GENDER DALAM TINJAUAN HADITS NABI
SAW.
(Diajukan
Untuk Memenuhi Tugas Paper Hadits Falsafi)
Di Susun
Oleh:
Kelompok
I
1. Brojo Hermanto
2. Abdurrahman Puhi
3. Arniyanti Toini
IAIN SULTAN AMAI GORONTALO
FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
JURUSAN FILSAFAT AGAMA
TAHUN AKADEMIK 2017-2018
GENDER dalam Tinjauan Hadis Nabi
Saw.
A.
Latar
Belakang
“Housewives
Are Unpaid Slavery” (Ibu rumah tangga adalah budak-budak yang tidak
dibayarkan upahnya), “Don’t Get Married” (Jangan kawin),
dan “Legalise Abortion”(Legalisasi pengguguran kandungan). Demikian
beberapa plakat yang ditulis oleh sederetan kaum wanita dalam sebuah
demonstrasi yang bertemakan “feminis” pada tanggal 26 Agustus 1970 di New York.
Demonstrasi tersebut dipicu oleh tuntutan wanita atas perlakuan yang
menyakitkan dari suami mereka yang lagi mabuk, hak perkawinan, mengontrol
kekayaan dan usahanya sendiri dan hak suara, bahkan sampai pada tuntutan
persamaan laki-laki dan wanita.
Berbicara
mengenai wanita –utamanya dalam Islam- berarti berbicara mengenai sesuatu yang
selalu menarik. Wanita dalam Islam selalu dianggap bagian dari “kejelekan”
ajaran Islam. Mereka yang mengaku dirinya manusia modern –setidak-tidaknya-
menganggap ada empat hal sisi negatif ajaran Islam tentang wanita. Keempat sisi
yang dimaksud ialah; pertama, perkawinan yang harus diatur oleh orang tua.
Kedua, poligami. Ketiga, hak perceraian yang ada di tangan laki-laki. Dan
keempat, ketatnya aturan tentang pakaian wanita. Anggapan serupa berkembang di
kalangan masyarakat Islam ketika mereka kontak dengan masyarakat dan budaya
barat yang diidentifikasikan sebagai masyarakat dan budaya modern sekaligus
simbol kemajuan suatu bangsa.
Dari
pertemuan kedua budaya dan masyarakat tersebut, menyebabkan diskusi
ke-wanita-an semakin meluas, termasuk di kalangan umat Islam sendiri. Mulai
dari bentuk pekerjaan atau entitas yang bisa dilakukan wanita muslimah, sampai
kepada status wanita dalam Islam, pandangan al Qur’an dan sunnah mengenai
persamaan laki-laki dan wanita (persamaan gender) dalam artian sama martabat
dan penghargaan terhadapnya, ataukah ia hanya dianggap sebagai jenis makhluk
yang inferior dan budak serta pelengkap kehidupan lelaki?
Sekalipun
sebenarnya Islam datang membawa misi kemuliaan kepada seluruh manusia termasuk
wanita. Bahkan dalam al Qur’an dan sunnah ada beberapa dalil yang meningkatkan
harkat dan derajat wanita. Penyebutan kata wanita dengan julukan yang beraneka
ragam sesuai dengan status mereka –misalnya bintun, ukhtun dan ummi-
menunjukkan luasnya kesempatan kepada wanita untuk menikmati hak sosial,
budaya, politik, ekonomi, hukum, agama dan pendidikan seperti yang dimiliki
oleh laki-laki.
Hanya
saja seiring dengan penghargaan tersebut, tampaknya ada beberapa ayat dan hadis
yang dianggap memiliki kekurangan –bila kita berani mengatakan “memiliki
kekurangan” sebab dalil-dalil yang ada justru menghargai dan menghormati
wanita- sehingga wanita tidak mungkin disamakan dengan laki-laki secara mutlak.
Termasuk di antaranya hadis mengenai kecaman Nabi terhadap negeri yang
mengangkat wanita sebagai pemimpin. Atau dalil yang menunjukkan bahwa wanita
tidak boleh mengimami laki-laki.
