agama dengan aturan kehidupan modern. Semangat pluralisme yang ia anut dalam menautkan berbagai penganut agama yang berbeda dalam dialog antar iman menjadikannya sebagai sebuah gerakan intelektual yang menyemaikan perdamian dan stabilitas di saat warga dunia saling curiga-mencurigai.
D.    Konsep Hizmet / Khidmah ( Pelayanan ) Agama
Pemikiran Gulen tentang hizmet didasarkan pada ajaran agama. Gulen menandaskan bahwa kesalehan (piety) adalah dengan ‘berbuat’ dan ‘bekerja’ (to work), bekerja untuk melayani umat manusia. Iman bagi Gulen adalah applied action, tidak hanya berhenti sebagai keyakinan semata. Etos agama Islam adalah hizmet, pelayanan. Agama, dengan demikian, ia ditransformasikan menjadi pela yanan kepada umat manusia. Dengan jumlah pengikut besar dan jutaan simpatisan, menjadikan gerakan ini sebagai gerakan sipil terbesar. Karena itu perlu kiranya kita memahami siapa Fethullah Gülen ini, dan apa yang ia perjuangkan.
E.     Konsep Pendidikan Versi Gullen
Menurut Fethullah Gulen, dalam melakukan perubahan sosial, masyarakat perlu dididik dengan pendidikan non-kekerasan. Gullen menjabarkan pendidikan masa kini harus bisa mengatasi masalah kemiskinan, kebodohan serta perpecahan antar berbagai kelompok masyarakat. Langkah pertamanya adalah mengurangi angka buta huruf serta meningkatkan kualitas pendidikan. Beliau juga memobilisasi kalangan bisnis, pengusaha dan orang-orang kaya untuk mendanai berbagai institusi pendidikan yang kini sering disebut sebagai “Gullen Schools”, seperti asrama untuk para pelajar dan mahasiswa, lembaga bimbingan belajar untuk masuk perguruan tinggi, sekolah serta pada akhirnya universitas yang menitikberatkan pada sains dan nilai-nilai kemanusiaan.
Institusi pendidikan tidaklah akan banyak berarti jika tidak memiliki guru-guru yang berkualitas yang secara suka rela mengabdikan dirinya untuk mendidik generasi penerus yang akan membawa pencerahan bagi umat manusia dan kemanusiaan. Ribuan mahasiswa dari berbagai disiplin keilmuan yang mendengarkan khutbah dan ceramahnya serta merta memutuskan untuk menjadi guru. Semakin banyak orang yang menghadiri khutbah dan ceramah Hoja Effendi, makin banyak pula institusi pendidikan yang diinspirasi olehnya bertebaran di seantero Turki. Pada pertengahan dekade 1980-an, visi Fethullah Gulen tentang bagaimana mewujudkan “better world through a better education” melahirkan sebuah proposal baru bagi para pengikutnya membuka sekolah-sekolah di Asia Tengah yang akan segera lepas dari Uni Sovyet. Beliau memulainya dengan negara-negara baru ini karena kedekatan etnik dengan orang-orang Turki Anatolia. Dalam tahun-tahun berikutnya, beliau mendorong para pengikutnya untuk membuka dan mendanai institusi-institusi pendidikan di seluruh dunia.
