NAMA : BROJO HERMANT
JURUSAN :
FILSAFAT AGAMA
MATAKULIAH :FILSAFAT PENDIDIKAN
TUGAS : RESUME
1.
PENGERTIAN DAN
RUANG LINGKUP FILSAFAT PENDIDIKAN
a.
Pengertian
Filsafat pendidikan Islam
Secara harfiah, kata filsafat berasal dari
kata Philo yang berarti cinta, dan kata Sophos yang berarti ilmu atau hikmah.
Dengan demikian, filsafat berarti cinta cinta terhadap ilmu atau hikmah.
Terhadap pengertian seperti ini al-Syaibani mengatakan bahwa filsafat bukanlah
hikmah itu sendiri, melainkan cinta terhadap hikmah dan berusaha
mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya dan menciptakan sikap positif
terhadapnya. Selanjutnya ia menambahkan bahwa filsafat dapat pula berarti
mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat, dan berusaha
menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia.
Selain
itu terdapat pula teori lain yang mengatakan bahwa filsafat berasal dari kata
Arab falsafah, yang berasal dari bahasa Yunani, Philosophia: philos berarti cinta,
suka (loving), dan sophia yang berarti pengetahuan, hikmah (wisdom). Jadi,
Philosophia berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran atau
lazimnya disebut Pholosopher yang dalam bahasa Arab disebut failasuf.
Sementara
itu, A. Hanafi, M.A. mengatakan bahwa pengertian filsafat telah mengalami
perubahan-perubahan sepanjang masanya. Pitagoras (481-411 SM), yang dikenal
sebagai orang yang pertama yang menggunakan perkataan tersebut. Dari beberapa
kutipan di atas dapat diketahui bahwa pengertian fisafat dar segi kebahsan atau
semantik adalah cinta terhadap pengetahuan atau kebijaksanaan. Dengan demikian
filsafat adalah suatu kegiatan atau aktivitas yang menempatkan pengetahuan atau
kebikasanaan sebagai sasaran utamanya.
Filsafat
juga memilki pengertian dari segi istilah atau kesepakatan yang lazim digunakan
oleh para ahli, atau pengertian dari segi praktis. Selanjutnya bagaimanakah
pandangan para ahli mengenai pendidikan dalam arti yang lazim digunakan dalam
praktek pendidikan.Dalam hubungan ini dijumpai berbagai rumusan yang
berbeda-beda.
Ahmad
D. Marimba, misalnya mengatakan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan
secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si -
terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Berdasarkan rumusannya
ini, Marimba menyebutkan ada lima unsur utama dalam pendidikan, yaitu
1) Usaha (kegiatan) yang bersifat bimbingan,
pimpinan atau pertolongan yang dilakukan secara sadar.
2) Ada pendidik, pembimbing atau penolong.
3) Ada yang di didik atau si terdidik.
4)
Adanya dasar dan tujuan dalam bimbingan tersebut, dan
5) Dalam usaha tentu ada alat-alat yang
dipergunakan.
Sebagai
suatu agama, Islam memiliki ajaran yang diakui lebih sempurna dan kompherhensif
dibandingkan dengan agama-agama lainnya yang pernah diturunkan Tuhan
sebelumnya. Sebagai agama yang paling sempurna ia dipersiapkan untuk menjadi
pedoman hidup sepanjang zaman atau hingga hari akhir. Islam tidak hanya
mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di akhirat, ibadah dan penyerahan
diri kepada Allah saja, melainkan juga mengatur cara mendapatkan kebahagiaan
hidup di dunia termasuk di dalamnya mengatur masalah pendidikan. Sumber untuk
mengatur masalah pendidikan. Sumber untuk mengatur kehidupan dunia dan akhirat tersebut
adalah al Qur’an dan al Sunnah.
Sebagai
sumber ajaran, al Qur’an sebagaimana telah dibuktikan oleh para peneliti
ternyata menaruh perhatian yang besar terhadap masalah pendidikan dan
pengajaran. Demikian pula dengan al Hadist, sebagai sumber ajaran Islam, di
akui memberikan perhatian yang amat besar terhadap masalah pendidikan. Nabi
Muhammad SAW, telah mencanangkan program pendidikan seumur hidup ( long life
education ).
Dari
uraian diatas, terlihat bahwa Islam sebagai agama yang ajaran-ajarannya bersumber
pada al- Qur’an dan al Hadist sejak awal telah menancapkan revolusi di bidang
pendidikan dan pengajaran. Langkah yang ditempuh al Qur’an ini ternyata amat
strategis dalam upaya mengangkat martabat kehidupan manusia. Kini di akui
dengan jelas bahwa pendidikan merupakan jembatan yang menyeberangkan orang dari
keterbelakangan menuju kemajuan, dan dari kehinaan menuju kemuliaan, serta dari
ketertindasan menjadi
“
Dan demikian kami wahyukan kepadamu wahyu (al Qur’an) dengan perintah kami.
Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah iman itu, tetapi kami menjadikan al
Qur’an itu cahaya yang kami kehendaki diantara hamba-hamba kami. Dan
sesungguhnya kamu benar-benarbenar memberi petunjuk kepada jalan yang benar
(QS.Asy-Syura: 52)”
Dan Hadis dari Nabi SAW : “ Sesungguhnya
orang mu’min yang paling dicintai oleh Allah ialah orang yang senantiasa tegak
taat kepada-Nya dan memberikan nasihat kepada hamba-Nya, sempurna akal
pikirannya, serta mengamalkan ajaran-Nya selama hayatnya, maka beruntung dan
memperoleh kemenangan ia” (al Ghazali, Ihya Ulumuddin hal. 90)”
Dari ayat dan hadis di atas tadi dapat diambil
kesimpulan :
1.
Bahwa al Qur’an diturunkan kepada umat manusia untuk memberi petunjuk kearah
jalan hidup yang lurus dalam arti memberi bimbingan dan petunjuk kearah jalan
yang diridloi Allah SWT.
2.
Menurut Hadist Nabi, bahwa diantara sifat orang mukmin ialah saling menasihati
untuk mengamalkan ajaran Allah, yang dapat diformulasikan sebagai usaha atau
dalam bentuk pendidikan Islam.
3. Al Qur’an dan Hadist tersebut menerangkan
bahwa nabi adalah benar-benar pemberi petunjuk kepada jalan yang lurus,
sehingga beliau memerintahkan kepada umatnya agar saling memberi petunjuk,
memberikan bimbingan, penyuluhan, dan pendidikan Islam. Bagi umat Islam maka
dasar agama Islam merupakan fondasi utama keharusan berlangsungnya pendidikan.
Karena ajaran Islam bersifat universal yang kandungannya sudah tercakup seluruh
aspek kehidupan ini. Pendidikan dalam arti umum mencakup segala usaha dan
perbuatan dari generasi tua untuk mengalihkan pengalamannya, pengetahuannya,
kecakapannya, serta keterampilannya kepada generasi muda untuk memungkinkannya
melakukan fungsi hidupnya dalam pergaulan bersama, dengan sebaik-baiknya.
Corak
pendidikan itu erat hubungannya dengan corak penghidupan, karenanya jika corak
penghidupan itu berubah, berubah pulalah corak pendidikannya, agar si anak siap
untuk memasuki lapangan penghidupan itu. Pendidikan itu memang suatu usaha yang
sangat sulit dan rumit, dan memakan waktu yang cukup banyak dan lama, terutama
sekali dimasa modern dewasa ini. Pendidikan menghendaki berbagai macam teori
dan pemikiran dari para ahli pendidik dan juga ahli dari filsafat, guna
melancarkan jalan dan memudahkan cara-cara bagi para guru dan pendidik dalam
menyampaikan ilmu pengetahuan dan pengajaran kepada para peserta didik. Kalau
teori pendidikan hanyalah semata-mata teknologi, dia harus meneliti
asumsi-asumsi utama tentang sifat manusia dan masyarakat yang menjadi landasan
praktek pendidikan yang melaksanakan studi seperti itu sampai batas tersebut
bersifat dan mengandung unsur filsafat. Memang ada resiko yang mungkin timbul
dari setiap dua tendensi itu, teknologi mungkin terjerumus, tanpa dipikirkan
buat memperoleh beberapa hasil konkrit yang telah dipertimbangkan sebelumnya
didalam sistem pendidikan, hanya untuk membuktikan bahwa mereka dapat
menyempurnakan suatu hasil dengan sukses, yang ada pada hakikatnya belum
dipertimbangkan dengan hati-hati sebelumnya.
Sedangkan para ahli filsafat pendidikan,
sebaiknya mungkin tersesat dalam abstraksi yang tinggi yang penuh dengan debat
tiada berkeputusan,akan tetapi tanpa adanya gagasan jelas buat menyelesaikan
pekerjaan-pekerjaan yang ideal. Tidak ada satupun dari permasalahan kita
mendesak dapat dipecahkan dengan cepat atau dengan mengulang-ulang dengan gigih
kata-kata yang hampa. Tidak dapat dihindari, bahwa orang-orang yang
memperdapatkan masalah ini, apabila mereka terus berpikir,yang lebih baik
daripada mengadakan reaksi, mereka tentu akan menyadari bahwa mereka itu telah
membicarakan masalah yang sangat mendasar. Sebagai ajaran (doktrin) Islam
mengandung sistem nilai diatas mana proses pendidikan Islam berlangsung dan
dikembangkan secara konsisten menuju tujuannya.
Sejalan
dengan pemikiran ilmiah dan filosofis dari pemikir-pemikir sesepuh muslim, maka
sistem nilai-nilai itu kemudian dijadikan dasar bangunan (struktur) pendidikan
islam yang memiliki daya lentur normatif menurut kebutuhan dan kemajuan.
Pendidikan
Islam mengidentifikasi sasarannya yang digali dari sumber ajarannya yaitu Al
Quran dan Hadist, meliputi empat pengembangan fungsi manusia :
1. Menyadarkan secara individual pada posisi
dan fungsinya ditengah-tengah makhluk lain serta tanggung jawab dalam
kehidupannya.
2.
Menyadarkan fungsi manusia dalam hubungannya dengan masyarakat, serta tanggung
jawabnya terhadap ketertiban masyarakatnya.
3.
Menyadarkan manusia terhadap pencipta alam dan mendorongnya untuk beribadah
kepada Nya Menyadarkan manusia tentang kedudukannya terhadap makhluk lain dan
membawanya agar memahami hikmah tuhan menciptakan makhluk lain, serta
memberikan kemungkinan kepada manusia untuk mengambil manfaatnya Setelah
mengikuti uraian diatas kiranya dapat diketahui bahwa Filsafat Pendidikan Islam
itu merupakan suatu kajian secara filosofis mengenai masalah yang terdapat
dalam kegiatan pendidikan yang didasarkan pada al Qur’an dan al Hadist sebagai
sumber primer, dan pendapat para ahli, khususnya para filosof Muslim, sebagai
sumber sekunder. Dengan demikian, filsafat pendidikan Islam secara singkat
dapat dikatakan adalah filsafat pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam atau
filsafat pendidikan yang dijiwai oleh ajaran Islam, jadi ia bukan filsafat yang
bercorak liberal, bebas, tanpa batas etika sebagaimana dijumpai dalam pemikiran
filsafat pada umumnya.
b.
Ruang
Lingkup Filsafat Pendidikan Islam
Penjelasan
mengenai ruang lingkup ini mengandung indikasi bahwa filsafat pendidikan Islam
telah diakui sebagai sebuah disiplin ilmu. Hal ini dapat dilihat dari adanya
beberapa sumber bacaan, khususnya buku yang menginformasikan hasil penelitian
tentang filsafat pendidikan Islam. Sebagai sebuah disiplin ilmu, mau tidak mau
filsafat pendidikan Islam harus menunjukkan dengan jelas mengenai bidang
kajiannya atau cakupan pembahasannya.
Muzayyin Arifin menyatakan bahwa mempelajari
filsafat pendidikan Islam berarti memasuki arena pemikiran yang mendasar,
sistematik. Logis, dan menyeluruh (universal) tentang pendidikan, ysng tidak
hanya dilatarbelakangi oleh pengetahuan agama Islam saja, melainkan menuntut
kita untuk mempelajari ilmu-ilmu lain yang relevan. Pendapat ini memberi
petunjuk bahwa ruang lingkup filsafat Pendidikan Islam adalah masalah-masalah
yang terdapat dalam kegiatan pendidikan, seperti masalah tujuan pendidikan,
masalah guru, kurikulum, metode, dan lingkungan.
c.
Kegunaan
Filsafat Pendidikan Islam
Prof.
Mohammad Athiyah abrosyi dalam kajiannya tentang pendidikan Islam telah
menyimpulkan 5 tujuan yang asasi bagi pendidikan Islam yang diuraikan dalam “ At
Tarbiyah Al Islamiyah Wa Falsafatuha “ yaitu :
1. Untuk membantu pembentukan akhlak yang
mulia. Islam menetapkan bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam.
2.
Persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Pendidikan Islam tidak
hanya menaruh perhatian pada segi keagamaan saja dan tidak hanya dari segi
keduniaan saja, tetapi dia menaruh perhatian kepada keduanya sekaligus.
3. Menumbuhkan ruh ilmiah pada pelajaran dan
memuaskan untuk mengetahui dan memungkinkan ia mengkaji ilmu bukan sekedar
sebagai ilmu. Dan juga agar menumbuhkan minat pada sains, sastra, kesenian,
dalam berbagai jenisnya.
4.
Menyiapkan pelajar dari segi profesional, teknis, dan perusahaan supaya ia
dapat mengusai profesi tertentu, teknis tertentu dan perusahaan tertentu,
supaya dapat ia mencari rezeki dalam hidup dengan mulia di samping memelihara
dari segi kerohanian dan keagamaan.
5.
Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan.
Pendidikan Islam tidaklah semuanya bersifat agama atau akhlak, atau sprituil
semata-mata, tetapi menaruh perhatian pada segi-segi kemanfaatan pada
tujuan-tujuan, kurikulum, dan aktivitasnya. Tidak lah tercapai kesempurnaan
manusia tanpa memadukan antara agama dan ilmu pengetahuan.
2.
TUHAN, MANUSIA
DAN ALAM DALAM PERSEPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN
Pemikiran
filsafat mencakup ruang lingkup yang berskala makro yaitu: kosmologi, ontology,
philosophy of mind, epistimologi, dan aksiologi. Untuk melihat bagaimana
sesungguhnya manusia dalam pandangan filsafat pendidikan, maka setidaknya
karena manusia merupakan bagian dari alam semesta (kosmos). Berangkat dari
situ dapat kita ketahui bahwa manusia adalah ciptaan Allah yang pada hakekatnya
sebagai abdi penciptanya (ontology). Agar bisa menempatkan dirinya sebagai
pengapdi yang setia, maka manusia diberi anugerah berbagai potensi baik
jasmani, rohani, dan ruh (philosophy of mind). Sedangkan pertumbuhan serta
perkembangan manusia dalam hal memperoleh pengetahuan itu berlajan secara
berjenjang dan bertahap (proses) melalui pengembangan potensinya,
pengalaman dengan lingkungan serta bimbingan, didikan dari Tuhan
(epistimologi), oleh karena itu hubungan antara alam lingkungan, manusia, semua
makhluk ciptaan Allah dan hubungan dengan Allah sebagai pencita seluruh alam
raya itu harus berjalan bersama dan tidak bisa dipisahkan. Adapun manusia
sebagai makhluk dalam usaha meningkatkan kualitas sumber daya insaninya itu,
manusia diikat oleh nilai-nilai illahi (aksiologi), sehingga dalam
pandangan FPI, manusia merupakan makhluk alternatif (dapat memilih), tetapi
ditawarkan padanya pilihan yang terbaik yakni nilai illahiyat. Dari sini dapat
kita simpulkan bahwa manusia itu makhluk alternatif (bebas) tetapi
sekaligus terikat (tidak bebas nilai).