Berdasarkan
dengan kenyataan di atas sehingga penulis berusaha menyusun sebuah makalah yang
terkait dengan pandangan al sunnah –bukan berarti al Qur’an terlupakan-
mengenai wanita utamanya dalam hal persamaan gender tersebut. Apakah betul
sunnah membedakan status mereka atau sebaliknya sunnah menghendaki kedua jenis
manusia tersebut menjalankan fungsinya sesuai dengan kodrat yang telah
diberikan kepada mereka.
B.
Rumusan
Masalah
Sesuai
dengan judul makalah ini “gender dalam perspektif hadis Rasulullah” maka
permasalahan pokok yang dijadikan sebagai kajian utama tergambar dalam rumusan
masalah sebagai berikut :
Bagaimana
kedudukan wanita menurut hadis Rasulullah SAW?
Bagaimana
status wanita bila dikaitkan dengan persamaan gender menurut hadis Rasulullah
SAW?
PEMBAHASAN
C.
Asal
Penciptaan manusia?
حَدَّثَنَا
أَبُو كُرَيْبٍ وَمُوسَى بْنُ حِزَامٍ قَالَا حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ عَنْ
زَائِدَةَ عَنْ مَيْسَرَةَ الْأَشْجَعِيِّ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ
شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ
لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاء
Artinya
:
Dari
Abi Hurairah: Nabi bersabda: “berwasiatlah tentang perempuan, karena
sesungguhnya mereka tercipta dari tulang, dan tulang yang paling bengkok adalah
yang tertinggi. Jika engkau berusaha meluruskan berarti engkau merusaknya, jika
dibiarkan maka akan tetap bengkok”.
D.
Kedudukan
Wanita menurut Hadis Rasulullah
Disebutkan
dalam salah satu riwayat bahwa suatu ketika sayyidina Umar bin Khattab ra.
Suatu ketika tersenyum dan tidak lama kemudian ia menangis. Tersenyum dan
menangis, dua kata yang mewakili keadaannya saat itu. Para sahabat yang lain
heran dan menganggap ada kejanggalan yang terjadi pada diri sang pemimpin Islam
tersebut. Maka salah seorang di antara mereka bertanya kepada sayyidina Umar
mengenai sesuatu yang menyebabkan ia bersikap seperti itu, lalu amirul
mukminin menjawab pertanyaan sahabatnya dengan menjelaskan bahwa ia
tertawa karenaa mengingat sikap dan perbuatannya ketika ia masih berada dalam
kekafiran. Di mana suatu ketika ia bepergian dengan membawa patung yang terbuat
dari roti yang kemudian disembah dalam perjalanannya. Akan tetapi dalam
perjalanannya tersebut sang amir merasa lapar dan tidak ada yang bisa dimakan,
akhirnya ia mencabut hidung patung tuhannya yang terbuat dari roti kemudian ia
makan hidung tersebut.
Sedangkan
penyebab ia menangis karena mengingat sikap dan perbuatannya ketika istrinya
melahirkan dan ternyata anak yang lahir adalah seorang wanita. Maka Umar
mengambil anak tersebut lalu ia kuburkan hidup-hidup disebabkan adanya anggapan
bahwa wanita adalah sebuah aib atau mungkin menjadi pintu masuk kehinaan dalam
lingkungan keluarga terhormat.
Wanita
dalam Islam adalah makhluk yang memiliki kedudukan yang tinggi, di mana
sebelumnya mereka tidak memiliki nilai dan penghargaan. Banyak dalil yang
menunjukkan hal tersebut, termasuk hadis dan sunnah Nabi, maka di sana
ditemukan beberapa sabda Nabi yang mengangkat derajat wanita.
Imam
Abu Daud meriwayatkan dari Aisyah ra. :
سئل رسول الله صلى الله عليه و سلم عن
الرجل يجد البلل ولا يذكر احتلاما قال ” يغتسل ” وعن الرجل يرى أن قد احتلم ولا
يجد البلل قال ” لا غسل عليه ” فقالت أم سليم المرأة ترى ذلك أعليها غسل ؟ قال ”
نعم إنما النساء شقائق الرجال “
Hadis
di atas memang berbicara mengenai kewajiban mandi junub jika seseorang
mengalami mimpi basah, baik laki-laki maupun wanita. Keduanya tidak dibedakan
sebab mereka adalah bersaudara yang berasal dari satu keturunan. Persamaan
konsekuensi tersebut memberi isyarat bahwa wanita memiliki kedudukan yang tinggi.
Termasuk
pula hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra. ;
من كانت له أنثى فلم يئدها ولم يهنها ولم
يؤثر ولده عليها قال يعني الذكور أدخله الله الجنة
“Barangsiapa
yang memiliki seorang anak perempuan, lalu ia tidak menyakiti (menguburnya
hidup-hidup) dan menghinanya serta tidak membedakannya dengan anak laki-lakinya
maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga”.
Hadis
ini kembali menegaskan bahwa betapa besar perhatian Islam terhadap wanita
karena mereka memang pantas untuk diperhatikan sebagai makhluk yang dimuliakan
oleh-Nya dengan adanya kesamaan kedudukan dengan lawan jenisnya. Bahkan secara
khusus di dalam al Qur’an terdapat satu surah yang ber-“label”-kan wanita.
Demikian pula ayat-ayat al Qur’an, banyak yang menjelaskan kesetaraan tersebut.
Misalnya saja firman Allah SWT QS. Al Nisa’; 1 :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ
الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ
“Wahai
sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari
diri yang satu…”
Penghormatan
dan penghargaan Islam –termasuk yang digambarkan oleh sunnah Nabi- adalah
penghormatan yang sempurna, sebab Islam dalam memuliakan wanita tidak terbatas
pada pencegahan penyiksaan terhadap mereka atau membebaskan mereka dari
penindasan masyarakatnya utamanya kaum lelaki tetapi Islam memuliakan wanita
sampai pada apa yang dicontohkan Rasulullah dalam bentuk pembinaan, mendorong
mereka pada kebaikan, membahagiakan serta melapangkan dada mereka pada
batasan-batasan yang diperbolehkan oleh Allah.
Hal
ini dijelaskan oleh Rasulullah SAW sebagaimana yang diriwayatkan oleh al
Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah ;
من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فإذا شهد
أمرا فليتكلم بخير أو ليسكت واستوصوا بالنساء فإن المرأة خلقت من ضلع وإن أعوج شيء
في الضلع أعلاه إن ذهبت تقيمه كسرته وإن تركته لم يزل أعوج استوصوا بالنساء خيرا
“Barangsiapa
yang beriman kepada Allah dan hari kemudian maka hendaklah ia berkata baik bila
melihat sesuatu atau ia diam saja, dan minta wasiatlah untuk para wanita karena
sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. Dan sesungguhnya
sesuatu yang paling bengkok adalah yang paling atas. Bila kamu ingin
meluruskannya –dengan memaksa- maka kamu akan memecahkannya, namun bila kamu
meninggalkannya maka ia akan tetap bengkok. Berwasiatlah –minta wasiatlah-
terhadap wanita dengan kebaikan”.
Menurut
Abdul Rauf al Manawi kata “istaushu bi al nisa’I khairan” bermakna saling
menasihatilah kalian, pergaulilah para wanita, bercengkramalah dengan mereka
serta perbaikilah hubungan kekerabatan dengan mereka.
Betapa
jelas dalil-dalil agama menunjukkan ketinggian kedudukan wanita sekaligus
menjadi bantahan terhadap mereka yang menganggap kaum wanita sebagai kaum
pembawa sial ataupun tindakan yang ingin menggeser wanita dari fitrah
kemuliaannya dengan “menelanjangi” dan menjadikan mereka jauh dari ketentuan
Tuhan kepada mereka. Karena itulah seorang wanita sebaiknya dan memang
seharusnya menjaga nilai-nilai kemuliaan yang diberikan kepada mereka.
Bila
wanita, kedudukan dan sikap mereka ingin digambarkan maka dapat diibaratkan
bahwa wanita adalah makhluk istimewa, setiap saat ribuan lelaki memujanya.
Wanita ibarat mutiara. Tidak sembarangan orang memiliki mutiara, hanya yang
sebanding dengannya yang layak memilikinya. Mutiara ditempatkan pada tempat
khusus dan dilindungi dengan beragam alat pengaman. Hanya orang tertentulah
yang boleh melihat dan meraba secara langsung. Dan juga ia hanya bisa
didapatkan pada tempat yan agung. Begitulah wanita yang mestinya menjaga dan
memelihara kedudukannya yang tinggi di sisi agama.