F.     Konsep Cinta “ Ala” Gullen Cinta
tulis Gülen, adalah elemen paling penting bagi setiap makhluk hidup, dan. Cinta juga yang bisa mengangkat martabat seseorang dan mempersiapkan jiwanya menuju keabadian. Kekuatan cinta ini diceritakan oleh Gülen sebagai penggerak segala sesuatu, termasuk perputaran alam semesta. Bahkan matahari sendiri, ungkap Gülen, bergerak dan digerakkan oleh cinta; air menguap, menuju cinta itu, lalu menjadi butiran-butiran air di atas sana dan berjatuhan ke atas permukaan bumi dibawa oleh sayap cinta, lantas ribuan bunga mekar berkat cinta menawarkan senyum indah kepada apa yang di sekitarnya. Domba dan kambing meloncat berlar ian dalam riang dan cinta, dan burung berkicau bersama cinta dan membentuk paduan suara penuh cinta. Karena itu, cinta menjadi dasar penting seorang Muslim dalam interaksinya dengan kelompok lain, dan nilai dasar dari masyarakat sesungguhnya adalah cinta, “In society, if there is a currency that maintains its value, it is love, and again the value of love is found itself.” Setiap kali mengajar, Gülen lebih memusatkan pada cinta, iman, dan sunnah nabi. Selain itu ia juga menjelaskan tentang penyucian diri, kriteria dan prinsip dasar hizmet, melayani masyarakat, konsep kunci tasawuf seperti taqwa, taubat, zuhud, ikhlas, muraqabah, istiqamah, tawakkal, tawadu’, syukur, ihsan, sabar, dan ma’rifah. Cinta, tulis Gülen, adalah elemen paling penting bagi setiap makhluk hidup, dan.cinta juga yang bisa mengangkat martabat seseorang dan mempersiapkan jiwanya menuju keabadian. Kekuatan cinta ini diceritakan oleh Gülen sebagai penggerak segala sesuatu, termasuk perputaran alam semesta. Bahkan matahari sendiri, ungkap Gülen, bergerak dan digerakkan oleh cinta; air menguap, menuju cinta itu, lalu menjadi butiran-butiran air di atas sana dan berjatuhan ke atas permukaan bumi dibawa oleh sayap cinta, lantas ribuan bunga mekar berkat cinta menawarkan senyum indah kepada apa yang di sekitarnya. Domba dan kambing meloncat berlarian dalam riang dan cinta, dan burung berkicau bersama cinta dan membentuk paduan suara penuh cinta.
Karena itu, cinta menjadi dasar penting seorang Muslim dalam interaksinya dengan kelompok lain, dan nilai dasar dari masyarakat sesungguhnya adalah cinta, “In society, if there is a currency that maintains its value, it is love, and again the value of love is found itself.”
G.    Karakteristik Gerakan Gülen
Pemikiran Gülen melahirkan perkawinan antara agama dan sains, tradisional dan modernitas, spiritualitas dan intelektual, rasio dan wahyu, akal dan hati. Gülen mengkritik pandangan hidup materialis, ia menegaskan bahwa harmoni sosial dengan alam, serta dengan manusia dapat diraih jika material dan spiritual dapat dipadukan; “Religion reconciles opposites that seem to be mutually exclusive: religion-science, this world-the next world, nature-Divine Books, the material-the spiritual, and spirit-body.”[8] Agama, lanjut Gülen, dapat menjadi benteng pencegah kehancuran yang ditimbulkan oleh materialisme sains, menempatkan sains pada tempatnya, dan mengakhiri konflik berkepanjangan di antara manusia dan antar agama.