Manusia
adalah subyek pendidikan, sekaligus juga obyek pendidikan. manusia dewasa
yang berkebudayaan adalah subyek pendidikan yang berarti
bertanggung jawab menyelenggareakan pendidikan. mereka berkewajiban secara
moral atas perkembangan probadi anak-anak mereka, yang notabene adalah generasi
peneruis mereka. manusia dewasa yang berkebudayaaan terutama yang
berfrofesin keguruan (pendidikan) bertanggung jawab secara formal untuk
melaksanakan misi pendidikan sesuai dengan tujuan dan nilai-nilai yang
dikehendaki ,asyarakan bengsa itu.
Manusia
yang belum dewasa, dalam proses perkembangan kepribadiannya, baik menuju
pembudayaan maupun proses kematangan dan intregitas, adalah obyek pendidikan.
Artinya mereka adalah sasaran atau bahan yang dibina. Meskipun kita
sadarai bahwa perkembangan kepribadian adalah self
development melalui self actifities, jadi sebagai subjek yang
sadar mengembangkan diri sendiri.
Alam
semesta adalah media pendidikan sekaligus sebagai sarana yang digunakan oleh
menusia untuk melangsungkan proses pendidikan. Didalam alam semesta ini manusia
tidak dapat hidup dan “mandiri” dengan sesungguhnya. Karena antara
manusia dan alam semesta saling membutuhkan dan saling melengkapi antara satu
dengan yang lainnya. Dimana alam semesta ini butuh manusia untuk merawat dan
memeliharanya sedangkan manusia butuh alam semesta sebagai sarana berinteraksi
dengan manusia lainnya.
Proses
pendidikan yang berlangsung didalam antar aksi yangh pruralistis (antara subjek
dengan lingkungan alamiah, sosial dan cultural) amat ditentukan oleh aspek
manusianya. Sebab kedudukan manusia sebagai subyek didalam masyarakat, bahkan
didalam alam semesta, memberikan konsekuensi tanggung jawab yang besar bagi
diri manusia. Manusia mengembang amanat untuk membimbing masyarakat, memelihara
alam lingkungan hidup bersama. bahkan manusia terutama bertanggung jawab atas
martabat kemanusiaannyu (human dignity).
Sejarah
usaha manusia untuk mengerti dirinya sendiri, kepribadian manusia, sudah ada
sejak ilmu pengetahuan itu ada. Ilmu jiwa (Psikologi) yang mula-mula sebaga
ilmu jiwa metafisika adalah salah satu usaha tersebut. Makin mendalam manusia
menyelidiki kepribadiannya, makin banyak problemanya yang timbul serta makin
banyak rahasia yang minta jawaban. Karena manusia adalah mahluk yang unik dan
penuh misteri dan rahasia.
Manusia
sebagai subyek dihadapkan kepada fenomena baru dalam kesadarannya, yakni
menghadapi problem yang jauh lebih sulit dari pada problem-problem sebelumnya.
manusia mulai bertanya, siapakah atau apakah aku ini sebenarnya. Manusia
sebagai subyek menjadikan dirinya sendiri (pribadi dan keutuhan) sebagai obyek
yang menuntut pengertian, pengetahuan atau pemahaman. “Kenalilah dirimu” adalah
kata-kata klasik yang tetap mengandung makna yang ideal, khususnya amat
bersifat pedagogis disamping bernilai filosofis. Sedemikian jauh manusia masih
belum yakin bahwa ia telah mengenali dirinya sendiri. Bahkan makin dalam ia
menyelami dan memahami kepribadiannya, makin sukar ia mengerti identitasnya. Apa
yang ia mengerti tentang kepribadiannya makin ia sadari sebagai suatu
asumsi yang amat “dangkal’ dan relatif, bahkan juga amat subjektif.
Untuk
mengerti dan mengenali diri sendiri manusia dengan jujur mengakui
kesukaran-kesukarannya, apa yang ia akui sebagai pengertian hanyalah suatu
kesimpulan yang masih kabur dan belum representatif. Dari kenyataan ini manusia
berkesimpulan pula bahwa jauh lebih amat sulit untuk mengerti dan
memahami kepribadian orang lain.
Perwujudan
kepribadian seseorang nampak dalam keseluruhan pribadi manusia dalam antar
hubungan dan antar aksinya dengan lingkungan hidupnya. Penafsiran kita tentang
tingkah laku belum menjamin pengertian kita tentang kepribadian manusia. Karena
itu, realita demikian amat jauh dari sempurnaan. Tetapi usaha untuk mengerti
dan memahami manusia ini jauh lebih baik daripada pengertian dan kesimpulan-
kesimpulan yang kita miliki tentang manusia. Apa yang kita simpulkan sebagai
pengertian itu lebih bersifat statis, sedangkan usaha untuk mengerti manusia
secara aktif dan terus-menerus didalam antar hubungan dan antar aksi
sesama itu bersifat dinamis. Asas dinamis ini merupakan essensi watak manusia,
yang terus berkembang, bertumbuh dan menuju integritas kepribadiannya.
Demikian pula kita tentang seseorang, tentang kepribadiannya selalu berkembang.
itulah sebabnya dikatakan “Tak kenal maka tak cinta”. Bahkan “Cinta itu tumbuh
dari sebuah pengenalah”. Artinya makin kita mengenalnya, makin kita
memahami kepribadiannya yang positif makin pula kita mencintainya. Implikasi
pandangan ini adalah jagan tergesa-gesa menjauhi atau membenci seseorang,
karena kita belum mengenal seorang itu. Bahkan sesungguhnya, adalah kewajiban
kita untuk mengerti tingkah laku, kepribadian seseorang didalam antar
hubungan dan antar aksi sosial. Dan sesuai dengan asas –asas nilai demokrasi
kita wajib menghormati martabat pribadi orang lain. Prinsip self
respect, menghormati pribadi orang lain merupakan pangkal untuk mengormati
diri sendniri. Artinya usaha untuk dihormati, hormati lebih dahulu orang lain.
3.
METODE STUDI
DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
a.
Pengertian
Metode Pendidikan Islam
Dalam
bab ini kita akan membahas tentang pengertian Metode Pendidikan Islam. Dimana
setiap kata akan kita bahas satu persatu yaitu: metode, Pendidikan, Pendidikan
Islam, Metode Pendidikan, Dan metode Pendidikan Islam. Tujuannya agar pembaca
lebih memahami secara mendalam tentang Metode Pendidikan Islam ini.
b.
Pengertian
Metode
Secara
literal metode berasal dari bahasa Greek (Yunani) yang terdiri dari
dua kosa kata, yaitu “meta” yang berarti melalui
dan “hodos” yang berarti jalan. Sedangkan pengertian menurut istilah
metode adalah cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah
disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah disusun tercapai secara
optimal.
Dalam
Bahasa Arab metode dikenal dengan istilah thariqah yang berarti
langkah-langkah strategis yang harus dipersiapkan untuk melakukan suatu
pekerjaan. Sedangkan dalam bahasa Inggris metode disebut method yang
berarti cara dalam bahasa Indonesia.
Mohammad
Athiyah al-Abrasy mendefinisikan metode sebagai jalan yang kita ikuti memberi
paham kepada murid-murid dalam segala macam pelajaran, dalam segala mata
pelajaran. Metode adalah rencana yang kita buat untuk diri kita sebelum kita
memasuki kelas, dan kita terapkan dalam kelas selama kita mengajar dalam kelas
itu. Kemudian Prof. Abd al-Rahim Ghunaimah menyebut metode sebagai cara-cara
yang diikuti oleh guru untuk menyampaikan sesuatu kepada anak didik. Adapun
Adgar Bruce Wesley mendefinisikan metode sebagai kegiatan yang terarah bagi
guru yang menyebabkan terjadinya proses belajar mengajar, hingga pengajaran
menjadi berkesan.
Dalam pandangan filosofis pendidikan,
metode merupakan alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan pendidikan. Alat
itu mempunyai sifat ganda, yaitu bersifat polipragmatis dan monopragmatis.
Polipragmatis, bilamana metode itu mengandung kegunaan yang serba
ganda (multipurpoce). Misalnya, suatu metode tertentu pada suatu
situasi dan kondisi tertentu dapat dipergunakan untuk merusak, dan pada situasi
dan kondisi yang lain dapat dipergunakan untuk memperbaiki dan membangun.
Contohnya, penggunaan video cassete recorder (VRC) untuk merekam semua jenis
film, baik fornografis maupun yang moralis, yang hal itu bila dipergunakan sebagai
media pembelajaran, maka sasarannya dapat merusak disamping dapat memperbaiki
atau membangun. Monopragmatis adalah alat yang hanya dapat dipergunakan untuk
mencapai satu macam tujuan. Misalnya, laboratorium ilmu alam, hanya dapat
dipergunakan untuk eksperimen-eksperimen bidang ilmu alam, tidak dapat
dipergunakan untuk eksperimen bidang ilmu lain.
c.
Pengertian
Pendidikan Islam
Setelah kita
membahas tentang metode, selanjutnya kita akan membahas tentang pendidikan
Islam. Tetapi terlebih dahulu kita akan membahas tentang pendidikan. Banyak
para pakar pendidikan yang mendefinisikan pendidikan secara berbeda-beda tetapi
pada intinya sama.
Beberapa ahli
pendidikan di Barat yang memberikan arti pendidikan sebagai proses antara lain:
Menurut Mortimer J. Adler mengartikan pendidikan adalah proses dengan mana
semua kemampuan manusia (bakat dan kemampuan yang diperoleh) yang dapat
dipengaruhi oleh pembiasaan, disempurnakan dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik
melalui sarana yang secara artistik dibuat dan dipakai oleh siapapun untuk
membantu orang lain atau dirinya sendiri mencapai tujuan yang ditetapkan yaitu
kebiasaan yang baik.
Menurut Prof.
Sugarda Purbakawaca, dalam "Ensiklopedi Pendidikan"nya, memberikan
pengertian pendidikan, sebagai berikut: "Pendidikan dalam arti luas
meliputi semua perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk mengalihkan
pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya serta ketrampilannya (orang
menamakan ini juga "mengalihkan" kebudayaan, dalam bahasa Belanda:
Cultuurover dracht) kepada generasi muda sebagai usaha menyiapkannya agar dapat
memenuhi fungsi hidupnya baik jasmani maupun rohani."
Setelah
membahas Pendidikan selanjutnya kita akan memaparkan tentang pendidikan Islam.
Berikut ini adalah beberapa pengertian Pendidikan Islam secara terminologi yang
diformulasikan oleh para ahli Pendidikan Islam, diantaranya adalah:
a. Menurut Al-Syaibaniy
mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah proses mengubah tingkah laku
individu peserta didik pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya.
Proses tersebut dilakukan dengan cara pendidikan dan pengajaran sebagai suatu
aktifitas asasi dan profesi diantara sekian banyak profesi asasi dalam
masyarakat.
b. Menurut
Muhammad Fadhil al-Jamaly, mendefinisikan pendidikan Islam sebagai upaya
mengembangkan, mendorong serta mengajak peserta didik hidup lebih dinamis
dengan berdasarkan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia. Dengan
proses tersebut, diharapkan bisa membentuk pribadi peserta didik yang lebih
sempurna, baik yang berkaitan dengan potensi akal, perasaan, maupun
perbuatannya.
c. Ahmad
D. Marimba mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan atau pimpinan
secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta
didik menuju terbentuknya kepribadiannya yang utama (insan kamil).
d. Ahmad
Tafsir mendefinisikan Pendidikan Islam sebagai bimbingan yang diberikan oleh
seseorang, agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam.
Dari
batasan diatas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah suatu sistem
yang memungkinkan seseorang (peserta didik) dapat mengarahkan kehidupannya
sesuai dengan ideologi Islam. Melalui pendekatan ini, ia akan dapat dengan
mudah membentuk kehidupan dirinya sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam yang
diyakininya.
d. Metode Pendidikan Islam
Dari
beberapa pengertian yang diformulasikan oleh para pakar diatas tentang
pengertian Metode dan Pendidikan Islam. Kita dapat menyimpulkan tentang
pengertian Metode Pendidikan. Seperti yang dikemukakan oleh al-Syaibaniy yaitu,
segala segi kegiatan yang terarah yang dikerjakan oleh guru dalam rangka
kemestian-kemestian mata pelajaran yang diajarkannya, ciri-ciri perkembangan
peserta didiknya, dan suasana alam sekitarnya dan tujuan membimbing peserta
didik untuk mencapai proses belajar yang diinginkan dan perubahan yang
dikehendaki pada tingkah laku mereka.
Ahmad Tafsir
secara umum membatasi bahwa metode pendidikan adalah semua cara yang digunakan
dalam upaya mendidik. Kemudian Abdul Munir Mulkan, mengemukakan bahwa metode
Pendidikan adalah suatu cara yang dipergunakan untuk menyampaikan atau
mentransformasikan isi atau bahan pendidikan kepada anak didik.
Selanjutnya jika
kata metode tersebut dikaitkan dengan pendidikan Islam, dapat membawa arti
sebagai jalan untuk menanamkan pengetahuan agama pada diri seseorang sehingga
dapat terlihat dalam pribadi objek sasaran, yaitu pribadi Islami. Selain
itu metode pendidikan Islam dapat diartikan sebagai cara untuk memahami,
manggali, dan mengembangkan ajaran Islam, sehingga terus berkembang sesuai dengan
perkembangan zaman.
e.
Asas-asas Umum
Metode Pendidikan Islam
Dalam
penerapannya, metode pendidikan Islam menyangkut permasalahan individual atau
social peserta didik dan pendidik itu sendiri. Untuk itu dalam menggunakan
metode seorang pendidik harus memperhatikan dasar-dasar umum metode
pendidikan Islam. Sebab metode pendidikan merupakan sarana atau jalan menuju
tujuan pendidikan, sehingga segala jalan yang ditempuh oleh seorang pendidik
haruslah mengacu pada asas-asas/dasar-dasar metode pendidikan tersebut. Asas
metode pendidikan Islam itu diantaranya adalah:
1.
Asas
Agamis, maksudnya bahwa metode yang digunakan dalam pendidikan Islam haruslah
berdasarkan pada Agama. Sementara Agama Islam merujuk pada Al Qur’an dan
Hadits. Untuk itu, dalam pelaksanannya berbagai metode yang digunakan oleh
pendidik hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan yang muncul secara efektif dan
efesien yang dilandasi nilai-nilai Al Qur’an dan Hadits.
2.
Asas
Biologis, Perkembangan biologis manusia mempunyai pengaruh dalam
perkembangan intelektualnya. Semakin dinamis perkembangan biologis seseorang,
maka dengan sendirinya makin meningkat pula daya intelektualnya. Untuk itu
dalam menggunakan metode pendidikan Islam seorang guru harus memperhatikan
perkembangan biologis peserta didik.
3.