E.
Status
wanita dalam tinjauan hadis Nabi
Yang
dimaksud dengan status di sini adalah perbandingan antara laki-laki dan wanita,
kesamaan laki-laki dengan wanita dalam segala aspek yang sering diistilahkan
persamaan gender, tanpa membedakan jenis kelamin.
Membicarakan
persoalan gender berarti berbicara mengenai sesuatu yang hangat baik di
kalangan agamawan, politisi, akademisi bahkan ibu rumah tangga. Tentunya dari
pembicaraan tersebut akan melahirkan perdebatan yang dipicu oleh pola piker dan
metodologi yang digunakan.
Terlepas
dari perdebatan pola pikir dan metodologi tersebut serta sebelum lebih jauh
melihat gender dalam tinjauan hadis maka perlu diketahui pengertian gender itu
sendiri. Kata “Gender” sampai dengan sekarang masih dalam pengertian yang rancu
di kalangan pengkajinya, Nasaruddin Umar dalam Jurnal Paramadina menyebutkan
kata gender yang berasal dari bahasa Inggris berarti “jenis kelamin”, Nasaruddin
Umar juga menyebutkan bahwa kata gender belum masuk dalam perbendaharaan Kamus
Besar Bahasa Indonesia, tetapi istilah tersebut sudah lazim digunakan,
khususnya di Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita dengan istilah
“jender”. Jender diartikan sebagai “interpretasi mental dan kultural terhadap
perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Jender biasanya dipergunakan
untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan
perempuan”. Selanjutnya, ia menyimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep yang
digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari
segi pengaruh sosial budaya.
Berdasarkan
pengertian tersebut maka akan dilihat bahwa kedua jenis makhluk tersebut
(laki-laki dan wanita) adalah dua makhluk yang tidak mungkin disamakan dari
segi social dan budaya karena memang keduanya memiliki perbedaan. Karena itulah
muncul sebuah istilah persamaan jender karena adanya keinginan oleh sebagian
orang untuk menyamakan wanita dan laki-laki dalam semua aspek sampai kepada
pembangkangan atas kedudukannya sebagai istri, ibu atau sebagai perempuan.
Bahkan Juhaya S. Praja mengutip tulisan Qasim Amin –penulis buku al Mar’at al
Jadidah (Wanita Modern) dan Tahrir al Mar’at (Emansipasi Wanita) bahwa tidak
ada perbedaan hakiki antara pria dan wanita. Perbedaan yang ada di antara
mereka hanyalah perbedaan jenis. Kalaupun sejarah mencatat bahwa laki-laki
dapat mengungguli wanita dalam mengembangkan kekuatan akal dan badaniahnya, itu
hanya karena laki-laki telah bekerja dan mengoptimalkan pikiran dalam periode
yang panjang ketika wanita tidak dibenarkan melakukan pekerjaan yang lazim
dilakukan laki-laki.
Demikianlah
sebagian fakta yang terjadi di tengah masyarakat –khususnya pada dekade
terakhir ini-, tetapi bagaimana tinjauan agama utamanya hadis Rasulullah
melihat konsep persamaan jender tersebut.
Memang
Islam telah memuliakan kedudukan dan derajat wanita bahkan dalam beberapa ayat
dan hadis terdapat indikasi bahwa wanita lebih mulia dari laki-laki. Di
antaranya QS. Al Zumar ; 6, atau hadis-hadis Nabi yang berbicara mengenai
perbandingan ayah dan ibu bagi seorang anak untuk berbakti kepadanya, atau
pernyataan Nabi bahwa surge berada di telapak kaki ibu. Akan tetapi Islam juga
mengakui bahwa laki-laki dan wanita memiliki perbedaan –plus mines- di antara
keduanya, sehingga keinginan untuk mempersamakan mereka dalam segala aspek
kehidupan adalah sesuatu yang tidak mungkin tercapai disebabkan banyak
perbedaan tersebut baik dari segi kodratinya maupun dari segi syar’inya.
Bahkan
dengan adanya perbedaan dari kedua segi tersebut sehingga Rasulullah sangat
melaknat المتشبه baik laki-laki maupun wanita. Hal itu disebabkan oleh adanya
keinginan untuk merusak dan menghancurkan perbedaan-perbedaan tersebut di mana
hal tersebut tidak bisa berubah. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Abu
Syaibah dari Hasan ra. :
لعن من الرجال المتشبه بالنساء ولعن من
النساء المتشبهة المترجلة
“Rasulullah
melaknat lakai-laki yang menyerupai wanita demikian pula wanita yang bertingkah
laku seperti laki-laki”.
Pada
dasarnya hadis di atas berbicara mengenai penyamaan dalam aspek bentuk tubuh,
akan tetapi setidaknya ia menunjukkan bahwa tidak mungkin menyamakan kedua
jenis tersebut. Itulah sebabnya istri Imran ketika mengalami kesulitan ketika
melahirkan Maryam –ibunda nabi Isa as.- mengatakan : رب اني وضعتها أنثى والله أعلم
بما وضعت وليس الذكر كالأنثى “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku melahirkannya seorang
anak perempuan dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu, dan anak
laki-laki tidaklah seperti anak perempuan”. Imam al Razi pun menafsirkan
kalimat وليس الذكر كالأنثى sebagai bukti kemuliaan laki-laki dibandingkan dengan
perempuan disebabkan banyak faktor.
Bila
dilihat sepintas lalu, tampaknya Islam adalah agama yang mendiskriminasikan
seorang wanita karena banyaknya batasan dan perbedaannya dengan laki-laki. Akan
tetapi bila dikaji lebih jauh maka akan tampak bahwa Islam sebenarnya ingin
memposisikan seseorang (laki-laki dan wanita) sesuai dengan posisi mereka,
yaitu posisi yang memberikan hak-hak wanita sebagaimana juga member hak-hak
laki-laki secara proporsional. Di samping itu, keduan gender tersebut dituntut
agar melakukan kewajiban masing-masing dengan benar. Dan tidak ada pertentangan
di antara mereka.
Dalam
sejarah Islam, jelas bahwa wanita telah memberikan sumbangannya –yang tidak
jauh berbeda dengan sumbangsi kaum pria- dalam proses pembangunan dan
pengayaan kebudayaan Islam. Wanita –khususnya muslimah- telah menikmati
hak dan status yang sama dengan laki-laki dalam hidupnya (sebagai istri).
Meskipun demikian, fungsi-fungsi wanita dalam bidang pekerjaan, secara umum
berbeda sifat dan ruang lingkupnya. Perbedaan tersebut disebabkan oleh
keterbatasan mereka dan perbedaannya dengan laki-laki, baik dari segi fisik,
pisiologi, psikologi maupun emosi.
Untuk
hal ini perlu diingat bahwa ketidaksamaan dan ketidakseragaman dalam bidang
pekerjaan dan fungsi-fungsi antara laki-laki dan wanita itu tidak berarti
mencerminkan adanya superioritas yang disebabkan oleh jenis kelamin. Hal itu
hanyalah sebagai pembagian kerja di antara mereka berdasarkan tabi’at dan
kemampuan masing-masing. Itu semua dimaksudkan sebagai upaya mengaktualisasikan
potensi peradaban masyarakat, menyumbangkan kemampuan kreatifnya dalam
bidangnya massing-masing, baik yang bersifat material maupun spiritual.
Perbedaan
yng dimaksud antara laki-laki dan wanita bukanlah perbedaan yang menyebabkan
wanita harus tinggal dirumah, wanita tidak perlu belajar kecuali sekedar
menghilangkan buta huruf saja. Tetapi –sekali lagi- perbedaan tersebut adalah
sarana untuk menciptakan keragaman yang penuh kebersamaan dalam masyarakat.
Itulah sebabnya dalam persoalan taklif keberagamaan laki-laki dan wanita
memiliki tanggung jawab yang sama tanpa ada pengecualian pada keduanya.
Sedangkan pada persoalan lain, wanita tetap memiliki kesempatan sesuia dengan
kedudukannya sebagai makhluk yang dimuliakan. Sebagai contoh, kewajiban menuntut
ilmu bukan hanya ditujukan kepada kaum adam semata namun juga mengarah ke kaum
Hawa, sebagaimana sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah :
طلب العلم فريضة على كل مسلم
“Menuntut
ilmu adalah wajib bagi seluruh umat Islam”
Sebenarnya
bila berbicara mengenai persamaan gender –utamanya status wanita- maka perlu
ditinjau dari posisi wanita baik sebagai seorang hamba, sebaga seorang ibu,
seorang anak, dan sebagai anggota masyarakat. Tetapi dalam makalah ini penulis
tidak menyebutkan secara rinci, namun yang pasti Islam –termasuk sunnah Nabi-
telah menempatkan serta memberi keseempatan kepada setiap manusia (laki-laki
maupun perempuan) sesuai dengan kedudukan dan posisinya masing-masing.
Karena
itulah dapat diimpulkan bahwa seseorang termasuk wanita tidak boleh
meninggalkan tanggung jawab dan fungsi utamanya sebagai seorang manusia
(wanita) baik dalam pengertiannya ukhtun, bintun,
zaujah maupun Ummun. Dengan demikian diharapkan wanita muslim
dapat melaksanakan hal-hal berikut ;
Konsentrasi
pada posisi sentralnya; a) sebagai ibu rumah tangga dan partner suaminya
(zaujah), b) mendidik dan mengajar anak-anaknya dengan terlebih dahulu ia harus
terdidik dan terpelajar.
Bekerja
sama dengan suaminya dengan mengangkat salah seorang dari mereka sebagai kepala
rumah tangga.
Bebas
berkarier di luar rumahnya sehingga dapat bergaul dengan lain jenis dengan
tetap berpegang pada aturan Allah dan Rasul-Nya.
F. Kepemimpinana Wanita
حَدَّثَنَا
عُثْمَانُ بْنُ الْهَيْثَمِ حَدَّثَنَا عَوْفٌ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ أَبِي بَكْرَةَ
قَالَ لَقَدْ نَفَعَنِي اللَّهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَّامَ الْجَمَلِ بَعْدَ
مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ قَالَ لَمَّا
بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ
مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ
امْرَأَةً
Artinya
:
Dari
Bakrah diriwayatkan bahwa ketika Nabi mendengar bahwasanya Kaisar Persia
diganti dengan perempuan maka Nabi bersabda: “Tidak akan sukses suatu kaum yang
dipimpin oleh perempuan”
G.
Kesimpulan
Dari
uraian-uraian di atas yang berbicara mengenai gender dalam perspektif hadis
Nabi, maka dapat disimpulkan sebagai berikut ;
Wanita
sebelum datangnya Islam bagaikan makhluk aneh yang siap menyebarkan virus
kehinaan di tengah peradaban masyarakat utamanya kaum lelaki ataukah mereka
hanya dianggap sebagai mesin penhibur yang dapat diatur dan diperintah sesuai
kemauan sang mulia (laki-laki). Akan tetapi ketika Islam datang dengan membawa
al Qur’an dan sabda Nabi-Nya maka wanita mendapatkan tempat yang layak,
kedudukannya diangkat sebagaimana mestinya menjadi makhluk yan dimuliakan tanpa
ada perbedaan dengan laki-laki. Mereka sama di mata Tuhan dan agama. Karena
setiap orang –termasuk wanita- perlu menjaga kedudukan tersebut jangan sampai
kedudukan yang tinggi tidak dapat diraih bukan karena tidak ada anugerah Tuhan
tetapi karena mereka sendiri menolak pemberian Tuhan dengan menyalahi
aturan-aturan keagamaan yan ada.
Laki-laki
dan wanita adalah dua makhluk yang memiliki perbedaan, dan perbedaan tersebut
sulit untuk disamakan namun bukan berarti tidak bisa disatukan. Sehingga
menyamakan peran dan kerja kedua makhluk tersebut adalah sesuatu yang sulit
bahkan “mungkin” mustahil, tetapi menyatukannya dalam artian melaksanakan
tanggung jawab dan fungsi sebagaimana kodrat masing-masing adalah sebuah
kemestian. Sehingga Islam –termasuk al Sunnah- menilai persamaan gender adalah
sebuah kesulitan namun kerja sama di antara kedua gender tersebut adalah sebuah
keharusan untuk menciptakan keragaman penuh kebersamaan dalam masyarakat dan
memang itulah yang menjadi tanggung jawab dua orang bersaudara, al Nisa’
Syaqaiq al Rijal.

No comments:
Post a Comment