Prinsip gerakan Gülen berusaha untuk tidak mengusung kembali masa lalu, mengagungkan romantisme masa awal Islam, tetapi menyegarkan modernitas dengan nilai-nilai tradisional. Tujuan Gülen adalah mendidik generasi yang memiliki kedalaman spiritual, terlibat dalam pengejaran intelektualitas, dan berkomitmen melayani seluruh manusia. Bagi Gülen, “melayani manusia berarti melayani Tuhan”. Ia mendorong pengikutnya untuk membuka sekolah dan universitas modern, dengan fokus pada sains dan bahasa. Kata kunci yang dimunculkan oleh Gülen adalah harmonisasi antara modernitas dan spir itualitas serta semangat mela yani dan perduli pada manusia. Problem yang Umat Islam hadapi, tulis Gülen, berakar dari pandangan hidup materialis yang membatasi peran agama dalam kehidupan sosial kontemporer, hanya sedikit orang yang menyadari bahwa harmoni sosial, damai dengan alam, antar manusia, dan dalam diri manusia itu sendiri, dapat diatasi dengan rekonsiliasi antara material dan spiritual. Pada abad 21 ini, mimpi Gülen, akan berkembang dinamika spiritual yang akan menghidupkan kembali nilai-nilai moral, menjadi sebuah abad yang penuh toleransi, saling memahami dan tercipta kerjasama internasional yang baik. Semua ini akan menghantarkan perdamaian umat manusia melalui dialog intercultural dan sharing nilai-nilai, dan menjadikan dunia ini tempat persemaian peradaban inklusif yang tunggal. Terbuka pada semua keyakinan dan tradisi agama melalui jalan dialog merupakan karakteristik lain yang membedakan Gülen dari pemimpin agama lainnya. Sejak 1991, meskipun kritik datang bertubi-tubi dari pemimpin agama, politisi dan media, Gülen tetap teguh pada keyakinan dan gagasan dialog antar agama dengan pemimpin Yahudi, Gereja ortodoks Timur, dan ia mendorong para pengikutnya untuk melakukan hal yang sama. Dalam ruang dialog, Gülen menegaskan, bukan perbedaan yang dicari, tapi persamaanlah yang harus ditemukan, terutama antara Islam dan Kristen yang memiliki - setidaknya- delapan persamaan:
1.      Islam dan Kristen muncul dari wilayah kebudayaan yang sama, yaitu Timur Tengah. Keduanya mengaku sebagai pewaris spiritualitas Ibrahim.
2.      Kedua agama sama- sama memiliki etika monoteisme,
3.      Islam dan Kristen adalah agama sejarah, meyakini bahwa Tuhan bertindak melewati sejarah.
4.      Kedua agama adalah agama wahyu,
5.      Keduanya mengajarkan bahwa wahyu datang melalui dua cara: kitab suci dan nabi.
6.      Kristen dan Islam merupakan agama yang memiliki kitab suci. Pemeluk keduanya akan menjadikan kitab suci mereka sebagai pedoman dan petunjuk.
7.      Posisi nabi sangat penting dalam kedua agama
8.      Islam memiliki kesamaan dengan Kristen dalam pandangannya terhadap agama Yahudi.
Bahkan untuk menegaskan dialog antar iman itu, pada tahun 1998, Gülen bertemu dengan Paus John Paul II di Vatikan ketika di Turki masih berkembang anggapan bahwa dialog terbuka dengan berbagai kelompok agama lain merupakan hal tabu. Namun, diinspirasi oleh langkah Gülen dalam menjembatani dialog antar agama ini, pengikut Gülen mendirikan organisasi - organisasi interfaith dan intercultural di seluruh dunia. Di AS saja tidak kurang dari 42 buah organisasi semacam ini telah berdiri. Kendati begitu, Gülen mengakui adanya kesulitan yang menghambat inisiasi dialog antar agama. Di antaranya, kecurigaan umat Islam terhadap kelompok Kristen sebagai akibat konflik yang telah berlangsung berabadabad. Apalagi diperparah dengan temuan Graham E. Fuller dan Ian O. Lesser-sebagaimana dikutip oleh Gü len yang menyatakan bahwa jumlah orang Islam yang dibunuh oleh bangsa Barat selama satu abad terakhir ini jauh lebih besar dibanding jumlah orang Kristen yang dibunuh oleh Muslim selama rentang sejarah agama ini. Sementara itu di pihak Barat, seperti diungkapkan oleh Sidney Griffith, memelihara cara pandang tertentu kepada Islam, misalnya, di universitas-universitas Amerika, Islam tidak diajarkan sebagai agama di fakultas theologi, tetapi diajarkan satu sistem poli tik di departemen political science atau departemen hubungan internasional.