Asas
Psikologis. Perkembangan dan kondisi psikologis peserta didik akan
memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap penerimaan nilai pendidikan dan
pengetahuan yang dilaksanakan, dalam kondisi yang labil pemberian ilmu
pengetahuan dan internalisasi nilai akan berjalan tidak sesuai dengan yang
diharapkan. Oleh Karenanya Metode pendidikan Islam baru dapat diterapkan secara
efektif bila didasarkan pada perkembangan dan kondisi psikologis peserta
didiknya. Untuk itu seorang pendidik dituntut untuk mengembangkan potensi
psikologis yang tumbuh pada peserta didik. Sebab dalam konsep Islam akal
termasuk dalam tataran rohani.
4.
Asas
sosiologis. Saat pembelanjaran berlangsung ada interaksi antara pesrta
didik dengan peserta didik dan ada interaksi antara pendidik dengan peserta
didik, atas dasar hal ini maka pengguna metode dalam pendidikan Islam harus
memperhatikan landasan atau dasar ini. Jangan sampai terjadi ada metode yang
digunakan tapi tidak sesuai dengan kondisi sosiologis peserta didik, jika hal
ini terjadi bukan mustahil tujuan pendidikan akan sulit untuk dicapai.
Keempat asas di atas merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan harus diperhatikan oleh para pengguna
metode pendidikan Islam agar dalam mencapai tujuan tidak mengunakan metode yang
tidak tepat dan tidak cocok kondisi agamis, kondisi biologis, kondisi
psikologis, dan kondisi sosiologis peserta didik.
Sementara
dari sudut pandang pelaksanaannya, asas-asas pendidikan Islam dapat
diformulasikan kepada:
5.
Asas
Motivasi, yaitu usaha pendidik untuk membangkitkan perhatian peserta didik
kearah bahan pelajaran yang sedang disajikan.
6.
Asas
Aktivitas, yaitu memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk ambil bagian
secara aktif dan kreatif dalam seluruh kegiatan pendidikan yang dilaksanakan.
7.
Asas
Apersepsi, mengupayakan respon-respon tertentu dari peserta didik sehingga
mereka memperoleh perubahan pada tingkah laku, pembendaharaan konsep, dan
kekayaan akan informasi.
8.
Asas
Peragaan, yaitu memberikan variasi dalam cara-cara mengajar dengan mewujudkan
bahan yang diajarkan secara nyata, baik dalam bentuk aslinya maupun tiruan.
9.
Asas
Ulangan, yaitu usaha untuk mengetahui taraf kemajuan atau keberhasilan belajar
peserta didik dalam aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap.
10.
Asas
Korelasi, menghubungkan suatu bahan pelajaran dengan bahan pelajaran lainnya,
sehingga membentuk mata rantai yang erat.
11.
Asas
Konsentrasi, yaitu memfokuskan pada suatu pokok masalah tertentu dari
keseluruhan bahan pelajaran untuk melaksankan tujuan pendidikan serta
memperhatikan peserta didik dalam segala aspeknya.
12.
Asas
Individualisasi, yaitu memperhatikan perbedaan-perbedaan individual peserta
didik.
13.
Asas
Sosialisasi, yaitu menciptakan situasi sosial yang membangkitkan semangat
kerjasama antara peserta didik dengan pendidik atau sesama peserta didik dan
masyarakat, dalam menerima pelajaran agar lebih berdaya guna.
14.
Asas
Evaluasi, yaitu memperhatikan hasil dari penilaian terhadap kemampuan yang
dimiliki peserta didik sebagai umpan balik pendidik dalam memperbaiki cara
mengajar.
15.
Asas
Kebebasan, yaitu memberikan keleluasan keinginan dan tindakan bagi peserta
didik dengan dibatasi atas kebebasan yang mengacu pada hal-hal yang positif.
16.
Asas
Lingkungan, yaitu menentukan metode dengan berpijak pada pengaruh lingkungan
akibat interaksi dengan lingkungan.
17.
Asas
Globalisasi, yaitu memperhatikan reaksi peserta didik terhadap lingkungan
secara keseluruhan, tidak hanya secara intelektual, tetapi juga secara fisik,
sosial dan sebagainya.
18.
Asas
Pusat-Pusat Minat, yaitu memperhatikan kecenderungan jiwa yang tetap ke jurusan
suatu yang berharga bagi seseorang.
19.
Asas
Ketauladanan, yaitu memberikan contoh yang terbaik untuk ditiru dan ditauladani
peserta didik.
20.
Asas
Kebiasaan, yaitu mambiasakan hal-hal positif dalam diri peserta didik sebagai
upaya praktis dalam pembinaan mereka.
Metode
pendidikan Islam harus digali, didayagunakan, dan dikembangkan dengan mengacu
pada asas-asas sebagaimana yang dikemukakan diatas. Melalui aplikasi
nilai-nilai Islam dalam proses penyampaian seluruh materi pendidikan Islam, diharapkan
proses itu dapat diterima, difahami, dihayati, dan diyakini sehingga pada
gilirannya memotivasi peserta didik untuk mengamalkannya dalam bentuk nyata.
4.
TUGAS, FUNGSI
DAN TUJUAN FILSAFAT PENDDIKAN ISLAM
a.
Tugas Pendidikan
Tugas pendidikan adalah membimbing dan mengarahkan
pertumbuhan dan perkembangan kehidupan anak didik dari satu tahap ketahap lain
sampai meraih kemampuan yang optimal. Bimbingan dan pengarahan tersebut
menyangkut potensi predisposisi (kemampuan dasar) serta bakat manusia yang
mengandung kemungkinan-kemungkinan yang berkembang kearah kematangan yang
optimal. Potensi atau kemungkinan berkembang dalam diri manusia itu baru dapat
berlangsung dengan baik bila mana diberi kesempatan yang cukup baik dan
favorable untuk berkembang melalui pendidikan yang terarah. Kemampuan potensial
pada diri manusia baru aktual dan fungsional bila disediakan kesempatan untuk
muncul dan berkembang dengan menghilangkan segala gangguan yang dapat
menghambatnya. Hambatan-hambatan mental dan spiritual banyak corak dan
jenisnya, seperti hambatan pribadi dan hambatan sosial, yang berupa hambatan
emosional dan lingkungan masyarakat yang tidak mendorong kepada kemajuan
pendidikan dan sebagainya
b.
Fungsi Filsafat Pendidikan Islam
Sebagai teori umum mengenai sistem pendidikan, maka
filsafat pendidikan Islam menjadi sangat penting. Filsafat pendidikan Islam
berfungsi sebagai peletak dasar bagi kerangka dari sistem pendidikan yang akan
berfungsi sebagai cara untuk mengaplikasikan ajaran agama Islam di bidang
pendidikan, dengan tujuan yang identik dengan tujuan yang akan dicapai ajaran
Islam itu sendiri.
Selanjutnya, jika pendidikan merupakan proses pelaksanaan
mencapai tujuan, maka filsafat pendidikan Islam berfungsi sebagai pedoman dasar
dari sistem yang harus ditelusuri oleh proses pelaksanaan itu sendiri. Filsafat
Islam dengan demikian berfungsi sebagai pembentuk nilai-nilai bagi pendidikan
Islam. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka filsafat pendidikan Islam berusaha
meletakkan dasar pemikirannya pada tujuan yang memuat konsep tentang akhlak
yang mulia.
Dua sasaran pokok yang juga termuat dalam tujuan filsafat
pendidikan Islam adalah meletakkan dasar pemikiran sistem pendidikan yang
berdimensi ganda. Dimensi pertama adalah untuk mencapai kesejahteraan hidup di
dunia dan keselamatan hidup di akhirat. Dimensi kedua berhubungan dengan fitrah
kejadian manusia, yaitu sebagai pengamdi Allah yang setia.
c.
Tujuan Filsafat Pendidikan Islam
Bila pendidikan dipandang sebagai suatu proses, maka
proses tersebut akan berakhir pada tercapainya tujuan akhir pendidikan. Suatu
tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan pada hakekatnya adalah suatu
perwujudan dari nilai-nilai ideal yang terbentuk dalam pribadi manusia yang
diinginkan. Nilai-nilai ideal itu mempengaruhi dan mewarnai pola kepribadian
manusia, sehingga menggejala dalam perilaku lahiriyah. Perilaku lahiriyah
adalah cermin yang memproyeksi nilai-nilai ideal yang telah mengacu dalam jiwa
manusia sebagai produk dari proses pendidikan. Nilai-nilai idealitas Islam itu
sendiri adalah mengandung nilai perilaku manusia yang disadari atau dijiwai
oleh iman dan taqwa kepada Allah sebagai sumber kekuasaan yang mutlak dan harus
ditaaati.
Pada hakekatnya, tujuan filsafat pendidikan Islam dengan
tujuan ajaran Islam adalah identik. Keduanya berasal dari sumber yang sama,
yaitu al-Qur’an dan Hadis. Dari kedua sumber tadi timbul pemikiran-pemikiran
mengenai masalah keIslaman dalam berbagai aspek, termasuk filsafat pendidikan.
Ajaran yang termuat dalam wahyu, merupakan dasar dari pemikiran filsafat
pendidikan Islam. Hal ini menunjukkan bahwa filsafat pendidikan Islam yang
berisi teori umum mengenai pendidikan Islam, dibina atas dasar konsep ajaran
Islam terutama dalam al-Qur’an dan Hadis. Kedua sumber tersebut dijadikan dasar
pemikiran filsafat pendidikan Islam tidak tanpa alasan yang rasional.
Sesuai dengan tujuan tersebut, maka filsafat
pendidikan Islam berupaya menyiapkan kerangka dasar bagi tercapainya tujuan
dimaksud melalui proses pendidikan. Dengan demikian dalam pelaksanaannya,
pendidikan Islam dituntut untuk menyelaraskan kegiatannya dengan tujuan itu.
Langkah pertama adalah mempersiapkan konsep yang jelas mengenai pendidikan
itu sendiri.
5.
HAKEKAT PENDIDIK
DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
a.
Pengertian
Pendidik
Secara umum,
pendidik adalah orang yang memiliki tanggung jawab untuk mendidik. Sementara
secara khusus, pendidik dalam perspektif pendidikan Islam adalah orang-orang
yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik dengan mengupayakan
perkembangan seluruh potensi peserta didik baik potensi efektif, kognitif,
maupun psikomotorik sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Beberapa ahli
pendidikan yang memberikan arti pendidik adalah :
Marimba
mengartikan pendidik sebagai orang yang mempertanggung jawabkan sebagai
pendidik, yaitu manusia dewasa yang karena hak dan kewajibannya bertanggung
jawab tentang pendidikan peserta didik
Sutari Imam
Barnadib mengemukakan bahwa pendidik adalah orang yang dengan sengaja
mempengaruhi orang lain untuk mencapai kedewasaan peserta didik
b.
Tugas Pendidik Menurut
Filsafat Pendidikan Islam
Dalam Islam
tugas seorang pendidik dipandang sebagai sesuatu yang sangat mulia. Secara umum
tugas pendidik adalah mendidik. Dalam operasionalnya mendidik merupakan
rangakaian proses mengajar, memberikan dorongan, memuji, menghukum, memberi
contoh, membiasakan dsb. Disamping itu pendidikjuga bertugas sebagai
fasilitator dan motivator dalam proses belajar mengajar, sehingga seluruh
potensi peserta didik dapat teraktualisasi secara baik dan dinamis.
Menurut Ahmad D.
Marimba, tugas pendidik dalam pendidikan Islam adalah membimbing dan mengenal
kebutuhan atau kesanggupan peserta didik, menciptakan situasi yang kondusif
bagi berlangsungnya proses kependidikan, menambah dan mengembangkan pengetahuan
yang dimiliki guna ditranformasikan kepada peserta didik, serta melihat
kekurangan dan kelebihannya.
Ø Tugas Pendidik
secara umum :
Pada hakekatnya
mengemban misi yang mengajak menusia untuk tunduk dan patuh pada hukum – hukum
Allah, guna memperoleh keselamatan dunia dan akhirat.
Ø Tugas Pendidik
secara khusus :
Sebagai pengajar
(intruksional) yang bertugas merencanakan program pengajaran dan melaksanakan
program yang telah disusun, dan penilaian setelah program itu dilaksanakan.
Sebagai
pendidik (edukator) yang mengarahkan peserta didik pada tinggakat kedewasaan
yang berkepribadian insan kamil seiring dengan tujuan Allah menciptakan
manusia.
Sebagai
pemimpin (managerial) yang memimpin dan mengendalikan diri sendiri, peserta
didik dan masyarakat yang terkait, menyangkut upaya pengarahan, pengawasan,
pengorganisasian, pengontrolan, partisipasi atas program yang dilakukan itu.
c.
Karakteristik
Pendidik
Dalam
pendidikan Islam, seorang pendidik hendaknya memiliki karakteristik yang dapat
membedakannya dari yang lain. Dalam hal ini An-Nahlawi membagi karakteristik
pendidik muslim kepada beberapa bentuk, diantaranya yaitu:
Bersifat
ikhlas: melaksanakan tugasnya sebagaipendidik semata-mata untuk mencari
keridhoan Allah dan menegakkan kebenaran.
1.
Mempunyai
watak dan sifat rubbaniyah.
2.
Bersifat
sabar dalam mengajar.
3.
Jujur
dalam menyampaikan apa yang diketahuinya.
4.
Mampu
menggunakan metode mengajar yang bervariasi.
5.
Mampu
mengelola kelas dan mengetahui psikis anak didik, tegas dan proposional.
6.
Sementara
dalam kriteria yang sama Al-Abrasyi memberikan batasan tentang karakteristik
pendidik, diantaranya :
7.
Seorang
pendidik hendaknya memiliki sifat zuhud yaitu melaksanakan tugasnya bukan
semata-mata karena materi akan tetapi lebih dari itu adalah karena mencari
keridhaan Allah.
8.
Seorang
pendidik hendaknya bersih fisiknya dari segala macam kotoran dan bersih jiwanya
dari segala macam sifat tercela.
9.
Seorang
pendidik hendaknya Ikhlas, tidak riya’, pemaaf, dan mencintai peserta didik
juga mengatahui karakteristik anak didiknya.
d.
Hakekat Pendidik
Pada dasarnya
seorang Pendidik adalah orang yang tergolong penting dalam pendidikan karena
seorang pendidik adalah orang yang memberikan pendidikan kepada anak didiknya.
Seorang pendidik adalah sujek dalam proses pendidikan dan pengajaran Islam.
Jadi pada hakekatnya proses pendidikan tidak akan berjalan secara efisien tanpa
adanya pendidik yang mampu menjadi sebenar – benarnya pendidik
1.
Peserta
didik
Peserta didik
salah satu komponen dalam sistim pendidikan Islam. Peserta didik itu sendiri
secara formal yaitu orang yang sedang berada pada fase pertumbuhan dan
perkembangan baik secara fisik maupun psikis, pertumbuhan dan perkembangan
merupakan ciri dari seseorang peserta didik yang perlu bimbingan dari seorang
pendidik.
Ada pun menurut
Syamsul Nizar ada 5 kriteria peserta didik yaitu:
Peserta didik
bukan lah miniatur orang dewasa, sehingga menjadi tanggung jawab pendidik.
Peserta didik memiliki periode sasi perkembangan dan pertumbuhan
Peserta didik
adalah makhluk Allah yang memiliki perbedaan individu baik disebabkan oleh
faktor bawaan maupun lingkungan dimana ia berada.
Peserta didik
merupakan dua unsur utama jasmani dan rohani
Peserta didik
adalah manusia yang memiliki potensi atau fitrah yang dapat dikembangkan dan
berkembang secara dinamis.
2.
Tugas
dan kewajiban peserta didik
Agar
pelaksanaan proses pendidikan Islam dapat mencapai tujuan yang diinginkan maka
setiap peserta didik hendaknya, senantiasa menyadari tugas dan kewajibannya..
Menurut Asma Hasan Fahmi tugas dan kewajiban yang harus dipenuhi peserta didik
diantaranya adalah.
Peserta
didik hendaknya senantiasa membersihkan hatinya sebelum menuntut ilmu. Tujuan
belajar hendaknya ditujukan untuk menghiasi ruh dengan berbagai sifat keimanan.
Setiap peserta didik wajib menghormati pendidiknya. Peserta didik hendaknya
belajar secara bersungguh-sungguh dan tabah dalam belajar.
Kewajiban
peserta didik diantaranya adalah: Sebelum belajar hendaknya terlebih dahulu
membersihkan hatinya dari segala sifat buruk. Niat belajar hendaknya ditujukan
untuk mengisi jiwa dengan berbagai fadillah.
Wajib
bersungguh – sungguh dalam belajar, wajib saling mengasihi dan menyayangi
diantara sesama, bergaul baik terhadap guru-gurunya.
3.
Sifat-sifat
Ideal Peserta Didik
Dalam
upaya mencapai tujuan Pendidikan Islam, peserta didik hendaknya memiliki dan
menanamkan sifat-sifat yang baik dalam dari dan kepribadiannya. Diantara
sifat-sifat ideal ynag perlu dimiliki peserta didik misalnya ; berkemauan keras
atau pantang menyerah, memiliki motivasi yang tinggi, sabar, dan tabah, tidak
mudah putus asa dan sebagainya.
Berkenaan
dengan sifat ideal diatas, Imam Al-Ghazali, sebagaimana dikutip Fatahiyah Hasan
Sulaiman, merumuskan sifat-sifat ideal yang patut dimiliki peserta didik yaitu
;
Belajar
dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub ila Allah. Mempunyai ahklak yang baik
dan meninggalkan yang buruk.
Mengurangi
kecendrungan pada kehidupan duniawi disbanding ukhrawi dan sebaliknya. Bersifat
tawadhu’ (rendah hati). Menjaga pikiran dari berbagai pertentangan dan aliran.
Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji baik ilmu umum dan agama. Belajar secara
bertahap atau berjenjang dengan melalui pelajaran yang mudah menuju pelajran
yang sulit. Mempelajari ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih kepada ilmu
yang lainnya.
Memahami
nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari Memprioritaskan ilmu
diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi. Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi
suatu ilmu pengetahuan yang dapat bermanfaat, membahagiakan, serta memeberi
keselematan dunia dan akhirat.
6.
HAKEKAT METODE
DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
a.
Pengertian
Metode
Secara
literal metode berasal dari bahasa Greek (Yunani) yang terdiri dari dua kosa kata,
yaitu “meta” yang
berarti melalui dan “hodos” yang berarti jalan. Sedangkan
pengertian menurut istilah metode adalah cara yang digunakan untuk
mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan
yang telah disusun tercapai secara optimal.
Dalam Bahasa Arab metode dikenal
dengan istilah thariqah yang berarti langkah-langkah strategis yang
harus dipersiapkan untuk melakukan suatu pekerjaan. Sedangkan
dalam bahasa Inggris metode disebut method yang berarti cara dalam bahasa
Indonesia.
Mohammad
Athiyah al-Abrasy mendefinisikan metode sebagai jalan yang kita ikuti memberi
paham kepada murid-murid dalam segala macam pelajaran, dalam segala mata
pelajaran. Metode adalah rencana yang kita buat untuk diri kita sebelum kita
memasuki kelas, dan kita terapkan dalam kelas selama kita mengajar dalam kelas
itu. Kemudian Prof. Abd al-Rahim Ghunaimah menyebut metode sebagai cara-cara
yang diikuti oleh guru untuk menyampaikan sesuatu kepada anak didik. Adapun
Adgar Bruce Wesley mendefinisikan metode sebagai kegiatan yang terarah bagi
guru yang menyebabkan terjadinya proses belajar mengajar, hingga pengajaran
menjadi berkesan.
Dalam
pandangan filosofis pendidikan, metode merupakan alat yang dipergunakan untuk
mencapai tujuan pendidikan. Alat itu mempunyai sifat ganda, yaitu bersifat
polipragmatis dan monopragmatis. Polipragmatis, bilamana metode itu mengandung
kegunaan yang serba ganda (multipurpoce). Misalnya, suatu metode
tertentu pada suatu situasi dan kondisi tertentu dapat dipergunakan untuk
merusak, dan pada situasi dan kondisi yang lain dapat dipergunakan untuk
memperbaiki dan membangun. Contohnya, penggunaan video cassete recorder (VRC)
untuk merekam semua jenis film, baik fornografis maupun yang moralis, yang hal
itu bila dipergunakan sebagai media pembelajaran, maka sasarannya dapat merusak
disamping dapat memperbaiki atau membangun. Monopragmatis adalah alat yang
hanya dapat dipergunakan untuk mencapai satu macam tujuan. Misalnya,
laboratorium ilmu alam, hanya dapat dipergunakan untuk eksperimen-eksperimen
bidang ilmu alam, tidak dapat dipergunakan untuk eksperimen bidang ilmu lain
b.
Metode Pendidikan Islam
Dari
beberapa pengertian yang diformulasikan oleh para pakar diatas tentang
pengertian Metode dan Pendidikan Islam. Kita dapat menyimpulkan tentang pengertian
Metode Pendidikan. Seperti yang dikemukakan oleh al-Syaibaniy yaitu, segala
segi kegiatan yang terarah yang dikerjakan oleh guru dalam rangka
kemestian-kemestian mata pelajaran yang diajarkannya, ciri-ciri perkembangan
peserta didiknya, dan suasana alam sekitarnya dan tujuan membimbing peserta
didik untuk mencapai proses belajar yang diinginkan dan perubahan yang
dikehendaki pada tingkah laku mereka.
Ahmad Tafsir secara umum membatasi
bahwa metode pendidikan adalah semua cara yang digunakan dalam upaya mendidik.
Kemudian Abdul Munir Mulkan, mengemukakan bahwa metode Pendidikan adalah suatu
cara yang dipergunakan untuk menyampaikan atau mentransformasikan isi atau
bahan pendidikan kepada anak didik.
Selanjutnya jika kata metode tersebut dikaitkan dengan pendidikan Islam,
dapat membawa arti sebagai jalan untuk menanamkan pengetahuan agama pada diri
seseorang sehingga dapat terlihat dalam pribadi objek sasaran, yaitu pribadi
Islami. Selain itu
metode pendidikan Islam dapat diartikan sebagai cara untuk memahami, manggali,
dan mengembangkan ajaran Islam, sehingga terus berkembang sesuai dengan
perkembangan zaman.
c. Asas-asas Umum
Metode Pendidikan Islam
Dalam penerapannya, metode
pendidikan Islam menyangkut permasalahan individual atau social peserta didik
dan pendidik itu sendiri. Untuk itu dalam menggunakan metode seorang pendidik
harus memperhatikan dasar-dasar umum metode pendidikan Islam. Sebab
metode pendidikan merupakan sarana atau jalan menuju tujuan pendidikan,
sehingga segala jalan yang ditempuh oleh seorang pendidik haruslah mengacu pada
asas-asas/dasar-dasar metode pendidikan tersebut. Asas metode pendidikan Islam
itu diantaranya adalah:
1.
Asas Agamis, maksudnya bahwa
metode yang digunakan dalam pendidikan Islam haruslah berdasarkan pada Agama.
Sementara Agama Islam merujuk pada Al Qur’an dan Hadits. Untuk itu, dalam
pelaksanannya berbagai metode yang digunakan oleh pendidik hendaknya
disesuaikan dengan kebutuhan yang muncul secara efektif dan efesien yang
dilandasi nilai-nilai Al Qur’an dan Hadits.
2.
Asas Biologis, Perkembangan
biologis manusia mempunyai pengaruh dalam perkembangan intelektualnya. Semakin
dinamis perkembangan biologis seseorang, maka dengan sendirinya makin meningkat
pula daya intelektualnya. Untuk itu dalam menggunakan metode pendidikan Islam
seorang guru harus memperhatikan perkembangan biologis peserta didik.
3.
Asas Psikologis. Perkembangan
dan kondisi psikologis peserta didik akan memberikan pengaruh yang sangat besar
terhadap penerimaan nilai pendidikan dan pengetahuan yang dilaksanakan, dalam
kondisi yang labil pemberian ilmu pengetahuan dan internalisasi nilai akan
berjalan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Oleh Karenanya Metode pendidikan
Islam baru dapat diterapkan secara efektif bila didasarkan pada perkembangan
dan kondisi psikologis peserta didiknya. Untuk itu seorang pendidik dituntut
untuk mengembangkan potensi psikologis yang tumbuh pada peserta didik. Sebab
dalam konsep Islam akal termasuk dalam tataran rohani.
4.
Asas sosiologis. Saat
pembelanjaran berlangsung ada interaksi antara pesrta didik dengan peserta
didik dan ada interaksi antara pendidik dengan peserta didik, atas dasar hal
ini maka pengguna metode dalam pendidikan Islam harus memperhatikan landasan
atau dasar ini. Jangan sampai terjadi ada metode yang digunakan tapi tidak
sesuai dengan kondisi sosiologis peserta didik, jika hal ini terjadi bukan
mustahil tujuan pendidikan akan sulit untuk dicapai.
Keempat asas
di atas merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan harus
diperhatikan oleh para pengguna metode pendidikan Islam agar dalam mencapai
tujuan tidak mengunakan metode yang tidak tepat dan tidak cocok kondisi agamis,
kondisi biologis, kondisi psikologis, dan kondisi sosiologis peserta didik.
Sementara
dari sudut pandang pelaksanaannya, asas-asas pendidikan Islam dapat
diformulasikan kepada:
1.
Asas Motivasi, yaitu usaha pendidik untuk membangkitkan perhatian peserta didik
kearah bahan pelajaran yang sedang disajikan.
2.
Asas Aktivitas, yaitu memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk ambil
bagian secara aktif dan kreatif dalam seluruh kegiatan pendidikan yang
dilaksanakan.
3.
Asas Apersepsi, mengupayakan respon-respon tertentu dari peserta didik sehingga
mereka memperoleh perubahan pada tingkah laku, pembendaharaan konsep, dan
kekayaan akan informasi.
4.
Asas Peragaan, yaitu memberikan variasi dalam cara-cara mengajar dengan
mewujudkan bahan yang diajarkan secara nyata, baik dalam bentuk aslinya maupun
tiruan.
5.
Asas Ulangan, yaitu usaha untuk mengetahui taraf kemajuan atau keberhasilan
belajar peserta didik dalam aspek pengetahuan, keterampilan dan
sikap.
6.
Asas Korelasi, menghubungkan suatu bahan pelajaran dengan bahan pelajaran
lainnya, sehingga membentuk mata rantai yang erat.
7.
Asas Konsentrasi, yaitu memfokuskan pada suatu pokok masalah tertentu dari
keseluruhan bahan pelajaran untuk melaksankan tujuan pendidikan serta
memperhatikan peserta didik dalam segala aspeknya.
8.
Asas Individualisasi, yaitu memperhatikan perbedaan-perbedaan individual
peserta didik.
9.
Asas Sosialisasi, yaitu menciptakan situasi sosial yang membangkitkan semangat
kerjasama antara peserta didik dengan pendidik atau sesama peserta didik dan
masyarakat, dalam menerima pelajaran agar lebih berdaya guna.
10.
Asas Evaluasi, yaitu memperhatikan hasil dari penilaian terhadap kemampuan yang
dimiliki peserta didik sebagai umpan balik pendidik dalam memperbaiki cara
mengajar.
11.
Asas Kebebasan, yaitu memberikan keleluasan keinginan dan tindakan bagi peserta
didik dengan dibatasi atas kebebasan yang mengacu pada hal-hal yang positif.
12.
Asas Lingkungan, yaitu menentukan metode dengan berpijak pada pengaruh
lingkungan akibat interaksi dengan lingkungan.
13.
Asas Globalisasi, yaitu memperhatikan reaksi peserta didik terhadap lingkungan
secara keseluruhan, tidak hanya secara intelektual, tetapi juga secara fisik,
sosial dan sebagainya.
14.
Asas Pusat-Pusat Minat, yaitu memperhatikan kecenderungan jiwa yang tetap ke
jurusan suatu yang berharga bagi seseorang.
15.
Asas Ketauladanan, yaitu memberikan contoh yang terbaik untuk ditiru dan
ditauladani peserta didik.
16.
Asas Kebiasaan, yaitu mambiasakan hal-hal positif dalam diri peserta didik
sebagai upaya praktis dalam pembinaan mereka.
Metode
pendidikan Islam harus digali, didayagunakan, dan dikembangkan dengan mengacu
pada asas-asas sebagaimana yang dikemukakan diatas. Melalui aplikasi
nilai-nilai Islam dalam proses penyampaian seluruh materi pendidikan Islam, diharapkan
proses itu dapat diterima, difahami, dihayati, dan diyakini sehingga pada
gilirannya memotivasi peserta didik untuk mengamalkannya dalam bentuk nyata.
d.
Karakteristik Metode Pendidikan Islam
Diantara karakteristik metode pendidikan Islam:
1.
Keseluruhan proses penerapan metode pendidikan Islam, mulai dari
pembentukannya, penggunaannya sampai pada pengembangannya tetap didasarkan pada
nilai-nilai asasi Islam sebagai ajaran yang universal.
2.
Proses pembentukan, penerapan dan pengembangannya tetap tidak dapat dipisahkan
dengan konsep al-akhlak al-karimah sebagai tujuan tertinggi dari
pendidikan Islam.
3.
Metode pendidikan Islam bersifat luwes dan fleksibel dalam artian senantiasa
membuka diri dan dapat menerima perubahan sesuai dengan situasi dan kondisi
yang melingkupi proses kependidikan Islam tersebut, baik dari segi peserta
didik, pendidik, materi pelajaran dan lain-lain.
4.
Metode pendidikan Islam berusaha sungguh-sungguh untuk menyeimbangkan antara
teori dan praktik.
5.
Metode pendidikan Islam dalam penerapannya menekankan kebebasan peserta didik
untuk berkreasi dan mengambil prakarsa dalam batas-batas kesopanan dan akhlak
karimah.
6.
Dari segi pendidik, metode pendidikan Islam lebih menekankan nilai-nilai
keteladanan dan kebebasan pendidik dalam menggunakan serta mengkombinasikan
berbagai metode pendidikan yang ada dalam mencapai tujuan pengajaran.
7.
Metode pendidikan Islam dalam penerapannya berupaya menciptakan situasi dan
kondisi yang memungkinkan bagi terciptanya interaksi edukatif yang kondusif .
8.
Metode pendidikan Islam merupakan usaha untuk memudahkan proses pengajaran
dalam mencapai tujuannya secara efektif dan efisien.
7.
HAKEKAT KURIKLUM
DALAMFILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
a.
Pengertian dan Ciri Kurikulum
Secara harfiah, kurikulum berasal
dari bahasa Latin, ‘’ Curriculum’’, yang berarti bahan pengajaran.Ada pula yang
mengatakan berasal dari bahasa Perancis, ‘’ Courier ‘’, yang artinya berlari-
Secara etimologi, kurikulum berasal
dari bahasa Yunani, yaitu ‘’curier’’ yang artinya pelari dan ‘’Curere’’ yang
artinya jarak yang harus ditempuh oleh pelari. Istilah ini pada mulanya
digunakan di dunia olah raga yang berarti a
lille recesourse ( suatu jarak yang harus ditempuh dalam pertandingan olah
raga). Berdasarkan pengertian ini, dalam kontek dunia pendidikan, kurikulum
berarti ‘’circle of intruction’’ yaitu
suatu lingkaran pembelajaran dimana guru dan peserta didik terlibat di
dalamnya. Adapula yang mengatakan kurikulum ialah arena pertandingan, tempat
pelajar bertanding untuk menguasai pelajaran untuk mencapai garis penamat
berupa diploma, ijazah, atau gelar kesarjanaan.
Kata kurikulum selanjutnya menjadi suatu istilah yang
menunjukkan pada sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai
tujuan akhir, yaitu mencapai suatu gelar atau ijazah. Pengertian ini sejalan dengan pendapat yang mengatakan
bahwa kurikulum adalah rancangan pengajaran yang berisi sejumlah mata pelajaran
yang disusun secara sistematis yang diperlukan sebagai syarat untuk
menyelesaikan suatu program pendidikan tertentu.
b.
Prinsip Kurikulum Pendidikan Islam
Berdasrkan ciri dan karakteristik di
atas, kurikulum pendidikan Islam dibuat dan disusun dengan mengikuti prinsip;
Menurut Al-Taumi sebagaimana yang di
kutip oleh Muhammad Zein dalam bukunya ‘’ Materi
Filsafat Pendidilan Islam “, prinsip dasar yang harus dipegengi dalam
menyusun kurikulum pendidikan Islam adalah:
1)
Kurikulum pendidikan Islam harus bertautan dengan agama,termasuk ajaran dan
nilainya.
2)
Tujuan dan kandungan kurikulum pendidikan Islam harus menyeluruh (universal)
3)
Tujuan dan kandungan kyrikulum pendidikan Islam harus adanya keseimbangan.
4)
Kurikulum pendidikan Islam harus berkaitan dengan bakat, minat, kemampuan dan
kebutuhan anak didik serta alam lingkungan di mana anak didik tersebut hidup.
5)
Kurikulum pendidikan Islam harus dapat memelihara perbedaanindividu diantara
anak didik dalam bakat, minat, kemampuan dan kebutuhan mereka.
6)
Kurikulum pendidikan Islam harus mengikuti perkembangan dan perubahan zaman,
filsafah, prinsip, dasar, tujuan dan metode pendidikan islam harus dapat
memenuhi tuntutan zaman.
7)
Kurikulum pendidikan Islam harus bertautan dengan pengalaman dan aktifitas anak
didik dalam masyarakat.
c.
Asas / Landasan
Kurikulum
Secara teoritis penyusunan sebuah
kurikulum harus berdasarkan asas-asas tertentu. Asas – asas tersebut antara
lain menurut S.Nasution yaitu;
Asas Filosofis
Dalam pengembangan kurikulum muncul pertanyaan-pertanyaan
pokok seperti: hendak dibawa kemana siswa yang dididik itu? Masyarakat yang
bagaimana harus diciptakan melaui ikhtiar pendidikan? Apakah hakikat
pengetahuan yang harus dipelajari dan dikaji siswa? Norma-norma atau sistim
nilai yang bagaimana yang harus diwariskan kepada anak didik sebagai generasi
penerus? Dan bagaimana seharusnya proses pendidikan itu berlangsung?
Sebagai landasan
fundamental, filasafat memegang peranan penting dalam proses pengembangan
kurikulum. Ada empat fungsi filasat
dalam mengembangkan kurikulum yaitu:
1. Filsafat dapat menentukan
arah dan tujuan pendidikan. Dengan filsafat segaai pandangan hidup, atau value
sistem, maka dapat ditentukan mau dibawa kemana siswa yang kita didik
2. Filsafat dapat menentukan
materi dan bahan ajaran yang diberkan sesuai dengan tujuan yang diinginkan.
3. Filsafat dapat menentukan
strategi atau cara penyampaian tujuan. Sebagai sistem nilai, filsafat dapat
dijadikan pedoman dalam merancang kegiatan pembelajaran.
4. Melalui filsafat dapat
ditentukan baaimana menentukan tolak ukur keberhasilan proses pendidikan.
Dari penjelasan tentang fungsi-fungsi filasafat dalam
pengembangan kurikulum maka semua pertanyaan pokok yang timbul dalam
pengembangan kurikulum dapat terjawabkan. Filsafat merupakan asas/landasan yang
paling utama dalam pengembangan kurikulum. Filsafat sangat penting, khususnya
dalam pengambilan keputusan pada setiap aspek kurikulum, dimana setiap
keputusan harus ada dasarnya (landasan filosofisnya). Para pengembang kurikulum
harus mempunyai filsafat yang jelas tentang apa yang mereka junjung tinggi.
Filsafat yang kabur akan menimbulkan kurikulum yang tidak tentu arah. Kurikulum
sebagai rancangan dari pendidikan, mempunyai kedudukan yang cukup sentral dalam
keseluruhan kegiatan pendidikan karena kurikulum menentukan proses pelaksanaan
dan hasil daripada pendidikan. Mengingat begitu pentingnya peranan kurikulum
dalam pendidikan dan perkembangan kehidupan manusia, maka pengembangan
kurikulum tidak dapat dirancang sembarangan.
8.
HAKEKAT EVALUASI
DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
a.
Pengertian
Evaluasi
Menurut bahasa evaluasi berasal dari bahasa Inggris,
“evaluation”, yang berarti penilaian atau penaksiran. Sedangkan menurut
pengertian istilah evaluasi merupakan kegiatan yang terencana untuk mengetahui
keadaan sesuatu obyek dengan menggunakan intrumen dan hasilnya dibandingkan
dengan tolak ukur memperoleh kesimpulan. Dengan demikian secara sederhana dapat
disimpulkan bahwa evaluasi pendidikan adalah penilaian untuk mengetahui proses
pendidikan dan komponen-komponennya dengan instrumen yang terukur. Dalam
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I
Pasal 1 ayat 21 dijelaskan bahwa evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian,
penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan
pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk
pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan.
b.
Jenis-Jenis
Evaluasi:
Selanjutnya jenis evaluasi dapat dibedakan sebagai berikut:
1)
Jenis evaluasi berdasarkan tujuan
dibedakan atas lima jenis evaluasi, yaitu:
a)
Evaluasi diagnostik, adalah evaluasi
yang di tujukan untuk menelaah kelemahan-kelemahan siswa beserta faktor-faktor
penyebabnya.
b)
Evaluasi selektif adalah adalah
evaluasi yang digunakan untuk memilih siwa yang paling tepat sesuai dengan
kriteria program kegiatan tertentu.
c)
Evaluasi penempatan adalah adalah
evaluasi yang digunakan untuk menempatkan siswa dalam program pendidikan
tertentu yang sesuai dengan karakteristik siswa.
d)
Evaluasi formatif adalah adalah
evaluasi yang dilaksanakan untuk memperbaiki dan meningkatkan proses belajar
dan mengajar.
e)
Evaluasi sumatif adalah adalah
evaluasi yang dilakukan untuk menentukan hasil dan kemajuan bekajra siswa.
2)
Jenis evaluasi berdasarkan sasaran
a)
Evaluasi konteks yang ditujukan
untuk mengukur konteks program baik mengenai rasional tujuan, latar belakang
program, maupun kebutuhan-kebutuhan yang muncul dalam perencanaan
b)
Evaluasi input, evaluasi yang
diarahkan untuk mengetahui input baik sumber daya maupun strategi yang
digunakan untuk mencapai tujuan.
c)
Evaluasi proses, evaluasi yang
ditujukan untuk melihat proses pelaksanaan, baik mengenai kalancaran proses,
kesesuaian dengan rencana, faktor pendukung dan faktor hambatan yang muncul
dalam proses pelaksanaan, dan sejenisnya.
d)
Evaluasi hasil atau produk, evaluasi
yang diarahkan untuk melihat hasil program yang dicapai sebagai dasar untuk
menentukan keputusan akhir, diperbaiki, dimodifikasi, ditingkatkan atau
dihentikan.
e)
Evaluasi outcome atau lulusan,
evaluasi yang diarahkan untuk melihat hasil belajar siswa lebih lanjut, yakni
evaluasi lulusan setelah terjun ke masyarakat.
3)
Jenis evalusi berdasarkan lingkup
kegiatan pembelajaran
a)
Evaluasi program pembelajaran, yang
mencakup terhadap tujuan pembelajaran, isi program pembelajaran, strategi
belajar mengajar, aspek-aspek program pembelajaran yang lain.
b)
Evaluasi proses pembelajaran, yang
mencakup kesesuaian antara peoses pembelajaran dengan garis-garis besar program
pembelajaran yang di tetapkan, kemampuan guru dalam melaksanakan proses
pembelajaran, kemampuan siswa dalam mengikuti proses pembelajaran.
c)
Evaluasi hasil pembelajaran,
mencakup tingkat penguasaan siswa terhadap tujuan pembelajaran yang ditetapkan,
baik umum maupun khusus, ditinjau dalam aspek kognitif, afektif, psikomotorik.
4)
Jenis evaluasi berdasarkan objek dan
subjek evaluasi Berdasarkan objek:
a)
Evaluasi input, evaluasi terhadap
siswa mencakup kemampuan kepribadian, sikap, keyakinan.
b)
Evaluasi transformasi, evaluasi
terhadap unsur-unsur transformasi proses pembelajaran antara lain materi,
media, metode dan lain-lain.
c)
Evaluasi output, evaluasi terhadap
lulusan yang mengacu pada ketercapaian hasil pembelajaran.
5)
Berdasarkan subjek :
a)
Evaluasi internal, evaluasi yang
dilakukan oleh orang dalam sekolah sebagai evaluator, misalnya guru.
b)
Evaluasi eksternal, evaluasi yang
dilakukan oleh orang
luar sekolah sebagai evaluator, misalnya orangtua, masyarakat.
luar sekolah sebagai evaluator, misalnya orangtua, masyarakat.
c.
Hakekat
Evaluasi Dalam Filsafat Pendidikan Islam
Penilaian dilaksanakan secara
terpadu dengan kegiatan pembelajar- an. Penilaian dapat dilakukan baik
dalam suasana formal maupun infor- mal, di dalam kelas, di luar kelas,
terintegrasi dalam kegiatan belajar meng- ajar atau dilakukan pada
waktu yang khusus. Penilaian dilaksanakan melalui
berbagai cara, seperti tes tertulis, penilaian hasil kerja siswa mela- lui
kumpulan hasil kerja (karya) siswa (fortofolio), dan penilaian
unjuk kerja (perfomance) siswa.
Ajaran Islam yang menaruh perhatian
yang besar terhadap evaluasi. Allah swt dalam berbagai firman-Nya dalam
kitab suci Al-Qur’an meng- informasikan bahwa, pekerjaan evaluasi
merupakan suatu tugas penting dalam rangkaian proses pendidikan
yang telah dilaksanakan oleh pen- didik. Abuddin Nata mengutip (Q.S.
al-Baqarah/2: 31-32) menyebut empat hal yang dapat diketahui. Pertama,
Allah swt bertindak sebagai guru yang memberikan pelajaran kepada Nabi Adam as.
Kedua, para malaikat tidak memperoleh pengajaran sebagaimana
yang diterima Nabi Adam, mereka tidak dapat menyebutkan nama-nama benda.
Ketiga, Allah swt meminta kepada Nabi Adam
agar mendemonstrasikan ajaran yang diterimanya. Keempat,
materi evaluasi, haruslah materi yang pernah diajarkannya.
9.
LEMBAGA
PENDIDIKAN ISLAM DAN TANTANGAN MODERNISASI
a.
Lembaga Pendidikan Islam
Kata “lembaga” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
badan (organisasi) yang tujuannya melakukan suatu penyelidikan keilmuan atau
melakukan usaha. Selanjutnya menurut Dra. Enung Rukiati dan Dra. Fenti
Hikmawati dalam bukunya yang berjudul Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia,
mengungkapkan bahwa lembaga adalah wadah atau tempat berlangsungnya proses
pendidikan Islam yang bersamaan dengan proses pembudayaan. Sedangkan pendidikan
Islam menurut pendapat Omar Muhammad al-Taumy yang dikutip dalam buku Kapita
Selekta Pendidikan Islam, karangan Drs. Akmal Hawi. Mag menyatakan pendidikan
Islam sebagai proses mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya
atau kehidupan kemasyarakatannya dan alam sekitarnya melalui interaksi yang
dilakukan oleh individu tersebut. Lalu Drs Akmal Hawi secara khusus berpendapat
mengenai hal ini di dalam bukunya Dasar-dasar Pendidikan Islam menyatakan bahwa
Pendidikan Islam ialah suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk membuat
anak menjadi pengabdi Allah. Senada dengan pendapat para ahli di atas, H.M.
Arifin menegaskan bahwa pendidikan Islam berarti sistem kependidikan yang
mencakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba Allah, sebagaimana
Islam telah menjadi pedoman bagi seluruh aspek kehidupan manusia, baik duniawi
maupun ukhrowi. Dari keterangan para ahli tersebut, dapat kami simpulkan bahwa
lembaga pendidikan Islam ialah suatu wadah atau badan yang berusaha membentuk
anak menjadi pengabdi Allah dan memberikan kemampuan kepadanya untuk memimpin
kehidupannya sesuai dengan cita-cita dan nilai-nilai Islam.
Secara Umum lembaga pendidikan terbagi menjadi tiga, yaitu
keluarga, sekolah dan masyarakat. Ki Hajar Dewantara menganggap ketiga lembaga
pendidikan tersebut sebagai Tri Pusat Pendidikan. Maksudnya, tiga pusat
pendidikan yang secara bertahap dan terpadu mengemban suatu tanggung jawab
pendidikan bagi generasi mudanya.
1)
Pendidikan Keluarga
Pendidikan keluarga atau yang
dikenal dalam dunia akademisi ialah pendidikan informal merupakan lingkungan
pendidikan yang pertama bagi kehidupan anak di dalam mendapatkan didikan dan
bimbingan. Drs. Akmal Hawi berpendapat bahwa keluarga merupakan tempat
meletakkan dasar-dasar kepribadian anak didik pada usia yang masih muda, karena
pada usia ini anak lebih peka terhadap pengaruh dari pendidiknya. Lalu
Hasbullah mengutip pendapat Amir Daien Indrakusuma dalam bukunya Dasar-dasar
Pendidikan mengenai tugas utama dari keluarga bagi pendidikan anak ialah sebagai
peletak dasar bagi pendidikan akhlak dan pandangan hidup keagamaan. Sifat dan
tabiat anak sebagian besar diambil dari kedua orang tuanya dan dari anggota
keluarganya yang lain. Dalam hal ini sepertinya para ahli berpendapat bahwa
pendidikan informal/keluarga merupakan peletak dasar awal pendidikan yang
secara tidak langsung dirasakan si anak.
2)
Pendidikan Sekolah
Pendidikan sekolah merupakan
lanjutan dari pendidikan dalam keluarga. Di samping itu, merupakan jembatan
bagi anak yang menghubungkan kehidupan dalam keluarga dengan kehidupan dalam
masyarakat kelak.
Menurut Hasbullah, yang dimaksud
pendidikan sekolah ini ialah pendidikan yang diperoleh seseorang di sekolah
secara teratur, sistematis, bertingkat, dan dengan mengikuti syarat-syarat yang
jelas dan ketat (mulai dari Taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi). Menurut
Drs Akmal hawi, sebagai pendidikan Islam formal memiliki tanggung jawab untuk
membimbing, mengembangkan dan bertingkah laku sesuai dengan tuntunan Ilahi,
yang pada akhirnya akan menemukan makna hidup sesungguhnya.