Pilar-pilar dalam menegakkan dialog antar agama, tulis Gulen, meliputi: love (cinta), compassion (sikap simpati pada orang lain), tolerance (toleransi), dan forgiving (saling memaafkan). Dimensi moral lain dalam Islam, ungkap Gülen, seorang Muslim harus menjauhi diri dari perilaku merusak dan mengganggu orang lain dengan sepenuh kemampuannya, apakah itu secara fisik ataupun spiritual. Kewajiban setiap segmen masyarakat Muslim adalah menegakkan rasa aman dan ketentraman.[9] Tidak seperti pemimpin Muslim lainnya, Gülen tidak menentang masuknya Turki dalam Uni Eropa. Ia bahkan yakin bahwa keanggotaan Turki dalam UE bisa berkontribusi dalam menciptakan perdamaian dunia dan membantu menangkal “clash of civilizations”. Ia menekankan bahwa Barat merupakan rival dalam berkompetisi, bukan sebagai musuh yang harus diperangi. Ia berpendapat bahwa Turki perlu meningkatkan kekuatan ekonomi dengan menyerap sistem ekonomi dan politik Barat. Pandangan Gülen dalam keanggotaan UE ini mempengaruhi pola pikir kelompok Muslim mayoritas Turki.
Menurut survey oleh Hurriyet (11 Juli 2007), lebih dari 54% Turki mendukung keanggotaan UE. Sebagai seorang pemimpin spiritual yang karismatik, partai–partai politik berebut dukungannya, khususnya dalam pemilu. Namun Gülen tidak mendukung partai tertentu. Peran penting Gülen sebagai pemimpin adalah upayanya dalam mempertahankan hubungan harmonis dengan negara atau pemerintah, militer, media dan kelompok- kelompok politik, agama dan sosial. Disebutkan bahwa prinsip pengikut Gülen: “Kami tidak ingin perang, kami tidak ingin konflik” merupakan modal dasar kesuksesan gerakan ini. Gülen mendorong pengikutnya untuk menghormati dan mener ima pendapat dan keyakinan organisasi dan individu yang berbeda. Ia mengatakan, “Perbedaan adalah bagian terindah hidup manusia”. Ungkapan ini ia perkuat dengan mengutip Bediuzaman Said Nursi, “We are devotees of love; we do not have time for antagonism.” Muslim sejati, ujar Gülen, adalah wakil perdamaian universal yang paling dapat dipercaya.
H.    Kesimpulan
Menurut Gülen, modernitas dan ajaran Islam tidaklah saling berlawanan, tetapi memberikan imbangan antara materialisme dan spiritualitas. Menurut Nulifer Goleh, seorang antropolog, Gülen merontokkan persepsi dikotomi antara modernitas dan Islam. Ia berusaha mengakhiri monopoli modernitas yang saat ini berada di tangan Barat, dan berupaya memasukkan nilai-nilai Islam dalam modernitas itu. Gole mengaskan bahwa karya Gülen adalah menjinakan rasionalisme yang liar dengan sufisme dan cinta, dan mendamaikan individualism dengan kerendahan hati. Gülen muncul sebagai seorang yang bersuara lantang dan keras dalam menyeru adanya dialog sebagai satu langkah menuju perdamaian. Sebagaimana dikutip dari Pratt, “Gülen menawarkan sebuah jalan persemaian nilai-nilai Islam di tengah tuntutan komplek masyarakat modern, dan menegakkan dialog dan kerjasama dengan pengikut agama lain”. Gülen menandaskan bahwa dialog dengan pengikut agama lain merupakan bagian integral dari etika Islam yang telah lama dilupakan. Gülen percaya bahwa dialog merupakan salah satu kewaj iban seorang Muslim dalam rangka menciptakan kehidupan yang damai. Michel menegaskan bahwa Gülen mempromosikan kerjasama peradaban melalui dialog, saling memahami, dan berpijak pada nilai-nilai yang sama. Jawaban Gülen atas tesis perbenturan peradaban (clash of civilization) dirumuskannya dalam tiga kata: toleransi, dialog antar agama, dan saling mencintai. Kendati begitu Gülen berjalan bukan tanpa kritik. Para pengkritik Gülen berasal dari kelompok politisi agama radikal, kelompok sekuler, dan ultra nasionalis, begitu juga kelompok liberal dan sosial demokrat, meskipun dalam skala kecil. Kritik kelompok agama radikal: Gülen mencampuradukkan agama-agama. Sekuleris menuduh Gülen bermaksud menguasai negara Turki dengan diam-diam. Kelompok nasionalis menuduh Gülen sebagai orang yang tidak berjiwa patriot, sebagai ‘pak turut’ negara-negara super power.