3)
Pendidikan Masyarakat
Masyarakat adalah lingkungan ketiga setelah keluarga dan
sekolah. Pendidikan masyarakat telah mulai ketika anak-anak untuk beberapa
waktu setelah lepas dari asuhan keluarga dan berada di luar pendidikan sekolah.
Dengan demikian, berarti pengaruh pendidikan tersebut tampaknya lebih luas.
Hasbullah menjelaskan bahwa Corak dan ragam pendidikan yang dialami seseorang
dalam masyarakat banyak sekali, yang meliputi dari segala bidang, baik
pembentukan kebiasaan-kebiasaan, pembentukan pengertian-pengertian
(pengetahuan), sikap dan minat, maupun pembentukan kesusilaan dan keagamaan.
Banyak Rupa dari pendidikan masyarakat, antara lain Drs. Akmal Hawi memberikan contoh, seperti pengajian-pengajian berupa membaca tulis al-Qur’an dan ceramah agama serta majelis-majelis taklim.
Banyak Rupa dari pendidikan masyarakat, antara lain Drs. Akmal Hawi memberikan contoh, seperti pengajian-pengajian berupa membaca tulis al-Qur’an dan ceramah agama serta majelis-majelis taklim.
b. Tantangan
Lembaga Pendidikan Islam
Sebagaimana yang telah kami sebutkan bahwa pembahasan ini
hanya terbatas pada pendidikan formal saja. Karena kita lihat kompleksnya
pembahasan dari setiap bentuk-bentuk pendidikan yang ada dan
tantangan-tantangan yang berbeda dihadapi oleh setiap bentuk pendidikan.
Lembaga pendidikan formal terdiri dari pesantren, madrasah, dan perguruan tinggi. Namun demikian, tantangan yang akan dibahas merupakan tantangan umum yang dihadapi oleh setiap pendidikan formal tersebut.
Lembaga pendidikan formal terdiri dari pesantren, madrasah, dan perguruan tinggi. Namun demikian, tantangan yang akan dibahas merupakan tantangan umum yang dihadapi oleh setiap pendidikan formal tersebut.
Tantangan lembaga pendidikan ini dilukiskan oleh Cece Wijaya
yang dikutip oleh Drs Akmal Hawi dalam bukunya Kapita Selekta Pendidikan Islam,
sebagai perubahan masyarakat dibidang sosial, ekonomi, budaya, ilmu
pengetahuan, dan teknologi yang berpengaruh terhadap sistem pendidikan yang
sedang berjalan. pengaruh tersebut menuntut lembaga pendidikan untuk mampu
menyesuaikan dengan upaya pembaharuan pendidikan dan pengajaran yang sesuai
dengan kebutuhan masyarakat. berikut ini akan dijelaskan bentuk-bentuk
tantangan tersebut:
1)
Tantangan di Bidang Politik
Lembaga pendidikan yang ada di wilayah suatu negara
merupakan sektor perkembangan kehidupan budaya bangsa yang commited (terikat)
dengan tujuan perjuangan nasional yang berlandaskan pada falsafah negaranya.
oleh karena itu, maka suatu lembaga pendidikan yang tidak bersedia mengikuti
politik negaranya, akan merasakan bahwa politik tersebut menjadi pressure
(tekanan) terhadap cita kelembagaan tersebut. Sudah tentu hal ini merupakan
tantangan yang perlu dijawab “politic fundamental” pula. karena hal tersebut menyangkut
kepentingan perkembangan bangsa dimasa depan dan maknanya bagi pemeliharaan
watak dan keperibadian, kreatifitas dan disiplin bangsa itu sendiri.
Jadi lembaga pendidikan islam harus menghadapi tantangan ini
dengan objektif, artinya lembaga pendidikan islam mau tak mau harus mengikuti
prosedur-prosedur yang telah ditetapkan oleh pemerintah didalam undang-undang
sistem pendidikan nasioanal (UU Sisdiknas) demi mencapai tujuan perjuangan
nasional bangsa. yaitu dengan cara terlibat aktif dalam perumusan keputusan
yang berhubungan dengan kepentingan kependidikan, misalnya dalam perumusan UU
sisdiknas tersebut.
Selain itu, Perubahan sosial politik ikut memberi warna pendidikan Islam. Label sebagai institusi pendidikan Islam ikut mempengaruhi persepsi publik terhadap posisi lembaga pendidikan Islam dalam konteks perubahan sosial politik. Ironisnya, lembaga pendidikan Islam kerap dijadikan “kendaraan” oleh para petualang politik mencari dukungan. Setelah dukungan suara didapatkan, kenyataannya lembaga pendidikan Islam tadi tetap tidak banyak berubah. Realitas seperti ini dikhawatirkan memandulkan gerak pendidikan agama Islam.
Selain itu, Perubahan sosial politik ikut memberi warna pendidikan Islam. Label sebagai institusi pendidikan Islam ikut mempengaruhi persepsi publik terhadap posisi lembaga pendidikan Islam dalam konteks perubahan sosial politik. Ironisnya, lembaga pendidikan Islam kerap dijadikan “kendaraan” oleh para petualang politik mencari dukungan. Setelah dukungan suara didapatkan, kenyataannya lembaga pendidikan Islam tadi tetap tidak banyak berubah. Realitas seperti ini dikhawatirkan memandulkan gerak pendidikan agama Islam.
2)
Tantangan di Bidang Kebudayaan
Menurut Drs. Akmal Hawi kebudayaan yaitu suatu hasil budaya
manusia baik bersifat material maupun mental spiritual dari bangsa itu sendiri
atau bangsa lain. kondisi demikian menyebabkan timbulnya proses akulturasi
(perpaduan atau yang lain), dimana faktor nilai yang mendasari kebudayaan
sendiri sangat menentukan survive (daya tahan) bangsa tersebut. Bilamana
nilai-nilai kultural bangsa itu melemah karena berbagai sebab, maka bangsa itu
akan mudah terperangkap atau tertelan oleh kebudayaan lain yang memasukinya,
sehingga identitas kebudayaan bangsa itu sendiri akan lenyap.
Kebudayaan yang baik tentu tidak menjadi masalah, bahkan menjadikan bangsa ini kaya akan budaya serta menambah kreativitas lembaga-lembaga pendidikan. Tantangan yang dihadapi lembaga pendidikan Islam ialah kebudayaan yang membawa dampak buruk (merusak cita-cita dan nilai-nilai Islam), seperti budaya yang menekankan pada materialistik dan hedonistik. Contoh kecil ialah trend seks bebas yang berkembang sekarang ini.
Kebudayaan yang baik tentu tidak menjadi masalah, bahkan menjadikan bangsa ini kaya akan budaya serta menambah kreativitas lembaga-lembaga pendidikan. Tantangan yang dihadapi lembaga pendidikan Islam ialah kebudayaan yang membawa dampak buruk (merusak cita-cita dan nilai-nilai Islam), seperti budaya yang menekankan pada materialistik dan hedonistik. Contoh kecil ialah trend seks bebas yang berkembang sekarang ini.
3)
Bidang Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi
Teknologi modern telah memungkinkan terciptanya komunikasi
bebas lintas benua, lintas negara, menerobos berbagai pelosok perkampungan di
pedesaan dan menyelusup di gang-gang sempit di perkotaan, melalui media audio
(radio) dan audio visual (televisi, internet, dan lain-lain). Fenomena modern
yang terjadi di awal milenium ketiga ini popular dengan sebutan globalisasi.
Menurut pendapat Arifin yang dikutip oleh Drs Akmal Hawi bahwa kehadiran alat-alat canggih tersebut akan berpengaruh terhadap proses pembelajaran. Alat-alat canggih ini akan membawa tantangan bagi pendidikan dalam pengembangan sumber daya manusia. Dan umumnya alat-alat teknologi ini diciptakan untuk mempermudah manusia bekerja dan berbuat serta dapat memberikan rasa senang kepada pemakaiannya.
Menurut pendapat Arifin yang dikutip oleh Drs Akmal Hawi bahwa kehadiran alat-alat canggih tersebut akan berpengaruh terhadap proses pembelajaran. Alat-alat canggih ini akan membawa tantangan bagi pendidikan dalam pengembangan sumber daya manusia. Dan umumnya alat-alat teknologi ini diciptakan untuk mempermudah manusia bekerja dan berbuat serta dapat memberikan rasa senang kepada pemakaiannya.
Kecepatan dunia yang berubah menuntut dan mensyaratkan
kemampuan belajar yang cepat, sehingga mampu menganalisa setiap situasi secara
logis dan memecahkan masalah secara kreatif. Kemajuan dibidang teknologi ini
pada akhirnya akan berpengaruh pada kejiwaan dan kepribadian masyarakat. Pada
era informasi ini yang sanggup bertahan hanyalah mereka yang berorientasi ke
depan, yang mampu mengubah pengetahuan menjadi kebijakan. Oleh karena itulah
dunia pendidikan Islam di masa sekarang benar-benar dihadapkan pada tantangan
yang cukup berat. Untuk mengantisipasinya maka dilakukan upaya yang strategis,
antara lain; tujuan pendidikan di masa sekarang tidak cukup hanya dengan
memberikan bekal pengetahuan, keterampilan, keimanan, dan ketakwaan saja. Tetap
juga harus diarahkan pada upaya melahirkan manusia yang kreatif, inovatif,
mandiri dan produktif, mengingat dunia yang akan datang adalah dunia
kompetitif.
4)
Tantangan di Bidang Ekonomi
Kehidupan ekonomi suatu bangsa banyak mempengaruhi
pertumbuhan lembaga pendidikan. Bahkan juga mempengaruhi sistem pendidikan yang
diberlakukan serta kelembagaan kependidikan yang bagaimana dapat menunjang
ataupun mengembangkan sistem ekonomi yang diinginkan. Bila dilihat dari sektor
ini, maka problem-problem kehidupan ekonomi perlu dijawab oleh lembaga-lembaga
pendidikan. Apabila dilihat bahwa hasil pendidikan adalah sama prosesnya dengan
hasil produksinya tenaga ahli. Maka ukuran ekonomi bagi suatu lembaga
pendidikan yang demikian itu adalah suatu hal yang terlalu alistis dan
pragmatis. Namun bidang inilah yang saat ini banyak memberikan tantangan kepada
lembaga pendidikan kita. Jawaban yang diberikan oleh lembaga kependidikan
antara lain tercermin dalam sistem kependidikan serta kurikulum atau program
kependidikan yang ditetapkan.
5)
Tantangan di Bidang Kemasyarakatan
Kemasyarakatan merupakan suatu lapangan hidup manusia yang
mengandung ide-ide yang sangat laten terhadap pengaruh kebudayaan, ilmu
pengetahuan dan teknologi. Sebagai sistem kehidupan, kemasyarakatan tidak
statis, melainkan cinderung berkembang secara dinamis. Pada era ini kekuatan
ekonomi seseorang terletak pada kepemilikannya terhadap informasi. Seseorang
yang memiliki informasi akan lebih memiliki peluang daripada yang tidak tahu
informasi. Dalam era informasi ini tentu ada dampak yang ditimbulkan baik
positif atau pun yang negatif. Dampak positif dari era informasi ini ialah
dapat mempermudah semua kegiatan manusia, sedangkan dampak negatifnya adalah
melemahnya fungsi daya mental-spritual jiwa yang sedang tumbuh dan berkembang,
seperti kecerdasan, pikiran ingatan, kemauan dan perasaan emosi. Menjawab
tantangan ini, Drs. Akmal Hawi mengungkapkan bahwa tugas lembaga pendidikan
Islam sebagai pemberi arah yang jelas terhadap perubahan yang ada di
masyarakat, karena perubahan yang terjadi dalam sistem kehidupan sosial
seringkali mengalami ketidakpastian tujuan.
6)
Tantangan di Bidang Sistem Nilai
Sistem nilai adalah tumpuan norma-norma yang dipegangi oleh
manusia sebagai makhluk individu dan sebagai makhluk sosial, baik itu berupa
norma transional maupun norma agama yang telah berkembang dalam masyarakat.
Sistem nilai juga dijadikan tolak ukur bagi tingkah laku manusia dalam
masyarakat yang mengandung potensi mengendalikan, mengatur dan mengarahkan
perkembangan masyarakat itu sendiri.
Posisi lembaga pendidikan kita saat ini sedang berada dalam
arena konflik nilai-nilai yang membawa kepada transisi nilai kehidupan. Nilai
spritual maupun moral-etik, yang amat sensitif terhadap sentuhan-sentuhan nilai
hedonistik materiil dari kemajuan iptek. Sekolah dalam posisi ini, perlu
bersikap dalam melaksanakan tugas pokoknya, yaitu membudayakan umat manusia
dengan nilai-nilai ideal. Sehingga mampu menjadi pondasi moral dan spritual
bagi tegaknya masyarakat yang adil dan makmur. Inilah misi lembaga pendidikan
kita (Islam) dalam menghadapi tantangan modernisasi yang harus berperan
interaktif antara pengaruh kekuatan ideal dari dalam dengan pengaruh realistis
dan pragmatis dari luar. Peran demikian baru berfungsi dengan baik jika para
pengelola lembaga pendidikan itu sadar terhadap tugasnya. Haidar Putra Daulay
menambahkan bahwa lembaga pendidikan Islam yang ideal adalah lembaga pendidikan
yang dapat merealisasi konsep kurikulum pendidikan Islam seutuhnya.
7)
Tantangan di bidang Sosial-Keagamaan
Tantangan sosiial keagamaanyang menekankan pada aplikasi
dari keberadaan lembaga pendidikan islam itu sendiri. Kehidupan social adalah
kehidupan yang sangat kompleks. Didalamnya banyak sekali terdapat
permasalahan-permasalahan yang tediri dari berbagai macam dan berbagai bentuk.
Apatah lagi Indonesia yang notabene terdiri dari berbagai macam adat budaya,
agama yang tidak satu, perbedaan tingkat pendidikan, ekonomi, dan sebagaimya
yang membuat kekompekan itu makin kompleks.
Social-keagamaan ini terdiri dari berlapis-lapis masalah
yang jika tidak di tanggapi dengan bijaksana maka akan terjadi perpecahan.
Keberadaan lembaga pendidikan islam itu akan benar-benar terasa kehadirannya
apabila mampu memaksimalkan potensi kelembagaanya yang tentu salah satu
tujuannya adalah menciptakan masyarakat yang beragama.
10. LEARNING SOCIETY (MASYARAKAT BELAJAR)
Sebelum
memahami konsep learning society ada
baiknya harus paham terlebih dahulu arti dari kata tersebut. Learning society diartikan sebagai
masyarakat belajar. Learning society adalah
memberdayakan peran masyarakat dan keluarga dalam kegiatan pendidikan.
Diharapkan masyarakat dan keluarga berperan aktif dalam hal belajar. Tentulah
jika masyarakat dan keluarga telah aktif untuk gemar belajar maka akan
terbentuk bangsa yang rajin belajar.
Seiring
dengan gencarnya sosialisasi tentang tema masyarakat madani (civil society),
pada saat ini juga sering disosialisasikan mengenai perlunya masyarakat belajar
(learning society) atau biasa juga disebut dengan educational society.
Learning society secara praktek sudah dilakukan oleh masyarakat
Indonesia -meski belum secara maksimal- namun secara konsep masih meraba-raba.
Artinya, bila civil society telah mulai diperkenalkan dan
disosialisasikan, maka untuk learning society belum ditemukan konsep
yang matang dan fixed, sehingga istilah learning society belum
populer didengungkan apalagi dimasyarakatkan (Al-Rasyidin dan Samsul Nizar,
2005).
Pembahasan
tentang learning society pada tahun 1971 telah diperkenalkan oleh
Torsten Husen. Menurut pendapatnya, seperti yang dikutip oleh Al-Rasyidin dan
Samsul Nizar, learning society adalah memberdayakan peran masyarakat dan
keluarga dalam bidang pendidikan.
Masyarakat Indonesia masih dalam tahap yang disebut
dengan schooling society dan reading society, sehingga perlu
upaya keras untuk menuju jenjang lebih tinggi. Jenjang yang harus dituju adalah
menjadi masyarakat yang learning society dan education. Upaya
tersebut bisa dicapai dengan mendukung minat baca masyarakatnya. Dan minat baca
akan muncul jika ketersediaan buku-buku dimasyarakat lengkap.
Terdapat juga pendapat yang
mengatakan bahwa dengan membangun learning
society dapat memberantas buta aksara yang terjadi dimasyarakat.
Berdasarkan data UNESCO pada tahun 1960 menyatakan bahwa 40% dari penduduk
dunia mengalami buta aksara. Namun, di Indonesia pada tahun 2000 terjadi
penurunan persentase masyarakat yang buta aksara.
Seperti
yang diketahui selama ini bahwa peranan lembaga pendidikan formal, seperti
sekolah, yang baru menjadi perhatian dan mendapatkan tempat dihati masyarakat.
Sementara pendidikan non formal dan informal di Indonesia belum mendapatkan
perhatian penuh, andaipun mendapatkan
perhatian hanya sedikit saja.
Selama
ini banyak anggapan terhadap dunia pendidikan yang terfokus pada pendidikan
formal, seperti sekolah saja tidaklah tepat, sebab konsep pendidikan dapat
diartikan secara luas. Hal ini dipahami untuk menyebut semua upaya untuk
mengembangkan tiga hal, yaitu pandangan hidup, sikap hidup dan keterampilan
hidup diri seseorang atau sekelompok orang. Dengan kata lain, untuk menyebutkan
peristiwa yang dampaknya ialah berkembangnya pandangan hidup, sikap hidup dan
keterampilan hidup diri seseorang atau sekelompok orang. Kalau suatu pendidikan
sejak awal dirancang untuk mengembangkan ketiga hal tersebut, maka hal ini
disebut sebagai pendidikan formal dan pendidikan non formal. Sebaliknya,
apabila suatu tindakan yang sebenarnya tidak dirancang untuk mengembangkan ketiga
hal tersebut, melainkan berdampak demikian, maka peristiwa tersebut dapat
dikatakan sebagai pendidikan informal.
Jika
dicermati lebih jauh, pemahaman terhadap ketiga jenis pendidikan tersebut
diketengahkan untuk memberikan pengertian baru terhadap peran pendidikan formal
dan non formal. Dalam pengertian baru ini, maka kegiatan pendidikan tidak hanya
terjadi di lingkungan sekolah, akan tetapi juga di lingkungan keluarga dan
lingkungan masyarakat. Pada gilirannya nanti tidak hanya pendidikan formal dalam
arti sempit, sekolah yang mendapatkan perhatian, akan tetapi juga pendidikan di
lingkungan keluarga dan pendidikan di lingkungan masyarakat (luar sekolah).
Seperti
yang dikutip oleh Muljono dari Al-Rasyidin dan Samsul Nizar (2005)
mengungkapkan beberapa harapan yang ingin dicapai melalui learning society,
khususnya jika dikaitkan dengan perwujudan masyarakat madani, menurut Tim
Nasional Reformasi Menuju Masyarakat Madani adalah sebagai berikut:
1)
Terciptanya masyarakat yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
2)
Terciptanya masyarakat yang
demokratis dan beradab yang menghargai adanya perbedaan pendapat;
3)
Masyarakat yang mengakui hak-hak
asasi manusia;
4)
Masyarakat yang tertib dan sadar
hukum, budaya malu apabila melanggar hukum yang melekat dalam semua lapisan
kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan;
5)
Masyarakat yang percaya pada diri
sendiri, memiliki kemandirian dan kreatif terhadap pemecahan masalah yng
dihadapi, masyarakat memiliki orientasi yang kuat pada penguasaan ilmu dan
teknologi;
6)
Sebagai bagian dari masyarakat
global, yang memiliki semangat kompetitif dalam suasana kooperatif, penuh
persaudaraan dengan bangsa-bangsa lain dengan semangat kemanusiaan yang
universal;
7)
Terwujudnya tatanan masyarakat yang
beradab yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dan martabat manusia;
8)
Mewujudkan masyarakat belajar yang
tumbuh dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat.
Jadi,
untuk mewujudkan masyarakat yang gemar belajar, perlu usaha-usaha yang
dilakukan. Usaha tersebut adalah membentuk keluarga agar menjadi keluarga yang
gemar belajar. Keluarga mempengaruhi perkembangan generasi selanjutnya di masa
yang akan datang. memang tidak gampang mewujudkan keluarga gemar belajar.
Namun, keberanian untuk mencoba dan berpikir kritis serta inovatif dapat
membantu dalam mewujudkan keluarga gemar belajar.
11. PEMIKIRAN IKWAN AL-SHAFA TENTANG FILSAFAT PENDIDIKAN
ISLAM
a.
Konsep Pendidikan Ikhwan-Al-Shafa
Menurut
Ikhwan al-Shafa, aktivitas pendidikan dimulai sejak sebelum kelahiran. Sebab,
kondisi diri bayi dan perkembangannya sudah dipengaruhi oleh keadaan kehamilan
dan kesehatan sang ibu yang hamil. Dengan demikian, perhatian pendidikan harus
sudah diberikan sejak masa janin dalam rahim.
Kesadaran
kuat Ikhwan al-Shafa terhadap urgensi indera dalam memperoleh pengetahuan dan
implikasinya dalam keberadaan manusia, baik dataran empiris-sensual maupun
empiris-logis, membawa mereka pada pengapresiasian peran dan fungsi fisik dan
jasmaniah untuk kebahagiaan manusia dan kenormalan hidupnya. Di sini mereka
menekankan perlunya memperhatikan fisik-jasmaniah, memeliharanya
dan mengaturnya dengan seksama.
1)
Konsep tujuan pendidikan menurut Ikhwan al-Shafa
Ikhwan al- shafa mengawali pengkajiannya dengan
merumuskan tujuan-tujuan individual dan sosial yang ingin direalisasikan
melalui aktivitas pendidikan. Secara nyata mereka memberi porsi lebih terhadap
tujuan sosial dibandingkan dengan
tujuan individual.
Ikhwan al-Shafa mengkonsepsikan ilmu bukan sebagai sesuatu
yang mengandung tujuan dalam dirinya sendiri. Ilmu itu harus difungsikan
untuk pelayanan tujuan luhur kependidikan, yaitu pengenalan diri.
Menurutnya, tujuan para filsof dan pakar mempelajari ilmu-ilmu pasti dan
mengajarkannya kepada para murid adalah untuk pembentukan karakter diri (al-suluk)
dan penitian ke arah penguasaan ilmu kealaman, sedangkan tujuan mereka
mempelajari ilmu kealaman adalah untuk pendakian menuju penguasaan ilmu
ketuhanan (teologis) yang
menjadi tujuan puncak para filosof, dan muara dari ragam pengetahuan tentang
hakikat.
Mengingat tahapan awal dari pemahaman ilmu ketuhanan
adalah pengenalan akan substansi jiwa, pengkajian tentang awal kejadiannya
sebelum bersatu dengan jasadnya, penelaahan tentang muara akhirnya setelah
berpisah dengan jasad dan tentang perihal pahala yang akan diterima orang-orang
yang baik di akhirat, dan hal-hal lain. mengingat juga bahwa manusia
dituntut untuk mengenali (ma’rifat) terhadap Tuhannya, dan itu dapat
diraih ketika manusia itu mampu mengenali dirinya sendiri, seperti firman
Allah, ”Dan tidaklah ada orang yang membenci agamanya Ibrahim, kecuali orang
yang tidak mengenali dirinya sendiri”, dan seperti yang diungkapkan, bahwa Barang
siapa mengenali dirinya sendiri maka ia akana mampu menganali (ma’rifat)
Tuhannya. maka manusia dituntut untuk mempelajari ilmu jiwa, pengetahuan
tentang substansinya dan cara penyuciannya. Allah berfirman, ”Demi jiwa dan
apa yang telah menyempurnakannya. Dia telah membekali jiwa keburukan dan
ketakwaannya. Sungguh beruntung orang yang mau membersihkan jiwa, dan sungguh
merugi orang yang mengotorinya.”
2)
Konsep manusia dalam pandangan Ikhwan al-Shafa
Kelompok
Ikhwan al-Shafa mempunyai pandangan dualistik
tentang konsep dasar manusia. Menurutnya manusia tersusun dari unsur
fisik-biologis dan unsur jiwa-rohaniah. Unsur fisik-biologis, manusia
berkecenderungan untuk kekal di dunia dan hidup selama-lamanya. Sedangkan unsur
jiwa-rohaniahnya, manusia berkecenderungan untuk meraih akhirat dan keselamatan
di sana. Dengan demikian kondisi kehidupan manusia diwarnai oleh dualitas berlawanan,
seperti hidup dan mati, pengetahuan dan kebodohan, ingat dan lupa, serta susah
dan senang.
Ikhwan
al-Shafa secara halus menguatkan pengakuan mereka tantang ragam potensi
psikomotorik, kognitif, dan afektif pada masing-masing individu. Ikhwan menempatkan fungsi-fungsi
spiritual yang bersifat afektif pada hierarki paling atas dan mulia
dibandingkan dengan fungsi-fungsi lainnya.
Dalam hal anak didik, Ikhwan al-Shafa memandang bahwa
perumpamaan orang yang belum dididik ilmu akidah ibarat kertas yang masih putih
bersih, belum ternoda apapun juga. Apabila kertas ini ditulis sesuatu, maka
kertas tersebut telah memiliki bekas yang tidak mudah dihilangkan. Pandangan
ini lebih dekat dengan teori Tabularasa John Locke (Empirism). Aliran ini
menilai bahwa awal pengetahuan terjadi karena panca indera berinteraksi dengan alam nyata. Sebelum
berinteraksi dengan alam nyata itu di dalam akal tidak terdapat pengetahuan
apapun.
Ikhwan al-Shafa berpendapat bahwa ketika lahir, jiwa
manusia tidak memiliki pengetahuan sedikitpun. Proses memperoleh pengetahuan
digambarkan Ikhwan al-Shafa secara dramatis dilakukan melalui pelimpahan (al-faidh).
Proses pelimpahan tersebut bermula dari jiwa universal (al-nafs al-kulliyah)
kepada jiwa manusia, setelah terlebih dahulu melalui proses emanasi. Pada
mulanya, jiwa manusia kosong. Setelah indera berfungsi, secara berproses
manusia mulai menerima rangsangan dari alam sekitarnya. Semua rangsangan
inderawi ini melimpah ke dalam jiwa. Proses ini pertama kali memasuki daya
pikir (al-quwwah al-mufakkirat), kemudian diolah untuk selanjutnya
disimpan ke dalam rekoleksi atau daya simpan (al-quwwah al-hafizhat)
sehingga akhirnya sampai pada daya penuturan (al-quwwah al-nathiqat)
untuk kemudian siap direproduksi.
Pandangan Ikhwan al-Shafa di atas berbeda dengan konsep fitrah dalam pendidikan
Islam, bahwa manusia sejak lahir telah membawa potensi dasar (kemampuan dasar
untuk beragama) yang diberikan Allah. Jadi, sejak lahir manusia sudah punya
modal ”fitrah” tidak layaknya kertas putih (kosong). Modal itulah yang nantinya
akan dikembangkan oleh orang tua, masyarakat, sekolah maupun lingkungan cyber
universe yang diciptakan oleh kemajuan teknologi informasi (internet).
3)
Konsep pendidik menurut Ikhwan
al-Shafa
Ikhwan al-shafa
menempatkan pendidik pada posisi strategis dan inti dalam kegiatan pendidikan.
Mereka harus mempunyai kecerdasan, kedewasaan, keluasan moral, ketulusan hati,
kejernihan pikiran, etos keilmuan dan tidak fanatik
buta pada diri pendidik. Mereka menganggap bahwa mendidik sama dengan
menjalankan fungsi “bapak” kedua, karena pendidik atau guru merupakan bapak
bagi dirimu, pemelihara bagi pertumbuhan dan perkembangan jiwamu, sebagaimana
halnya kedua orang tuamu adalah pembentuk rupa fisik-biologismu, maka guru
adalah pembentuk mental-rohaniahmu.
b.
Implikasi dan Relevansi Pemikiran Pendidikan Ikhwan
al-Shafa di Era Global
Ada beberapa implikasi dari pemikiran pendidikan Ikhwan
al-Shafa di era global, diantaranya sebagai
konsekuensi formulasi relasi komplementer dari konsepsi Ikhwan al-Shafa tentang
manusia, pengetahuan, ilmu/program kurikuler dan belajar, maka mereka membangun
teori pendidikan yang komprehensif, sempurna dan gradual.
Menurut Ikhwan al-Shafa, pengetahuan umum dapat diperoleh
dengan tiga cara, yaitu : indera, akal untuk berpikir murni dan inisiasi. Melalui panca indera yang dengannya
manusia dapat
memperoleh pengetahuan tentang perubahan-perubahan yang dapat ditangkap oleh indera. Dengan akal
prima atau berpikir murni yang dibantu dengan indera, kal sebagai alat untuk
memahami dan menggambarkan sesuatu agar seseorang mencapai hakikat yang
menuntunnya beriman kepada-Nya, akal yang dapat menangkap hal-hal abstrak, akal
sebagai dorongan moral dan untuk mengambil pelajaran/hikmah. Melalui inisiasi yang berkaitan erat
dengan doktrin esoteris Ikhwan al-Shafa, yakni melalui cara ini seseorang mendapatkan ilmu
pengetahuan secara langsung dari guru, yakni guru dalam pengertian seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya,
Dalam artian bahwa
manusia dapat belajar pengetahuan melalui apapun, termasuk melalui alam.
Dengannya akan membuat seseorang akan mengenal sumber dari segala sumber ilmu,
yakni Allah swt.
Secara tersirat bahwa dalam konsep manusia (peserta
didik) dalam pandangan Ikhwan al-Shafa secara
halus menguatkan pengakuan mereka tantang ragam potensi psikomotorik, kognitif,
dan afektif pada masing-masing individu. Hal ini tentu relevan dengan pendidikan yang ada pada
zaman sekaran ini yang dalam pembelajaran di kelas sangat mengutamakan ketiga
ranah tersebut dalam setiap aspek yang di ajarkan di dalam kelas, tidak
terkecuali penilaian dan evaluasi dalam pembelajaran yang bersifat autentik
yang mencakup ketiga ranah tersebut.
Pandangan Ikhwan
menempatkan fungsi-fungsi spiritual yang bersifat afektif pada hierarki paling atas dan mulia dibandingkan dengan
fungsi-fungsi lainnya. Hal ini berarti bisa dikatakan bahwa Ikhwan al-Shafa sangat mengedepankan
religiousitas dan akhlak seseorang sebagai bagian dari tujuan pendidikan.
Selain itu, tujuan luhur
kependidikan yaitu pengenalan
diri. Melalui
pengenalan seseorang terhadap dirinya sendiri maka ia akan dapat mengenal
Tuhannya.
12. PEMIKIRAN ZAINUDIN LABAY EL-YUNUS
Dalam bidang pendidikan beliau termasuk orang pertama yang
memperkenalkan sistem sekolah yang baru. Dengan membuka sekolah guru Diniyah
(1915) beliau mempergunakan sistem berkelas dengan kurikulum yang lebih
teratur. Beliau mendirikan Diniyah School, yang merupakan madrasah sore untuk
pendidikan agama yang diorganisasikan berdasarkan sistem klasikal dan tidak
mengikuti sistem pengajaran tradisional yang individual. Begitu pula susunan
pelajarannya berbeda dengan yang lain, yaitu dimulai dengan pengetahuan dasar
bahasa Arab sebelum memulai membaca al-Qur’an.
Materi yang ditawarkan bukan hanya ilmu agama, tetapi juga
ilmu umum sebagaimana yang diajarkan dilembaga pendidikan governement, seperti
bahasa asing, ilmu bumi, sejarah dan matematika. Beliau juga mengorganisir
sebuah klub musik untuk murid-muridnya. Selan itu, murid-murid Diniyah School
pada umumnya diseleksi dengan cermat dan memenuhi syarat yang telah ditetapkan,
seperti murid-murid dalam satu kelas yang rata-rata memiliki umur dan
kecerdasan yang sama. Pada permulaan
tahun itu, Hamka adalah murid sekolah tersebut.
Dia berpendapat bahwa Zainuddin Labay banyak mengambil
metode dari Mesir dalam menyelenggarakan pendidikannya. Akan tetapi juga dapat
diterima bahwa garis besar pengajaran di Madrasah ini juga memakai unsur
pendidikan governement yang sudah diikuti beliau selama empat tahun, dan
sejumlah besar muridnya juga masih mengikuti pendidikan pada pagi hari
disekolah governement. Selain Hamka murid-murid beliau antara lain adalah, AR.
St. Mansur, Duski Sanad, dan adik beliau yaitu Rahmah el-Yunusiyah.
Bahasa yang dipergunakan beliau dalam mengajar adalah bahasa
Arab. Meskipun bahasa pengantar yang dipergunakan bahasa Arab, namun materi
pendidikan yang diterapkan meliputi pendidikan agama dan umum yang langsung
diambil dari buku-buku Mesir dan Belanda. Dan untuk mata pelajaran bahasa Arab
beliau tidak menggunakan buku atau kitab nahwu dan sharaf dalam bentuk sajak
yang begitu rumit, tetapi beliau menggunakan buku yang sederhana seperti yang
digunakan di sekolah dasar Mesir. Untuk mata pelajaran fiqh dan sejarah Islam
yang dahulu tidak diperhatikan, beliau menyusun dalam bahasa melayu, sedang
untuk kelas yang lebih tinggi dalam bahasa Arab yang sederhana. Sedangkan untuk
kelas tertinggi beliau selalu menggunakan buku-buku yang diterbitkan di Kairo
maupun Beirut.
Melalui pendidikan yang didirikannya, beliau mengharapkan
dapat menciptakan out put yang bekualitas, tidak hanya ilmu agama yang menjadi
tumpuan akhir cita-cita hidup seseorag akan tetapi ilmu umum lainnya juga. Out
put seperti ini yang sangat diharapkan dan dibutuhkan umat dan bangsa ini untuk
membangun peradaban dan mengejar ketertinggalannya selama ini. Dalam
mengajarkan ilmu-ilmu agama, beliau lebih banyak mengambil metode Mesir. Akan
tetapi dalam mengajarkan ilmu-ilmu umum, beliau cenderung mengambil gagasan pembaharuan
pendidikan yang dikembangkan oleh Musthafa Kamil Pasya, Muhammad Abduh, dan
Rasyid Ridha. Kedua pendekatan ini terlihat jelas dari kitab yang digunakan
lembaga ini. Disamping kitab yang dikarangnya, beliau juga menggunakan kitab
Arab sebagaimana pendidikan Mesir untuk ilmu agama dan ilmu umum menggunakan
literatur Barat.
Selain melalui lembaga pendidikan formal yang didirikannya,
beliau juga memanfaatkan majalah al-Munir sebagai media pendidikan agama Islam.
Melalui berbagai tulisannya , beliau mencoba membuka wawasan umat Islam tentang
universalitas ajaran Islam. Beliau bahkan tidak segan-segan mengeluarkan
pendapat yang bertentangan dengan fatwa umat terdahulu, jika memang menurut
pandangan beliau pendapat tersebut tidak lagi sesuai dengan ruh universal
ajaran Islam. Dalam upaya ini, beliau seringkali mendapat kritikan dan
tantangan dari para ulama tradisional. Beliau bahkan dituduh sebagai ulama yang
sesat dan ulama Wahabi yang telah keluar dari mazhab Ahl al-Sunnah wa
al-Jama’ah. Namun hal demikian tidak membuat beliau “patah semangat”, bahkan
semakin mendorongnya untuk tetap kritis dan konsisten dengan ide-ide
pembaharuannya. Oleh karena itu, tidak heran jika Steenbrink menilai
ketokohannya sebagai sosok ulama yang memiliki kepribadian yang kokoh. Dan perhatian beliau terhadap pembaharuan
pendidikan Islam sangat kuat. Hal ini terbukti dengan aktivitas kependidikan
yang dilakukannya, mulai dengan mengajar di Surau Jembatan Besi sampai akhirnya
beliau mendirikan sekolah yang beliau beri nama Diniyah School pada tahun 1915
13. PEMIKIRAN NAQUIB AL-ATTAS TENTANG PENDIDIKAN ISLAM
Al-attas berusaha menampilkan wajah pendidikan Islam sebagai suatu
pendidikan terpadu.
Hal tersebut dapat secara jelas dilihat dari tujuan
pendidikan yang dirumuskannya, yakni terwujudnya manusia yang 'baik', yaitu
manusia yang universal(Al-Insan Al-Kamil). Insan kamil yang dimaksud adalah
manusia yang bercirikan: Pertama; manusia yang seimbang, memiliki
keterpaduan dua dimensi kepribadian; a). dimensi isoterikvertikal yang intinya
tunduk dan patuh kepada Allah dan b). dimensi eksoterik, dialektikal,
horizontal, yaitu membawa misi keselamatan bagi lingkungan sosial alamnya. Kedua;
manusia seimbang dalam kualitas pikir, dzikir dan amalnya (Achmadi, 1992: 130).
Maka untuk menghasilkan manusia seimbang yang bercirikan tersebut merupakan
suatu keniscayaan adanya upaya maksimal dalam mengkondisikan lebih dahulu
paradigma pendidikan yang terpadu.
Dari deskripsi di atas, dapat ketahui bahwa orientasi
pendidikan Al-Attas adalah mengarah pada pendidikan yang bercorak moral
religius yang tetap menjaga prinsip keseimbangan dan keterepaduan sistem. Hal
tersebut terlihat dalam konsepsinya tentang Ta’dib (adab) yang menurutnya telah
mencakup konsep ilmu dan amal. Di situ dipaparkan bahwa setelah manusia
dikenalkan akan posisinya dalam tatanan kosmik lewat proses pendidikan, ia
diharapakan dapat mengamalkan ilmunya dengan baik di masyarakat berdasarkan
adab, etika dan ajaran agama. Dengan bahasa yang berbeda dapat dikatakan bahwa
penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi harus dilandasi pertimbangan
nilai-nilai dan ajaran agama.
Hal itu merupakan indikator bahwa pada dasarnya paradigma
pendidikan yang ditawarkan Al-Attas lebih mengacu kepada aspek
moral-transendental (afektif) meskipun juga tidak mengabaikan aspek kognitif
(sensual–logis) dan psikomotorik (sensual-empiris). Hal ini relevan dengan
aspirasi pendidikan Islami, yakni aspirasi yang bernafaskan moral dan agama.
Karena dalam taksonomi pendidikan Islami, dikenal adanya aspek transendental,
yaitu domain iman disamping tiga domain kognitif, afektif dan psikomotorik.
Domain Iman diperlukan dalam pendidikan Islam, karena ajaran Islam tidak hanya
menyangkut hal-hal yang rasional, tetapi juga menyangkut hal-hal yang supra
rasional, dimana akal manusia tidak akan mampu menangkapnya, kecuali didasari
dengan iman, yang bersumber dari wahyu, yaitu Al-Qur'an dan Al-Hadits. Domain
Iman merupakan titik sentral yang hendak menentukan sikap dan nilai hidup
peserta didik, dan dengannya pula menentukan nilai yang dimiliki dan amal yang
dilakukan.
a. Kondisi obyektif pendidikan Islam dewasa ini
Untuk
memotret bagaimana kondisi dunia pendidikan Islam dewasa ini, setidaknya bisa
dicerna pandangan dan penilaian kritis para cendekiawan muslim, dimana secara
makro dapat disimpulkan bahwa ia masih mengalami keterjajahan oleh konsepsi
pendidikan Barat. Walaupun statemen ini berupa tesis atau hipotesa yang perlu
dikaji ulang, tetapi ia sangat penting sebagai cermin dan refleksi untuk
memperbaiki wajah pendidikan Islam yang dicita-citakan.
Prof.
Dr. Isma’il Raji Al-Faruqi dalam karya monumentalnya islamization of knowlegde:
general principles and workplan mensinyalir bahwa kondisi umat Islam saat ini
sangat memprihatinkan, berada di bawah anak tangga bangsa-bangsa terbawah. Al-Faruqi
meyakini bahwa kondisi umat islam yang memprihatinkan ini, disebabkan oleh
sistem pendidikan yang dipakai jiplakan dari sistem pendidikan Barat, baik
materi maupun metodologinya (AL-Faruqi, 1984:17).
Tidak
bisa dipungkiri, bahwa masyarakat Islam di seluruh dunia sedang berada dalam
arus perubahan yang sangat dahsyat seiring datangnya era globalisasi dan
informasi. Sebagai masyarakat mayoritas dalam dunia ketiga, sungguhpun telah
berusaha menghindari pengaruh westernisasi, tetapi dalam kenyataannya
modernisasi yang diwujudkan melalui pembangunan berbagai sektor termasuk
pendidikan, intervensi dan westernisasi tersebut sulit dielakkan.
Sehubungan
dengan itu Fazlur Rahman Anshari yang selanjunya dikutip oleh Muhaimin,
menyatakan : bahwa dunia Islam saat ini menghadapi suatu krisis yang belum
pernah dialami sepanjang sejarahnya, sebagai akibat dari benturan peradaban
Barat dengan dunia Islam.
Khursyid Achmad, seorang pakar
muslim asal Pakistan, mencatat empat kegagalan yang ditemui oleh sistem
pendidikan Barat yang liberal dan sekuler, yaitu: Pertama, pendidikan
telah gagal mengembangkan cita-cita kemasyarakan di kalangan pelajar. Kedua,
pendidikan semacam ini gagal menanamkan nilai moral dalam hati dan jiwa
generasi muda. Pendidikan semacam ini hanya memenuhi tuntutan pikiran, tetapi
gagal memenuhi kebutuhan jiwa. Ketiga, pendidikan liberal membawa akibat
terpecah belahnya ilmu pengetahuan. Ia gagal menyusun atau menyatukan ilmu
dalam kesatuan yang utuh. Empat, selanjutnya pendidikan liberal menghasilkan
manusia yang tiadak mampu menghadapi masalah kehidupan yang mendasar. (Achmad,
1992:22-23).
Sementara
Al-Attas melihat bahwa universitas modern (baca:Barat) tidak mangakui
eksistensi jiwa atau semangat yang ada pada dirinya, dan hanya terikat pada
fungsi administratif pemeliharaan pembangunan fisik.
Dari
berbagai pemaparan di atas Dapat disimpulkan bahwa kondisi pendidikan dewasa
ini, secara makro telah terkontaminasi dan terinvensi konsep pendidikna Barat.
Dimana paradigma pendidikan Barat tersebut secara garis besar dapat dikatakan
hanya mengutamakan pengejaran pengetahuan yang menitik beratkan pada segi
teknik empiris, sebaliknya tidak mengakui eksistensi jiwa, tidak mempunyai arah
yang jelas serta jauh dari landasan spiritual.
b.
Menuju
paradigma pendidikan Islam
Melihat
kondisi pendidikan dewasa ini sebagaimana telah dideskripsikan, maka peniruan
terhadap konsepsi pendidikan Barat harus dihentikan, karena tidak sesuai dengan
dengan cita-cita pendidikan Islam. Sebaliknya merupakan suatu keniscayaan untuk
mencari paradigma pendidikan yang paling sesuai dengan cita-cita islam.
Dalam
wacana ilmiah, setidaknya dapat dikemukakakan beberapa alasan mendasar tentang
pentingnya realisasi paradigma pendidikan Islam. Pertama, Islam sebagai wahyu
Allah yang meruapakan pedoman hidup manusia untuk mencapia kesejahteraan di
dunia dan akherat, baru bisa dipahami, diyakini, dihayati dan diamalkan setelah
melalui pendidikan. Disamping itu secara fungsional Nabi Muhammad, sendiri di
utus oleh Allah sebagai pendidikan utama manusia. Kedua, ilmu pendidikan
sebagai ilmu humaniora juga termasuk ilmu normatif, sebab ia terikat dengan
norma-norma tertentu. Disini nilai-nilai Islam sangat memadai untuk dijadikan
sentral norma dalam ilmu pendidikan itu.
Ketiga,
dalam memecahkan dan menganalisa berbagai masalah pendidikan selama ini
cenderung mengambil sikap seakan-akan semua permasalahn pendidikan, baik makro
maupun mikro diyakini dapat diterangkan dengan teori-teori atau filsafat
pendidikan Barat, padahal yang disebut terakhir tadi bersifat sekuler. Oleh
karena itu, nilai-nilai ideal Islam mestinya akan lebih sesuai untuk
menganalisa secara kritis fenomena kependidikan (Lihat Achmadi, 1992: viii-ix).
c.
Aktualisasi
konsep Al-Attas dalam pendidikan Islam
masa kini
Berdasarkan
pada fenomena dan kondisi obyektif dunia pendidikan masa kini pada umumnya dan
pendidikan Islam pada khususnya, maka pemikiran pendidikan Islam yang
terformula dalam konsep ta’dib yang ditawarkan Al-Attas, sungguh memilki
relevansi dan signifikansi yang tinggi serta layak dipertimbangkan sebagai
solusi alternatif untuk diaktualisasikan dan di implementasikan dalam dunia
pendidikan Islam. Karena pada dasarnya ia merupakan konsep pendidikan yang
hendak mengintegrasikan dikhotomi ilmu pengetahuan, menjaga keseimbangan-equilibrium,
bercorak moral dan religius. Secara ilmiah Al-Attas telah mengemukakan
proposisi-proposisinya sehingga menjadi sebuah konsep pendidikan yang sangat
jelas. Sehingga bukanlah suatu hal yang naif bahwa statement Al-Attas ini
merupakan sebuah jihad intelektual dalam menemukan paradigma pendidikan Islam.
Bila dicobakan untuk berdialog dengan filsafat ilmu, apa yang diformulasikan
oleh Al-Attas dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik dari dataran
ontologis, epistemologis maupun aksiologis.
No comments:
Post a Comment