I.       Daftar Pustaka
Thomas Michel d alam pendahuluan Toward a Global Civil ization of Love and Toler- ance , (Clifton: Light Publi cations. Gundem,Mehmet )
Toward a Global Civilization of Love and Tolerance ( kumpulan tulisan M. Fethullah
Gulen yang tersebar di banyak media ), di edit oleh M. Enes Ergene.
Ali Unal and Alphon se Williams, Advocate of Dialogue: Fethullah Gülen. 2000, Fairfax: The Fount ain,
M. Amin Abdullah: Muslim-Christian Relati ons: Reinventing the Common Ground to Sustain a Peaceful Coe xistence in the Global Era. Draft paper yan g dis ampai kan di ‘th e International Seminar on “The Visi on of Fethullah Gül en and Muslim – Chris- tian Relation s”, St. Patrick’ s Campus, Australian Catholic Uni versit y, Melbourne, Australia, l5-l6 Juli 2009.
M. Elizabeth Özdalga, Worldly Ascetici smin Islamic Casting: Fethullah Gülen’s Inspired Pi ety and Activism,
Martha Nussbaum, “Kant and Stoic Kosmopolit anism, ” Journal of Poli tical Philo- soph y 5, issue 1 (1997): 1 -25. Lih at juga Harold Caparne Baldry, The Unity of Mankind in Greek Thought (Cambridge: Cambridge Uni ver sit y Press, 1965). Martha Nussbaum, “Kant and Stoic Kosmopolit anism, ” Journal of Poli tical Philosophy Ali Unal and Alphon se Williams, Advocate
Yavuz and Esposito. Tur kish I slam and the Secular State: the Gülen Movement . Syr acuse: Syr a cus e Uni versit y Press


[1] Thomas Michel d alam pendahuluan Toward a Global Civil ization of Love and Toler- ance , (Clifton: Light Publi cations. Gundem,Mehmet )
[2] Toward a Global Civilization of Love and Tolerance ( kumpulan tulisan M. Fethullah Gulen yang tersebar di banyak media ), di edit oleh M. Enes Ergene.
[3] Ali Unal and Alphon se Williams, Advocate of Dialogue: Fethullah Gülen. 2000, Fairfax: The Fount ain, h.9
[4] Ibid. h. ii
[5] M. Amin Abdullah: Muslim-Christian Relati ons: Reinventing the Common Ground to
Sustain a Peaceful Coe xistence in the Global Era. Draft paper yan g dis ampai kan di ‘th e International Seminar on “The Visi on of Fethullah Gül en and Muslim-Chris-tian Relation s”, St. Patrick’ s Campus, Australian Catholic Uni versit y, Melbourne, Australia, l5-l6 Juli 2009.
[6] M. Elizabeth Özdalga, Worldly Ascetici smin Islamic Casting: Fethullah Gülen’s Inspired Pi ety and Activism, h. 91
[7] Martha Nussbaum, “Kant and Stoic Kosmopolit anism, ” Journal of Poli tical Philo- soph y 5, issue 1 (1997): 1 -25. Lih at juga Harold Caparne Baldry, The Unity of Mankind in Greek Thought (Cambridge: Cambridge Uni ver sit y Press, 1965). Marth a Nussbaum, “Kant and Stoic Kosmopolit anism, ” Journal of Poli tical Philosophy
[8] Ali Unal and Alphon se Williams, Advocate … h. 241
[9] Yavuz and Esposito. Tur kish I slam and the Secular State: the Gülen Movement . Syr acuse: Syr a cus e Uni versit y Press , h. xxxii




No comments: