MAKALAHKU: FILSAFAT PENDIDIKAN

SELAMAT DATANG DAN SEMOGA BERMANFAAT

Tuesday, July 25, 2017

FILSAFAT PENDIDIKAN

NAMA                       : BROJO HERMANT
JURUSAN                 : FILSAFAT AGAMA
MATAKULIAH       :FILSAFAT PENDIDIKAN
TUGAS                      : RESUME
1.      PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP FILSAFAT PENDIDIKAN
a.      Pengertian Filsafat pendidikan Islam
 Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata Philo yang berarti cinta, dan kata Sophos yang berarti ilmu atau hikmah. Dengan demikian, filsafat berarti cinta cinta terhadap ilmu atau hikmah. Terhadap pengertian seperti ini al-Syaibani mengatakan bahwa filsafat bukanlah hikmah itu sendiri, melainkan cinta terhadap hikmah dan berusaha mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya dan menciptakan sikap positif terhadapnya. Selanjutnya ia menambahkan bahwa filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat, dan berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia.
Selain itu terdapat pula teori lain yang mengatakan bahwa filsafat berasal dari kata Arab falsafah, yang berasal dari bahasa Yunani, Philosophia: philos berarti cinta, suka (loving), dan sophia yang berarti pengetahuan, hikmah (wisdom). Jadi, Philosophia berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran atau lazimnya disebut Pholosopher yang dalam bahasa Arab disebut failasuf.
Sementara itu, A. Hanafi, M.A. mengatakan bahwa pengertian filsafat telah mengalami perubahan-perubahan sepanjang masanya. Pitagoras (481-411 SM), yang dikenal sebagai orang yang pertama yang menggunakan perkataan tersebut. Dari beberapa kutipan di atas dapat diketahui bahwa pengertian fisafat dar segi kebahsan atau semantik adalah cinta terhadap pengetahuan atau kebijaksanaan. Dengan demikian filsafat adalah suatu kegiatan atau aktivitas yang menempatkan pengetahuan atau kebikasanaan sebagai sasaran utamanya.
Filsafat juga memilki pengertian dari segi istilah atau kesepakatan yang lazim digunakan oleh para ahli, atau pengertian dari segi praktis. Selanjutnya bagaimanakah pandangan para ahli mengenai pendidikan dalam arti yang lazim digunakan dalam praktek pendidikan.Dalam hubungan ini dijumpai berbagai rumusan yang berbeda-beda.
Ahmad D. Marimba, misalnya mengatakan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si - terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Berdasarkan rumusannya ini, Marimba menyebutkan ada lima unsur utama dalam pendidikan, yaitu
 1) Usaha (kegiatan) yang bersifat bimbingan, pimpinan atau pertolongan yang dilakukan secara sadar.
 2) Ada pendidik, pembimbing atau penolong.
 3) Ada yang di didik atau si terdidik.
4) Adanya dasar dan tujuan dalam bimbingan tersebut, dan
 5) Dalam usaha tentu ada alat-alat yang dipergunakan.
Sebagai suatu agama, Islam memiliki ajaran yang diakui lebih sempurna dan kompherhensif dibandingkan dengan agama-agama lainnya yang pernah diturunkan Tuhan sebelumnya. Sebagai agama yang paling sempurna ia dipersiapkan untuk menjadi pedoman hidup sepanjang zaman atau hingga hari akhir. Islam tidak hanya mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di akhirat, ibadah dan penyerahan diri kepada Allah saja, melainkan juga mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia termasuk di dalamnya mengatur masalah pendidikan. Sumber untuk mengatur masalah pendidikan. Sumber untuk mengatur kehidupan dunia dan akhirat tersebut adalah al Qur’an dan al Sunnah.
Sebagai sumber ajaran, al Qur’an sebagaimana telah dibuktikan oleh para peneliti ternyata menaruh perhatian yang besar terhadap masalah pendidikan dan pengajaran. Demikian pula dengan al Hadist, sebagai sumber ajaran Islam, di akui memberikan perhatian yang amat besar terhadap masalah pendidikan. Nabi Muhammad SAW, telah mencanangkan program pendidikan seumur hidup ( long life education ).
Dari uraian diatas, terlihat bahwa Islam sebagai agama yang ajaran-ajarannya bersumber pada al- Qur’an dan al Hadist sejak awal telah menancapkan revolusi di bidang pendidikan dan pengajaran. Langkah yang ditempuh al Qur’an ini ternyata amat strategis dalam upaya mengangkat martabat kehidupan manusia. Kini di akui dengan jelas bahwa pendidikan merupakan jembatan yang menyeberangkan orang dari keterbelakangan menuju kemajuan, dan dari kehinaan menuju kemuliaan, serta dari ketertindasan menjadi
Dan demikian kami wahyukan kepadamu wahyu (al Qur’an) dengan perintah kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah iman itu, tetapi kami menjadikan al Qur’an itu cahaya yang kami kehendaki diantara hamba-hamba kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benarbenar memberi petunjuk kepada jalan yang benar (QS.Asy-Syura: 52)”
 Dan Hadis dari Nabi SAW : “ Sesungguhnya orang mu’min yang paling dicintai oleh Allah ialah orang yang senantiasa tegak taat kepada-Nya dan memberikan nasihat kepada hamba-Nya, sempurna akal pikirannya, serta mengamalkan ajaran-Nya selama hayatnya, maka beruntung dan memperoleh kemenangan ia” (al Ghazali, Ihya Ulumuddin hal. 90)”
 Dari ayat dan hadis di atas tadi dapat diambil kesimpulan :
1. Bahwa al Qur’an diturunkan kepada umat manusia untuk memberi petunjuk kearah jalan hidup yang lurus dalam arti memberi bimbingan dan petunjuk kearah jalan yang diridloi Allah SWT.
2. Menurut Hadist Nabi, bahwa diantara sifat orang mukmin ialah saling menasihati untuk mengamalkan ajaran Allah, yang dapat diformulasikan sebagai usaha atau dalam bentuk pendidikan Islam.
 3. Al Qur’an dan Hadist tersebut menerangkan bahwa nabi adalah benar-benar pemberi petunjuk kepada jalan yang lurus, sehingga beliau memerintahkan kepada umatnya agar saling memberi petunjuk, memberikan bimbingan, penyuluhan, dan pendidikan Islam. Bagi umat Islam maka dasar agama Islam merupakan fondasi utama keharusan berlangsungnya pendidikan. Karena ajaran Islam bersifat universal yang kandungannya sudah tercakup seluruh aspek kehidupan ini. Pendidikan dalam arti umum mencakup segala usaha dan perbuatan dari generasi tua untuk mengalihkan pengalamannya, pengetahuannya, kecakapannya, serta keterampilannya kepada generasi muda untuk memungkinkannya melakukan fungsi hidupnya dalam pergaulan bersama, dengan sebaik-baiknya.
Corak pendidikan itu erat hubungannya dengan corak penghidupan, karenanya jika corak penghidupan itu berubah, berubah pulalah corak pendidikannya, agar si anak siap untuk memasuki lapangan penghidupan itu. Pendidikan itu memang suatu usaha yang sangat sulit dan rumit, dan memakan waktu yang cukup banyak dan lama, terutama sekali dimasa modern dewasa ini. Pendidikan menghendaki berbagai macam teori dan pemikiran dari para ahli pendidik dan juga ahli dari filsafat, guna melancarkan jalan dan memudahkan cara-cara bagi para guru dan pendidik dalam menyampaikan ilmu pengetahuan dan pengajaran kepada para peserta didik. Kalau teori pendidikan hanyalah semata-mata teknologi, dia harus meneliti asumsi-asumsi utama tentang sifat manusia dan masyarakat yang menjadi landasan praktek pendidikan yang melaksanakan studi seperti itu sampai batas tersebut bersifat dan mengandung unsur filsafat. Memang ada resiko yang mungkin timbul dari setiap dua tendensi itu, teknologi mungkin terjerumus, tanpa dipikirkan buat memperoleh beberapa hasil konkrit yang telah dipertimbangkan sebelumnya didalam sistem pendidikan, hanya untuk membuktikan bahwa mereka dapat menyempurnakan suatu hasil dengan sukses, yang ada pada hakikatnya belum dipertimbangkan dengan hati-hati sebelumnya.
 Sedangkan para ahli filsafat pendidikan, sebaiknya mungkin tersesat dalam abstraksi yang tinggi yang penuh dengan debat tiada berkeputusan,akan tetapi tanpa adanya gagasan jelas buat menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang ideal. Tidak ada satupun dari permasalahan kita mendesak dapat dipecahkan dengan cepat atau dengan mengulang-ulang dengan gigih kata-kata yang hampa. Tidak dapat dihindari, bahwa orang-orang yang memperdapatkan masalah ini, apabila mereka terus berpikir,yang lebih baik daripada mengadakan reaksi, mereka tentu akan menyadari bahwa mereka itu telah membicarakan masalah yang sangat mendasar. Sebagai ajaran (doktrin) Islam mengandung sistem nilai diatas mana proses pendidikan Islam berlangsung dan dikembangkan secara konsisten menuju tujuannya.
Sejalan dengan pemikiran ilmiah dan filosofis dari pemikir-pemikir sesepuh muslim, maka sistem nilai-nilai itu kemudian dijadikan dasar bangunan (struktur) pendidikan islam yang memiliki daya lentur normatif menurut kebutuhan dan kemajuan.
Pendidikan Islam mengidentifikasi sasarannya yang digali dari sumber ajarannya yaitu Al Quran dan Hadist, meliputi empat pengembangan fungsi manusia :
 1. Menyadarkan secara individual pada posisi dan fungsinya ditengah-tengah makhluk lain serta tanggung jawab dalam kehidupannya.
2. Menyadarkan fungsi manusia dalam hubungannya dengan masyarakat, serta tanggung jawabnya terhadap ketertiban masyarakatnya.
3. Menyadarkan manusia terhadap pencipta alam dan mendorongnya untuk beribadah kepada Nya Menyadarkan manusia tentang kedudukannya terhadap makhluk lain dan membawanya agar memahami hikmah tuhan menciptakan makhluk lain, serta memberikan kemungkinan kepada manusia untuk mengambil manfaatnya Setelah mengikuti uraian diatas kiranya dapat diketahui bahwa Filsafat Pendidikan Islam itu merupakan suatu kajian secara filosofis mengenai masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan yang didasarkan pada al Qur’an dan al Hadist sebagai sumber primer, dan pendapat para ahli, khususnya para filosof Muslim, sebagai sumber sekunder. Dengan demikian, filsafat pendidikan Islam secara singkat dapat dikatakan adalah filsafat pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam atau filsafat pendidikan yang dijiwai oleh ajaran Islam, jadi ia bukan filsafat yang bercorak liberal, bebas, tanpa batas etika sebagaimana dijumpai dalam pemikiran filsafat pada umumnya.
b.      Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan Islam
Penjelasan mengenai ruang lingkup ini mengandung indikasi bahwa filsafat pendidikan Islam telah diakui sebagai sebuah disiplin ilmu. Hal ini dapat dilihat dari adanya beberapa sumber bacaan, khususnya buku yang menginformasikan hasil penelitian tentang filsafat pendidikan Islam. Sebagai sebuah disiplin ilmu, mau tidak mau filsafat pendidikan Islam harus menunjukkan dengan jelas mengenai bidang kajiannya atau cakupan pembahasannya.
 Muzayyin Arifin menyatakan bahwa mempelajari filsafat pendidikan Islam berarti memasuki arena pemikiran yang mendasar, sistematik. Logis, dan menyeluruh (universal) tentang pendidikan, ysng tidak hanya dilatarbelakangi oleh pengetahuan agama Islam saja, melainkan menuntut kita untuk mempelajari ilmu-ilmu lain yang relevan. Pendapat ini memberi petunjuk bahwa ruang lingkup filsafat Pendidikan Islam adalah masalah-masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan, seperti masalah tujuan pendidikan, masalah guru, kurikulum, metode, dan lingkungan.
c.       Kegunaan Filsafat Pendidikan Islam
Prof. Mohammad Athiyah abrosyi dalam kajiannya tentang pendidikan Islam telah menyimpulkan 5 tujuan yang asasi bagi pendidikan Islam yang diuraikan dalam “ At Tarbiyah Al Islamiyah Wa Falsafatuha “ yaitu :
 1. Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia. Islam menetapkan bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam.
2. Persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Pendidikan Islam tidak hanya menaruh perhatian pada segi keagamaan saja dan tidak hanya dari segi keduniaan saja, tetapi dia menaruh perhatian kepada keduanya sekaligus.
 3. Menumbuhkan ruh ilmiah pada pelajaran dan memuaskan untuk mengetahui dan memungkinkan ia mengkaji ilmu bukan sekedar sebagai ilmu. Dan juga agar menumbuhkan minat pada sains, sastra, kesenian, dalam berbagai jenisnya.
4. Menyiapkan pelajar dari segi profesional, teknis, dan perusahaan supaya ia dapat mengusai profesi tertentu, teknis tertentu dan perusahaan tertentu, supaya dapat ia mencari rezeki dalam hidup dengan mulia di samping memelihara dari segi kerohanian dan keagamaan.
5. Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan. Pendidikan Islam tidaklah semuanya bersifat agama atau akhlak, atau sprituil semata-mata, tetapi menaruh perhatian pada segi-segi kemanfaatan pada tujuan-tujuan, kurikulum, dan aktivitasnya. Tidak lah tercapai kesempurnaan manusia tanpa memadukan antara agama dan ilmu pengetahuan.
2.      TUHAN, MANUSIA DAN ALAM DALAM PERSEPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN
Pemikiran filsafat mencakup ruang lingkup yang berskala makro yaitu: kosmologi, ontology, philosophy of mind, epistimologi, dan aksiologi. Untuk melihat bagaimana sesungguhnya manusia dalam pandangan filsafat pendidikan, maka setidaknya karena manusia merupakan bagian dari alam semesta (kosmos). Berangkat dari situ dapat kita ketahui bahwa manusia adalah ciptaan Allah yang pada hakekatnya sebagai abdi penciptanya (ontology). Agar bisa menempatkan dirinya sebagai pengapdi yang setia, maka manusia diberi anugerah berbagai potensi baik jasmani, rohani, dan ruh (philosophy of mind). Sedangkan pertumbuhan serta perkembangan manusia dalam hal memperoleh pengetahuan itu berlajan secara berjenjang dan bertahap (proses) melalui pengembangan potensinya, pengalaman dengan lingkungan serta bimbingan, didikan dari Tuhan (epistimologi), oleh karena itu hubungan antara alam lingkungan, manusia, semua makhluk ciptaan Allah dan hubungan dengan Allah sebagai pencita seluruh alam raya itu harus berjalan bersama dan tidak bisa dipisahkan. Adapun manusia sebagai makhluk dalam usaha meningkatkan kualitas sumber daya insaninya itu, manusia diikat oleh nilai-nilai illahi (aksiologi), sehingga dalam pandangan FPI, manusia merupakan makhluk alternatif (dapat memilih), tetapi ditawarkan padanya pilihan yang terbaik yakni nilai illahiyat. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa manusia itu makhluk alternatif (bebas) tetapi sekaligus terikat (tidak bebas nilai).
Manusia adalah subyek pendidikan,  sekaligus juga obyek pendidikan. manusia dewasa yang berkebudayaan  adalah subyek pendidikan yang berarti  bertanggung jawab menyelenggareakan pendidikan. mereka berkewajiban secara moral atas perkembangan probadi anak-anak mereka, yang notabene adalah generasi peneruis mereka.  manusia dewasa yang berkebudayaaan terutama yang berfrofesin keguruan (pendidikan) bertanggung jawab secara formal untuk melaksanakan misi pendidikan sesuai dengan tujuan dan nilai-nilai yang dikehendaki ,asyarakan bengsa itu.
Manusia yang belum dewasa, dalam proses perkembangan kepribadiannya, baik menuju pembudayaan maupun proses kematangan dan intregitas, adalah obyek pendidikan. Artinya mereka adalah sasaran  atau bahan yang dibina. Meskipun kita sadarai bahwa perkembangan kepribadian adalah self development melalui self actifities, jadi sebagai subjek yang sadar mengembangkan diri sendiri.
Alam semesta adalah media pendidikan sekaligus sebagai sarana yang digunakan oleh menusia untuk melangsungkan proses pendidikan. Didalam alam semesta ini manusia tidak dapat hidup dan “mandiri” dengan sesungguhnya. Karena antara  manusia dan alam semesta saling membutuhkan dan saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya. Dimana alam semesta ini butuh manusia untuk merawat dan memeliharanya sedangkan manusia butuh alam semesta sebagai sarana berinteraksi dengan manusia lainnya.
Proses pendidikan yang berlangsung didalam antar aksi yangh pruralistis (antara subjek dengan lingkungan alamiah, sosial dan cultural) amat ditentukan oleh aspek manusianya. Sebab kedudukan manusia sebagai subyek didalam masyarakat, bahkan didalam alam semesta, memberikan konsekuensi tanggung jawab yang besar bagi diri manusia. Manusia mengembang amanat untuk membimbing masyarakat, memelihara alam lingkungan hidup bersama. bahkan manusia terutama bertanggung jawab atas martabat kemanusiaannyu (human dignity).
Sejarah usaha manusia untuk mengerti dirinya sendiri, kepribadian manusia, sudah ada sejak ilmu pengetahuan itu ada. Ilmu jiwa (Psikologi) yang mula-mula sebaga ilmu jiwa metafisika adalah salah satu usaha tersebut. Makin mendalam manusia menyelidiki kepribadiannya, makin banyak problemanya yang timbul serta makin banyak rahasia yang minta jawaban. Karena manusia adalah mahluk yang unik dan penuh misteri dan rahasia.
Manusia sebagai subyek dihadapkan kepada fenomena baru dalam kesadarannya, yakni menghadapi problem yang jauh lebih sulit dari pada problem-problem sebelumnya. manusia mulai bertanya, siapakah atau apakah aku ini sebenarnya. Manusia sebagai subyek menjadikan dirinya sendiri (pribadi dan keutuhan) sebagai obyek yang menuntut pengertian, pengetahuan atau pemahaman. “Kenalilah dirimu” adalah kata-kata klasik yang tetap mengandung makna yang  ideal, khususnya amat bersifat pedagogis disamping bernilai filosofis. Sedemikian jauh manusia masih belum yakin bahwa ia telah mengenali dirinya sendiri. Bahkan makin dalam ia menyelami dan memahami kepribadiannya, makin sukar ia mengerti identitasnya. Apa yang ia mengerti tentang kepribadiannya makin  ia sadari sebagai suatu asumsi yang amat “dangkal’ dan relatif, bahkan juga amat subjektif.
Untuk mengerti dan mengenali diri sendiri manusia dengan jujur mengakui kesukaran-kesukarannya, apa yang ia akui sebagai pengertian hanyalah suatu kesimpulan yang masih kabur dan belum representatif. Dari kenyataan ini manusia berkesimpulan pula bahwa  jauh lebih amat sulit untuk mengerti dan memahami kepribadian orang lain.
Perwujudan kepribadian seseorang nampak dalam keseluruhan pribadi manusia dalam antar hubungan dan antar aksinya dengan lingkungan hidupnya. Penafsiran kita tentang tingkah laku belum menjamin pengertian kita tentang kepribadian manusia. Karena itu, realita demikian amat jauh dari sempurnaan. Tetapi usaha untuk mengerti dan memahami manusia ini jauh lebih baik daripada pengertian dan kesimpulan- kesimpulan yang kita miliki tentang manusia. Apa yang kita simpulkan sebagai pengertian itu lebih bersifat statis, sedangkan usaha untuk mengerti manusia secara aktif dan terus-menerus didalam antar hubungan dan antar  aksi sesama itu bersifat dinamis. Asas dinamis ini merupakan essensi watak manusia, yang terus berkembang, bertumbuh dan menuju integritas kepribadiannya.  Demikian pula kita tentang seseorang, tentang kepribadiannya selalu berkembang. itulah sebabnya dikatakan “Tak kenal maka tak cinta”. Bahkan “Cinta itu tumbuh dari sebuah pengenalah”.  Artinya makin kita mengenalnya, makin kita memahami kepribadiannya yang positif makin pula kita mencintainya. Implikasi pandangan ini adalah jagan tergesa-gesa menjauhi atau membenci seseorang, karena kita belum mengenal seorang itu. Bahkan sesungguhnya, adalah kewajiban kita  untuk mengerti tingkah laku, kepribadian seseorang didalam antar hubungan dan antar aksi sosial. Dan sesuai dengan asas –asas nilai demokrasi kita wajib menghormati martabat pribadi orang lain. Prinsip self respect, menghormati pribadi orang lain merupakan pangkal untuk mengormati diri sendniri. Artinya usaha untuk dihormati, hormati lebih dahulu orang lain.
3.      METODE STUDI DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
a.      Pengertian Metode Pendidikan Islam
Dalam bab ini kita akan membahas tentang pengertian Metode Pendidikan Islam. Dimana setiap kata akan kita bahas satu persatu yaitu: metode, Pendidikan, Pendidikan Islam, Metode Pendidikan, Dan metode Pendidikan Islam. Tujuannya agar pembaca lebih memahami secara mendalam tentang Metode Pendidikan Islam ini.
b.      Pengertian Metode
Secara literal metode berasal dari bahasa Greek (Yunani) yang terdiri dari dua kosa kata, yaitu “meta” yang berarti melalui dan “hodos” yang berarti jalan. Sedangkan pengertian menurut istilah metode adalah cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah disusun tercapai secara optimal.
Dalam Bahasa Arab metode dikenal dengan istilah thariqah yang berarti langkah-langkah strategis yang harus dipersiapkan untuk melakukan suatu pekerjaan. Sedangkan dalam bahasa Inggris metode disebut method yang berarti cara dalam bahasa Indonesia.
Mohammad Athiyah al-Abrasy mendefinisikan metode sebagai jalan yang kita ikuti memberi paham kepada murid-murid dalam segala macam pelajaran, dalam segala mata pelajaran. Metode adalah rencana yang kita buat untuk diri kita sebelum kita memasuki kelas, dan kita terapkan dalam kelas selama kita mengajar dalam kelas itu. Kemudian Prof. Abd al-Rahim Ghunaimah menyebut metode sebagai cara-cara yang diikuti oleh guru untuk menyampaikan sesuatu kepada anak didik. Adapun Adgar Bruce Wesley mendefinisikan metode sebagai kegiatan yang terarah bagi guru yang menyebabkan terjadinya proses belajar mengajar, hingga pengajaran menjadi berkesan.
Dalam pandangan filosofis pendidikan, metode merupakan alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan pendidikan. Alat itu mempunyai sifat ganda, yaitu bersifat polipragmatis dan monopragmatis. Polipragmatis, bilamana metode itu mengandung kegunaan yang serba ganda (multipurpoce). Misalnya, suatu metode tertentu pada suatu situasi dan kondisi tertentu dapat dipergunakan untuk merusak, dan pada situasi dan kondisi yang lain dapat dipergunakan untuk memperbaiki dan membangun. Contohnya, penggunaan video cassete recorder (VRC) untuk merekam semua jenis film, baik fornografis maupun yang moralis, yang hal itu bila dipergunakan sebagai media pembelajaran, maka sasarannya dapat merusak disamping dapat memperbaiki atau membangun. Monopragmatis adalah alat yang hanya dapat dipergunakan untuk mencapai satu macam tujuan. Misalnya, laboratorium ilmu alam, hanya dapat dipergunakan untuk eksperimen-eksperimen bidang ilmu alam, tidak dapat dipergunakan untuk eksperimen bidang ilmu lain.
c.       Pengertian Pendidikan Islam
Setelah kita membahas tentang metode, selanjutnya kita akan membahas tentang pendidikan Islam. Tetapi terlebih dahulu kita akan membahas tentang pendidikan. Banyak para pakar pendidikan yang mendefinisikan pendidikan secara berbeda-beda tetapi pada intinya sama.
Beberapa ahli pendidikan di Barat yang memberikan arti pendidikan sebagai proses antara lain: Menurut Mortimer J. Adler mengartikan pendidikan adalah proses dengan mana semua kemampuan manusia (bakat dan kemampuan yang diperoleh) yang dapat dipengaruhi oleh pembiasaan, disempurnakan dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik melalui sarana yang secara artistik dibuat dan dipakai oleh siapapun untuk membantu orang lain atau dirinya sendiri mencapai tujuan yang ditetapkan yaitu kebiasaan yang baik.
Menurut Prof. Sugarda Purbakawaca, dalam "Ensiklopedi Pendidikan"nya, memberikan pengertian pendidikan, sebagai berikut: "Pendidikan dalam arti luas meliputi semua perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya serta ketrampilannya (orang menamakan ini juga "mengalihkan" kebudayaan, dalam bahasa Belanda: Cultuurover dracht) kepada generasi muda sebagai usaha menyiapkannya agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmani maupun rohani."
Setelah membahas Pendidikan selanjutnya kita akan memaparkan tentang pendidikan Islam. Berikut ini adalah beberapa pengertian Pendidikan Islam secara terminologi yang diformulasikan oleh para ahli Pendidikan Islam, diantaranya adalah:
a.    Menurut Al-Syaibaniy mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah proses mengubah tingkah laku individu peserta didik pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya. Proses tersebut dilakukan dengan cara pendidikan dan pengajaran sebagai suatu aktifitas asasi dan profesi diantara sekian banyak profesi asasi dalam masyarakat.
b.    Menurut Muhammad Fadhil al-Jamaly, mendefinisikan pendidikan Islam sebagai upaya mengembangkan, mendorong serta mengajak peserta didik hidup lebih dinamis dengan berdasarkan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia. Dengan proses tersebut, diharapkan bisa membentuk pribadi peserta didik yang lebih sempurna, baik yang berkaitan dengan potensi akal, perasaan, maupun perbuatannya.
c.    Ahmad D. Marimba mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadiannya yang utama (insan kamil).
d.   Ahmad Tafsir mendefinisikan Pendidikan Islam sebagai bimbingan yang diberikan oleh seseorang, agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam.
Dari batasan diatas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah suatu sistem yang memungkinkan seseorang (peserta didik) dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideologi Islam. Melalui pendekatan ini, ia akan dapat dengan mudah membentuk kehidupan dirinya sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam yang diyakininya.
d.      Metode Pendidikan Islam
Dari beberapa pengertian yang diformulasikan oleh para pakar diatas tentang pengertian Metode dan Pendidikan Islam. Kita dapat menyimpulkan tentang pengertian Metode Pendidikan. Seperti yang dikemukakan oleh al-Syaibaniy yaitu, segala segi kegiatan yang terarah yang dikerjakan oleh guru dalam rangka kemestian-kemestian mata pelajaran yang diajarkannya, ciri-ciri perkembangan peserta didiknya, dan suasana alam sekitarnya dan tujuan membimbing peserta didik untuk mencapai proses belajar yang diinginkan dan perubahan yang dikehendaki pada tingkah laku mereka.
Ahmad Tafsir secara umum membatasi bahwa metode pendidikan adalah semua cara yang digunakan dalam upaya mendidik. Kemudian Abdul Munir Mulkan, mengemukakan bahwa metode Pendidikan adalah suatu cara yang dipergunakan untuk menyampaikan atau mentransformasikan isi atau bahan pendidikan kepada anak didik.
Selanjutnya jika kata metode tersebut dikaitkan dengan pendidikan Islam, dapat membawa arti sebagai jalan untuk menanamkan pengetahuan agama pada diri seseorang sehingga dapat terlihat dalam pribadi objek sasaran, yaitu pribadi Islami. Selain itu metode pendidikan Islam dapat diartikan sebagai cara untuk memahami, manggali, dan mengembangkan ajaran Islam, sehingga terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.
e.       Asas-asas Umum Metode Pendidikan Islam
Dalam penerapannya, metode pendidikan Islam menyangkut permasalahan individual atau social peserta didik dan pendidik itu sendiri. Untuk itu dalam menggunakan metode seorang pendidik harus memperhatikan dasar-dasar umum metode pendidikan Islam. Sebab metode pendidikan merupakan sarana atau jalan menuju tujuan pendidikan, sehingga segala jalan yang ditempuh oleh seorang pendidik haruslah mengacu pada asas-asas/dasar-dasar metode pendidikan tersebut. Asas metode pendidikan Islam itu diantaranya adalah:
1.            Asas Agamis, maksudnya bahwa metode yang digunakan dalam pendidikan Islam haruslah berdasarkan pada Agama. Sementara Agama Islam merujuk pada Al Qur’an dan Hadits. Untuk itu, dalam pelaksanannya berbagai metode yang digunakan oleh pendidik hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan yang muncul secara efektif dan efesien yang dilandasi nilai-nilai Al Qur’an dan Hadits.
2.            Asas Biologis, Perkembangan biologis manusia mempunyai pengaruh dalam perkembangan intelektualnya. Semakin dinamis perkembangan biologis seseorang, maka dengan sendirinya makin meningkat pula daya intelektualnya. Untuk itu dalam menggunakan metode pendidikan Islam seorang guru harus memperhatikan perkembangan biologis peserta didik.
3.            Asas Psikologis. Perkembangan dan kondisi psikologis peserta didik akan memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap penerimaan nilai pendidikan dan pengetahuan yang dilaksanakan, dalam kondisi yang labil pemberian ilmu pengetahuan dan internalisasi nilai akan berjalan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Oleh Karenanya Metode pendidikan Islam baru dapat diterapkan secara efektif bila didasarkan pada perkembangan dan kondisi psikologis peserta didiknya. Untuk itu seorang pendidik dituntut untuk mengembangkan potensi psikologis yang tumbuh pada peserta didik. Sebab dalam konsep Islam akal termasuk dalam tataran rohani.
4.            Asas sosiologis. Saat pembelanjaran berlangsung ada interaksi antara pesrta didik dengan peserta didik dan ada interaksi antara pendidik dengan peserta didik, atas dasar hal ini maka pengguna metode dalam pendidikan Islam harus memperhatikan landasan atau dasar ini. Jangan sampai terjadi ada metode yang digunakan tapi tidak sesuai dengan kondisi sosiologis peserta didik, jika hal ini terjadi bukan mustahil tujuan pendidikan akan sulit untuk dicapai.
Keempat asas di atas merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan harus diperhatikan oleh para pengguna metode pendidikan Islam agar dalam mencapai tujuan tidak mengunakan metode yang tidak tepat dan tidak cocok kondisi agamis, kondisi biologis, kondisi psikologis, dan kondisi sosiologis peserta didik.
          Sementara dari sudut pandang pelaksanaannya, asas-asas pendidikan Islam dapat diformulasikan kepada:
5.            Asas Motivasi, yaitu usaha pendidik untuk membangkitkan perhatian peserta didik kearah bahan pelajaran yang sedang disajikan.
6.            Asas Aktivitas, yaitu memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk ambil bagian secara aktif dan kreatif dalam seluruh kegiatan pendidikan yang dilaksanakan.
7.            Asas Apersepsi, mengupayakan respon-respon tertentu dari peserta didik sehingga mereka memperoleh perubahan pada tingkah laku, pembendaharaan konsep, dan kekayaan akan informasi.
8.            Asas Peragaan, yaitu memberikan variasi dalam cara-cara mengajar dengan mewujudkan bahan yang diajarkan secara nyata, baik dalam bentuk aslinya maupun tiruan.
9.            Asas Ulangan, yaitu usaha untuk mengetahui taraf kemajuan atau keberhasilan belajar peserta didik dalam aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap.
10.        Asas Korelasi, menghubungkan suatu bahan pelajaran dengan bahan pelajaran lainnya, sehingga membentuk mata rantai yang erat.
11.        Asas Konsentrasi, yaitu memfokuskan pada suatu pokok masalah tertentu dari keseluruhan bahan pelajaran untuk melaksankan tujuan pendidikan serta memperhatikan peserta didik dalam segala aspeknya.
12.        Asas Individualisasi, yaitu memperhatikan perbedaan-perbedaan individual peserta didik.
13.        Asas Sosialisasi, yaitu menciptakan situasi sosial yang membangkitkan semangat kerjasama antara peserta didik dengan pendidik atau sesama peserta didik dan masyarakat, dalam menerima pelajaran agar lebih berdaya guna.
14.        Asas Evaluasi, yaitu memperhatikan hasil dari penilaian terhadap kemampuan yang dimiliki peserta didik sebagai umpan balik pendidik dalam memperbaiki cara mengajar.
15.        Asas Kebebasan, yaitu memberikan keleluasan keinginan dan tindakan bagi peserta didik dengan dibatasi atas kebebasan yang mengacu pada hal-hal yang positif.
16.        Asas Lingkungan, yaitu menentukan metode dengan berpijak pada pengaruh lingkungan akibat interaksi dengan lingkungan.
17.        Asas Globalisasi, yaitu memperhatikan reaksi peserta didik terhadap lingkungan secara keseluruhan, tidak hanya secara intelektual, tetapi juga secara fisik, sosial dan sebagainya.
18.        Asas Pusat-Pusat Minat, yaitu memperhatikan kecenderungan jiwa yang tetap ke jurusan suatu yang berharga bagi seseorang.
19.        Asas Ketauladanan, yaitu memberikan contoh yang terbaik untuk ditiru dan ditauladani peserta didik.
20.        Asas Kebiasaan, yaitu mambiasakan hal-hal positif dalam diri peserta didik sebagai upaya praktis dalam pembinaan mereka.
Metode pendidikan Islam harus digali, didayagunakan, dan dikembangkan dengan mengacu pada asas-asas sebagaimana yang dikemukakan diatas. Melalui aplikasi nilai-nilai Islam dalam proses penyampaian seluruh materi pendidikan Islam, diharapkan proses itu dapat diterima, difahami, dihayati, dan diyakini sehingga pada gilirannya memotivasi peserta didik untuk mengamalkannya dalam bentuk nyata.
4.      TUGAS, FUNGSI DAN TUJUAN FILSAFAT PENDDIKAN ISLAM
a.      Tugas Pendidikan
Tugas pendidikan adalah membimbing dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan kehidupan anak didik dari satu tahap ketahap lain sampai meraih kemampuan yang optimal. Bimbingan dan pengarahan tersebut menyangkut potensi predisposisi (kemampuan dasar) serta bakat manusia yang mengandung kemungkinan-kemungkinan yang berkembang kearah kematangan yang optimal. Potensi atau kemungkinan berkembang dalam diri manusia itu baru dapat berlangsung dengan baik bila mana diberi kesempatan yang cukup baik dan favorable untuk berkembang melalui pendidikan yang terarah. Kemampuan potensial pada diri manusia baru aktual dan fungsional bila disediakan kesempatan untuk muncul dan berkembang dengan menghilangkan segala gangguan yang dapat menghambatnya. Hambatan-hambatan mental dan spiritual banyak corak dan jenisnya, seperti hambatan pribadi dan hambatan sosial, yang berupa hambatan emosional dan lingkungan masyarakat yang tidak mendorong kepada kemajuan pendidikan dan sebagainya
b.      Fungsi Filsafat Pendidikan Islam
Sebagai teori umum mengenai sistem pendidikan, maka filsafat pendidikan Islam menjadi sangat penting. Filsafat pendidikan Islam berfungsi sebagai peletak dasar bagi kerangka dari sistem pendidikan yang akan berfungsi sebagai cara untuk mengaplikasikan ajaran agama Islam di bidang pendidikan, dengan tujuan yang identik dengan tujuan yang akan dicapai ajaran Islam itu sendiri.
Selanjutnya, jika pendidikan merupakan proses pelaksanaan mencapai tujuan, maka filsafat pendidikan Islam berfungsi sebagai pedoman dasar dari sistem yang harus ditelusuri oleh proses pelaksanaan itu sendiri. Filsafat Islam dengan demikian berfungsi sebagai pembentuk nilai-nilai bagi pendidikan Islam. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka filsafat pendidikan Islam berusaha meletakkan dasar pemikirannya pada tujuan yang memuat konsep tentang akhlak yang mulia.
Dua sasaran pokok yang juga termuat dalam tujuan filsafat pendidikan Islam adalah meletakkan dasar pemikiran sistem pendidikan yang berdimensi ganda. Dimensi pertama adalah untuk mencapai kesejahteraan hidup di dunia dan keselamatan hidup di akhirat. Dimensi kedua berhubungan dengan fitrah kejadian manusia, yaitu sebagai pengamdi Allah yang setia.
c.       Tujuan Filsafat Pendidikan Islam
Bila pendidikan dipandang sebagai suatu proses, maka proses tersebut akan berakhir pada tercapainya tujuan akhir pendidikan. Suatu tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan pada hakekatnya adalah suatu perwujudan dari nilai-nilai ideal yang terbentuk dalam pribadi manusia yang diinginkan. Nilai-nilai ideal itu mempengaruhi dan mewarnai pola kepribadian manusia, sehingga menggejala dalam perilaku lahiriyah. Perilaku lahiriyah adalah cermin yang memproyeksi nilai-nilai ideal yang telah mengacu dalam jiwa manusia sebagai produk dari proses pendidikan. Nilai-nilai idealitas Islam itu sendiri adalah mengandung nilai perilaku manusia yang disadari atau dijiwai oleh iman dan taqwa kepada Allah sebagai sumber kekuasaan yang mutlak dan harus ditaaati.
Pada hakekatnya, tujuan filsafat pendidikan Islam dengan tujuan ajaran Islam adalah identik. Keduanya berasal dari sumber yang sama, yaitu al-Qur’an dan Hadis. Dari kedua sumber tadi timbul pemikiran-pemikiran mengenai masalah keIslaman dalam berbagai aspek, termasuk filsafat pendidikan. Ajaran yang termuat dalam wahyu, merupakan dasar dari pemikiran filsafat pendidikan Islam. Hal ini menunjukkan bahwa filsafat pendidikan Islam yang berisi teori umum mengenai pendidikan Islam, dibina atas dasar konsep ajaran Islam terutama dalam al-Qur’an dan Hadis. Kedua sumber tersebut dijadikan dasar pemikiran filsafat pendidikan Islam tidak tanpa alasan yang rasional.
Sesuai dengan tujuan tersebut, maka filsafat pendidikan Islam berupaya menyiapkan kerangka dasar bagi tercapainya tujuan dimaksud melalui proses pendidikan. Dengan demikian dalam pelaksanaannya, pendidikan Islam dituntut untuk menyelaraskan kegiatannya dengan tujuan itu. Langkah pertama adalah mempersiapkan konsep yang jelas mengenai pendidikan itu sendiri.
5.      HAKEKAT PENDIDIK DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
a.      Pengertian Pendidik
Secara umum, pendidik adalah orang yang memiliki tanggung jawab untuk mendidik. Sementara secara khusus, pendidik dalam perspektif pendidikan Islam adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi peserta didik baik potensi efektif, kognitif, maupun psikomotorik sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Beberapa ahli pendidikan yang memberikan arti pendidik adalah :
Marimba mengartikan pendidik sebagai orang yang mempertanggung jawabkan sebagai pendidik, yaitu manusia dewasa yang karena hak dan kewajibannya bertanggung jawab tentang pendidikan peserta didik
Sutari Imam Barnadib mengemukakan bahwa pendidik adalah orang yang dengan sengaja mempengaruhi orang lain untuk mencapai kedewasaan peserta didik
b.      Tugas Pendidik Menurut Filsafat Pendidikan Islam
Dalam Islam tugas seorang pendidik dipandang sebagai sesuatu yang sangat mulia. Secara umum tugas pendidik adalah mendidik. Dalam operasionalnya mendidik merupakan rangakaian proses mengajar, memberikan dorongan, memuji, menghukum, memberi contoh, membiasakan dsb. Disamping itu pendidikjuga bertugas sebagai fasilitator dan motivator dalam proses belajar mengajar, sehingga seluruh potensi peserta didik dapat teraktualisasi secara baik dan dinamis.
Menurut Ahmad D. Marimba, tugas pendidik dalam pendidikan Islam adalah membimbing dan mengenal kebutuhan atau kesanggupan peserta didik, menciptakan situasi yang kondusif bagi berlangsungnya proses kependidikan, menambah dan mengembangkan pengetahuan yang dimiliki guna ditranformasikan kepada peserta didik, serta melihat kekurangan dan kelebihannya.
Ø  Tugas Pendidik secara umum :
Pada hakekatnya mengemban misi yang mengajak menusia untuk tunduk dan patuh pada hukum – hukum Allah, guna memperoleh keselamatan dunia dan akhirat.
Ø  Tugas Pendidik secara khusus :
Sebagai pengajar (intruksional) yang bertugas merencanakan program pengajaran dan melaksanakan program yang telah disusun, dan penilaian setelah program itu dilaksanakan.
Sebagai pendidik (edukator) yang mengarahkan peserta didik pada tinggakat kedewasaan yang berkepribadian insan kamil seiring dengan tujuan Allah menciptakan manusia.
Sebagai pemimpin (managerial) yang memimpin dan mengendalikan diri sendiri, peserta didik dan masyarakat yang terkait, menyangkut upaya pengarahan, pengawasan, pengorganisasian, pengontrolan, partisipasi atas program yang dilakukan itu.
c.       Karakteristik Pendidik
Dalam pendidikan Islam, seorang pendidik hendaknya memiliki karakteristik yang dapat membedakannya dari yang lain. Dalam hal ini An-Nahlawi membagi karakteristik pendidik muslim kepada beberapa bentuk, diantaranya yaitu:
Bersifat ikhlas: melaksanakan tugasnya sebagaipendidik semata-mata untuk mencari keridhoan Allah dan menegakkan kebenaran.
1.      Mempunyai watak dan sifat rubbaniyah.
2.      Bersifat sabar dalam mengajar.
3.      Jujur dalam menyampaikan apa yang diketahuinya.
4.      Mampu menggunakan metode mengajar yang bervariasi.
5.      Mampu mengelola kelas dan mengetahui psikis anak didik, tegas dan proposional.
6.      Sementara dalam kriteria yang sama Al-Abrasyi memberikan batasan tentang karakteristik pendidik, diantaranya :
7.      Seorang pendidik hendaknya memiliki sifat zuhud yaitu melaksanakan tugasnya bukan semata-mata karena materi akan tetapi lebih dari itu adalah karena mencari keridhaan Allah.
8.      Seorang pendidik hendaknya bersih fisiknya dari segala macam kotoran dan bersih jiwanya dari segala macam sifat tercela.
9.      Seorang pendidik hendaknya Ikhlas, tidak riya’, pemaaf, dan mencintai peserta didik juga mengatahui karakteristik anak didiknya.
d.      Hakekat Pendidik
Pada dasarnya seorang Pendidik adalah orang yang tergolong penting dalam pendidikan karena seorang pendidik adalah orang yang memberikan pendidikan kepada anak didiknya. Seorang pendidik adalah sujek dalam proses pendidikan dan pengajaran Islam. Jadi pada hakekatnya proses pendidikan tidak akan berjalan secara efisien tanpa adanya pendidik yang mampu menjadi sebenar – benarnya pendidik
1.      Peserta didik
Peserta didik salah satu komponen dalam sistim pendidikan Islam. Peserta didik itu sendiri secara formal yaitu orang yang sedang berada pada fase pertumbuhan dan perkembangan baik secara fisik maupun psikis, pertumbuhan dan perkembangan merupakan ciri dari seseorang peserta didik yang perlu bimbingan dari seorang pendidik.
Ada pun menurut Syamsul Nizar ada 5 kriteria peserta didik yaitu:
Peserta didik bukan lah miniatur orang dewasa, sehingga menjadi tanggung jawab pendidik. Peserta didik memiliki periode sasi perkembangan dan pertumbuhan
Peserta didik adalah makhluk Allah yang memiliki perbedaan individu baik disebabkan oleh faktor bawaan maupun lingkungan dimana ia berada.
Peserta didik merupakan dua unsur utama jasmani dan rohani
Peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi atau fitrah yang dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis.
2.      Tugas dan kewajiban peserta didik 
Agar pelaksanaan proses pendidikan Islam dapat mencapai tujuan yang diinginkan maka setiap peserta didik hendaknya, senantiasa menyadari tugas dan kewajibannya.. Menurut Asma Hasan Fahmi tugas dan kewajiban yang harus dipenuhi peserta didik diantaranya adalah.
Peserta didik hendaknya senantiasa membersihkan hatinya sebelum menuntut ilmu. Tujuan belajar hendaknya ditujukan untuk menghiasi ruh dengan berbagai sifat keimanan. Setiap peserta didik wajib menghormati pendidiknya. Peserta didik hendaknya belajar secara bersungguh-sungguh dan tabah dalam belajar.
Kewajiban peserta didik diantaranya adalah: Sebelum belajar hendaknya terlebih dahulu membersihkan hatinya dari segala sifat buruk. Niat belajar hendaknya ditujukan untuk mengisi jiwa dengan berbagai fadillah.
Wajib bersungguh – sungguh dalam belajar, wajib saling mengasihi dan menyayangi diantara sesama, bergaul baik terhadap guru-gurunya.
3.      Sifat-sifat Ideal Peserta Didik
Dalam upaya mencapai tujuan Pendidikan Islam, peserta didik hendaknya memiliki dan menanamkan sifat-sifat yang baik dalam dari dan kepribadiannya. Diantara sifat-sifat ideal ynag perlu dimiliki peserta didik misalnya ; berkemauan keras atau pantang menyerah, memiliki motivasi yang tinggi, sabar, dan tabah, tidak mudah putus asa dan sebagainya.
Berkenaan dengan sifat ideal diatas, Imam Al-Ghazali, sebagaimana dikutip Fatahiyah Hasan Sulaiman, merumuskan sifat-sifat ideal yang patut dimiliki peserta didik yaitu ;
Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub ila Allah. Mempunyai ahklak yang baik dan meninggalkan yang buruk.
Mengurangi kecendrungan pada kehidupan duniawi disbanding ukhrawi dan sebaliknya. Bersifat tawadhu’ (rendah hati). Menjaga pikiran dari berbagai pertentangan dan aliran. Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji baik ilmu umum dan agama. Belajar secara bertahap atau berjenjang dengan melalui pelajaran yang mudah menuju pelajran yang sulit. Mempelajari ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih kepada ilmu yang lainnya.
Memahami nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi. Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan yang dapat bermanfaat, membahagiakan, serta memeberi keselematan dunia dan akhirat.
6.      HAKEKAT METODE DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
a.      Pengertian Metode
Secara literal metode berasal dari bahasa Greek (Yunani) yang terdiri dari dua kosa kata, yaitu meta yang berarti melalui dan hodos yang berarti jalan. Sedangkan pengertian menurut istilah metode adalah cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah disusun tercapai secara optimal.
Dalam Bahasa Arab metode dikenal dengan istilah thariqah yang berarti langkah-langkah strategis yang harus dipersiapkan untuk melakukan suatu pekerjaan. Sedangkan dalam bahasa Inggris metode disebut method yang berarti cara dalam bahasa Indonesia.
Mohammad Athiyah al-Abrasy mendefinisikan metode sebagai jalan yang kita ikuti memberi paham kepada murid-murid dalam segala macam pelajaran, dalam segala mata pelajaran. Metode adalah rencana yang kita buat untuk diri kita sebelum kita memasuki kelas, dan kita terapkan dalam kelas selama kita mengajar dalam kelas itu. Kemudian Prof. Abd al-Rahim Ghunaimah menyebut metode sebagai cara-cara yang diikuti oleh guru untuk menyampaikan sesuatu kepada anak didik. Adapun Adgar Bruce Wesley mendefinisikan metode sebagai kegiatan yang terarah bagi guru yang menyebabkan terjadinya proses belajar mengajar, hingga pengajaran menjadi berkesan.
Dalam pandangan filosofis pendidikan, metode merupakan alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan pendidikan. Alat itu mempunyai sifat ganda, yaitu bersifat polipragmatis dan monopragmatis. Polipragmatis, bilamana metode itu mengandung kegunaan yang serba ganda (multipurpoce). Misalnya, suatu metode tertentu pada suatu situasi dan kondisi tertentu dapat dipergunakan untuk merusak, dan pada situasi dan kondisi yang lain dapat dipergunakan untuk memperbaiki dan membangun. Contohnya, penggunaan video cassete recorder (VRC) untuk merekam semua jenis film, baik fornografis maupun yang moralis, yang hal itu bila dipergunakan sebagai media pembelajaran, maka sasarannya dapat merusak disamping dapat memperbaiki atau membangun. Monopragmatis adalah alat yang hanya dapat dipergunakan untuk mencapai satu macam tujuan. Misalnya, laboratorium ilmu alam, hanya dapat dipergunakan untuk eksperimen-eksperimen bidang ilmu alam, tidak dapat dipergunakan untuk eksperimen bidang ilmu lain
b.      Metode Pendidikan Islam
Dari beberapa pengertian yang diformulasikan oleh para pakar diatas tentang pengertian Metode dan Pendidikan Islam. Kita dapat menyimpulkan tentang pengertian Metode Pendidikan. Seperti yang dikemukakan oleh al-Syaibaniy yaitu, segala segi kegiatan yang terarah yang dikerjakan oleh guru dalam rangka kemestian-kemestian mata pelajaran yang diajarkannya, ciri-ciri perkembangan peserta didiknya, dan suasana alam sekitarnya dan tujuan membimbing peserta didik untuk mencapai proses belajar yang diinginkan dan perubahan yang dikehendaki pada tingkah laku mereka.
Ahmad Tafsir secara umum membatasi bahwa metode pendidikan adalah semua cara yang digunakan dalam upaya mendidik. Kemudian Abdul Munir Mulkan, mengemukakan bahwa metode Pendidikan adalah suatu cara yang dipergunakan untuk menyampaikan atau mentransformasikan isi atau bahan pendidikan kepada anak didik.
Selanjutnya jika kata metode tersebut dikaitkan dengan pendidikan Islam, dapat membawa arti sebagai jalan untuk menanamkan pengetahuan agama pada diri seseorang sehingga dapat terlihat dalam pribadi objek sasaran, yaitu pribadi Islami. Selain itu metode pendidikan Islam dapat diartikan sebagai cara untuk memahami, manggali, dan mengembangkan ajaran Islam, sehingga terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.
c.       Asas-asas Umum Metode Pendidikan Islam
Dalam penerapannya, metode pendidikan Islam menyangkut permasalahan individual atau social peserta didik dan pendidik itu sendiri. Untuk itu dalam menggunakan metode seorang pendidik harus memperhatikan dasar-dasar umum metode pendidikan Islam. Sebab metode pendidikan merupakan sarana atau jalan menuju tujuan pendidikan, sehingga segala jalan yang ditempuh oleh seorang pendidik haruslah mengacu pada asas-asas/dasar-dasar metode pendidikan tersebut. Asas metode pendidikan Islam itu diantaranya adalah:
1.    Asas Agamis, maksudnya bahwa metode yang digunakan dalam pendidikan Islam haruslah berdasarkan pada Agama. Sementara Agama Islam merujuk pada Al Qur’an dan Hadits. Untuk itu, dalam pelaksanannya berbagai metode yang digunakan oleh pendidik hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan yang muncul secara efektif dan efesien yang dilandasi nilai-nilai Al Qur’an dan Hadits.
2.    Asas Biologis, Perkembangan biologis manusia mempunyai pengaruh dalam perkembangan intelektualnya. Semakin dinamis perkembangan biologis seseorang, maka dengan sendirinya makin meningkat pula daya intelektualnya. Untuk itu dalam menggunakan metode pendidikan Islam seorang guru harus memperhatikan perkembangan biologis peserta didik.
3.    Asas Psikologis. Perkembangan dan kondisi psikologis peserta didik akan memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap penerimaan nilai pendidikan dan pengetahuan yang dilaksanakan, dalam kondisi yang labil pemberian ilmu pengetahuan dan internalisasi nilai akan berjalan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Oleh Karenanya Metode pendidikan Islam baru dapat diterapkan secara efektif bila didasarkan pada perkembangan dan kondisi psikologis peserta didiknya. Untuk itu seorang pendidik dituntut untuk mengembangkan potensi psikologis yang tumbuh pada peserta didik. Sebab dalam konsep Islam akal termasuk dalam tataran rohani.
4.    Asas sosiologis. Saat pembelanjaran berlangsung ada interaksi antara pesrta didik dengan peserta didik dan ada interaksi antara pendidik dengan peserta didik, atas dasar hal ini maka pengguna metode dalam pendidikan Islam harus memperhatikan landasan atau dasar ini. Jangan sampai terjadi ada metode yang digunakan tapi tidak sesuai dengan kondisi sosiologis peserta didik, jika hal ini terjadi bukan mustahil tujuan pendidikan akan sulit untuk dicapai.
Keempat asas di atas merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan harus diperhatikan oleh para pengguna metode pendidikan Islam agar dalam mencapai tujuan tidak mengunakan metode yang tidak tepat dan tidak cocok kondisi agamis, kondisi biologis, kondisi psikologis, dan kondisi sosiologis peserta didik.
          Sementara dari sudut pandang pelaksanaannya, asas-asas pendidikan Islam dapat diformulasikan kepada:
1.        Asas Motivasi, yaitu usaha pendidik untuk membangkitkan perhatian peserta didik kearah bahan pelajaran yang sedang disajikan.
2.        Asas Aktivitas, yaitu memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk ambil bagian secara aktif dan kreatif dalam seluruh kegiatan pendidikan yang dilaksanakan.
3.        Asas Apersepsi, mengupayakan respon-respon tertentu dari peserta didik sehingga mereka memperoleh perubahan pada tingkah laku, pembendaharaan konsep, dan kekayaan akan informasi.
4.        Asas Peragaan, yaitu memberikan variasi dalam cara-cara mengajar dengan mewujudkan bahan yang diajarkan secara nyata, baik dalam bentuk aslinya maupun tiruan.
5.        Asas Ulangan, yaitu usaha untuk mengetahui taraf kemajuan atau keberhasilan belajar peserta didik dalam aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap.
6.        Asas Korelasi, menghubungkan suatu bahan pelajaran dengan bahan pelajaran lainnya, sehingga membentuk mata rantai yang erat.
7.        Asas Konsentrasi, yaitu memfokuskan pada suatu pokok masalah tertentu dari keseluruhan bahan pelajaran untuk melaksankan tujuan pendidikan serta memperhatikan peserta didik dalam segala aspeknya.
8.        Asas Individualisasi, yaitu memperhatikan perbedaan-perbedaan individual peserta didik.
9.        Asas Sosialisasi, yaitu menciptakan situasi sosial yang membangkitkan semangat kerjasama antara peserta didik dengan pendidik atau sesama peserta didik dan masyarakat, dalam menerima pelajaran agar lebih berdaya guna.
10.    Asas Evaluasi, yaitu memperhatikan hasil dari penilaian terhadap kemampuan yang dimiliki peserta didik sebagai umpan balik pendidik dalam memperbaiki cara mengajar.
11.    Asas Kebebasan, yaitu memberikan keleluasan keinginan dan tindakan bagi peserta didik dengan dibatasi atas kebebasan yang mengacu pada hal-hal yang positif.
12.    Asas Lingkungan, yaitu menentukan metode dengan berpijak pada pengaruh lingkungan akibat interaksi dengan lingkungan.
13.    Asas Globalisasi, yaitu memperhatikan reaksi peserta didik terhadap lingkungan secara keseluruhan, tidak hanya secara intelektual, tetapi juga secara fisik, sosial dan sebagainya.
14.    Asas Pusat-Pusat Minat, yaitu memperhatikan kecenderungan jiwa yang tetap ke jurusan suatu yang berharga bagi seseorang.
15.    Asas Ketauladanan, yaitu memberikan contoh yang terbaik untuk ditiru dan ditauladani peserta didik.
16.    Asas Kebiasaan, yaitu mambiasakan hal-hal positif dalam diri peserta didik sebagai upaya praktis dalam pembinaan mereka.
Metode pendidikan Islam harus digali, didayagunakan, dan dikembangkan dengan mengacu pada asas-asas sebagaimana yang dikemukakan diatas. Melalui aplikasi nilai-nilai Islam dalam proses penyampaian seluruh materi pendidikan Islam, diharapkan proses itu dapat diterima, difahami, dihayati, dan diyakini sehingga pada gilirannya memotivasi peserta didik untuk mengamalkannya dalam bentuk nyata.
d.      Karakteristik Metode Pendidikan Islam
Diantara karakteristik metode pendidikan Islam:
1.        Keseluruhan proses penerapan metode pendidikan Islam, mulai dari pembentukannya, penggunaannya sampai pada pengembangannya tetap didasarkan pada nilai-nilai asasi Islam sebagai ajaran yang universal.
2.        Proses pembentukan, penerapan dan pengembangannya tetap tidak dapat dipisahkan dengan konsep al-akhlak al-karimah sebagai tujuan tertinggi dari pendidikan Islam.
3.        Metode pendidikan Islam bersifat luwes dan fleksibel dalam artian senantiasa membuka diri dan dapat menerima perubahan sesuai dengan situasi dan kondisi yang melingkupi proses kependidikan Islam tersebut, baik dari segi peserta didik, pendidik, materi pelajaran dan lain-lain.
4.        Metode pendidikan Islam berusaha sungguh-sungguh untuk menyeimbangkan antara teori dan praktik.
5.        Metode pendidikan Islam dalam penerapannya menekankan kebebasan peserta didik untuk berkreasi dan mengambil prakarsa dalam batas-batas kesopanan dan akhlak karimah.
6.        Dari segi pendidik, metode pendidikan Islam lebih menekankan nilai-nilai keteladanan dan kebebasan pendidik dalam menggunakan serta mengkombinasikan berbagai metode pendidikan yang ada dalam mencapai tujuan pengajaran.
7.        Metode pendidikan Islam dalam penerapannya berupaya menciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan bagi terciptanya interaksi edukatif yang kondusif .
8.        Metode pendidikan Islam merupakan usaha untuk memudahkan proses pengajaran dalam mencapai tujuannya secara efektif dan efisien.
7.      HAKEKAT KURIKLUM DALAMFILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
a.      Pengertian dan Ciri Kurikulum
Secara harfiah, kurikulum berasal dari bahasa Latin, ‘’ Curriculum’’, yang berarti bahan pengajaran.Ada pula yang mengatakan berasal dari bahasa Perancis, ‘’ Courier ‘’, yang artinya berlari-
Secara etimologi, kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu ‘’curier’’ yang artinya pelari dan ‘’Curere’’ yang artinya jarak yang harus ditempuh oleh pelari. Istilah ini pada mulanya digunakan di dunia olah raga yang berarti a lille recesourse ( suatu jarak yang harus ditempuh dalam pertandingan olah raga). Berdasarkan pengertian ini, dalam kontek dunia pendidikan, kurikulum berarti ‘’circle of intruction’’ yaitu suatu lingkaran pembelajaran dimana guru dan peserta didik terlibat di dalamnya. Adapula yang mengatakan kurikulum ialah arena pertandingan, tempat pelajar bertanding untuk menguasai pelajaran untuk mencapai garis penamat berupa diploma, ijazah, atau gelar kesarjanaan.
Kata kurikulum  selanjutnya menjadi suatu istilah yang menunjukkan pada sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan akhir, yaitu mencapai suatu gelar atau ijazah. Pengertian  ini sejalan dengan pendapat yang mengatakan bahwa kurikulum adalah rancangan pengajaran yang berisi sejumlah mata pelajaran yang disusun secara sistematis yang diperlukan sebagai syarat untuk menyelesaikan suatu program pendidikan tertentu.
b.      Prinsip Kurikulum Pendidikan Islam
Berdasrkan ciri dan karakteristik di atas, kurikulum pendidikan Islam dibuat dan disusun dengan mengikuti prinsip;
Menurut Al-Taumi sebagaimana yang di kutip oleh Muhammad Zein dalam bukunya ‘’ Materi Filsafat Pendidilan Islam “, prinsip dasar yang harus dipegengi dalam menyusun kurikulum pendidikan Islam adalah:
1)      Kurikulum pendidikan Islam harus bertautan dengan agama,termasuk ajaran dan nilainya.
2)      Tujuan dan kandungan kurikulum pendidikan Islam harus menyeluruh (universal)
3)      Tujuan dan kandungan kyrikulum pendidikan Islam harus adanya keseimbangan.
4)      Kurikulum pendidikan Islam harus berkaitan dengan bakat, minat, kemampuan dan kebutuhan anak didik serta alam lingkungan di mana anak didik tersebut hidup.
5)      Kurikulum pendidikan Islam harus dapat memelihara perbedaanindividu diantara anak didik dalam bakat, minat, kemampuan dan kebutuhan mereka.
6)      Kurikulum pendidikan Islam harus mengikuti perkembangan dan perubahan zaman, filsafah, prinsip, dasar, tujuan dan metode pendidikan islam harus dapat memenuhi tuntutan zaman.
7)      Kurikulum pendidikan Islam harus bertautan dengan pengalaman dan aktifitas anak didik dalam masyarakat.
c.       Asas / Landasan  Kurikulum
Secara teoritis penyusunan sebuah kurikulum harus berdasarkan asas-asas tertentu. Asas – asas tersebut antara lain menurut S.Nasution yaitu;
 Asas Filosofis
Dalam pengembangan kurikulum muncul pertanyaan-pertanyaan pokok seperti: hendak dibawa kemana siswa yang dididik itu? Masyarakat yang bagaimana harus diciptakan melaui ikhtiar pendidikan? Apakah hakikat pengetahuan yang harus dipelajari dan dikaji siswa? Norma-norma atau sistim nilai yang bagaimana yang harus diwariskan kepada anak didik sebagai generasi penerus? Dan bagaimana seharusnya proses pendidikan itu berlangsung?
     Sebagai landasan fundamental, filasafat memegang peranan penting dalam proses pengembangan kurikulum. Ada  empat fungsi filasat dalam mengembangkan kurikulum yaitu:
1.      Filsafat dapat menentukan arah dan tujuan pendidikan. Dengan filsafat segaai pandangan hidup, atau value sistem, maka dapat ditentukan mau dibawa kemana siswa yang kita didik
2.      Filsafat dapat menentukan materi dan bahan ajaran yang diberkan sesuai dengan tujuan yang diinginkan.
3.      Filsafat dapat menentukan strategi atau cara penyampaian tujuan. Sebagai sistem nilai, filsafat dapat dijadikan pedoman dalam merancang kegiatan pembelajaran.
4.      Melalui filsafat dapat ditentukan baaimana menentukan tolak ukur keberhasilan proses pendidikan.
Dari penjelasan tentang fungsi-fungsi filasafat dalam pengembangan kurikulum maka semua pertanyaan pokok yang timbul dalam pengembangan kurikulum dapat terjawabkan. Filsafat merupakan asas/landasan yang paling utama dalam pengembangan kurikulum. Filsafat sangat penting, khususnya dalam pengambilan keputusan pada setiap aspek kurikulum, dimana setiap keputusan harus ada dasarnya (landasan filosofisnya). Para pengembang kurikulum harus mempunyai filsafat yang jelas tentang apa yang mereka junjung tinggi. Filsafat yang kabur akan menimbulkan kurikulum yang tidak tentu arah. Kurikulum sebagai rancangan dari pendidikan, mempunyai kedudukan yang cukup sentral dalam keseluruhan kegiatan pendidikan karena kurikulum menentukan proses pelaksanaan dan hasil daripada pendidikan. Mengingat begitu pentingnya peranan kurikulum dalam pendidikan dan perkembangan kehidupan manusia, maka pengembangan kurikulum tidak dapat dirancang sembarangan.
8.      HAKEKAT EVALUASI DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
a.      Pengertian Evaluasi
Menurut bahasa evaluasi berasal dari bahasa Inggris, “evaluation”, yang berarti penilaian atau penaksiran. Sedangkan menurut pengertian istilah evaluasi merupakan kegiatan yang terencana untuk mengetahui keadaan sesuatu obyek dengan menggunakan intrumen dan hasilnya dibandingkan dengan tolak ukur memperoleh kesimpulan. Dengan demikian secara sederhana dapat disimpulkan bahwa evaluasi pendidikan adalah penilaian untuk mengetahui proses pendidikan dan komponen-komponennya dengan instrumen yang terukur. Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 ayat 21 dijelaskan bahwa evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan.
b.      Jenis-Jenis Evaluasi:
Selanjutnya jenis evaluasi dapat dibedakan sebagai berikut:
1)      Jenis evaluasi berdasarkan tujuan dibedakan atas lima jenis evaluasi, yaitu:
a)           Evaluasi diagnostik, adalah evaluasi yang di tujukan untuk menelaah kelemahan-kelemahan siswa beserta faktor-faktor penyebabnya.
b)          Evaluasi selektif adalah adalah evaluasi yang digunakan untuk memilih siwa yang paling tepat sesuai dengan kriteria program kegiatan tertentu.
c)           Evaluasi penempatan adalah adalah evaluasi yang digunakan untuk menempatkan siswa dalam program pendidikan tertentu yang sesuai dengan karakteristik siswa.
d)          Evaluasi formatif adalah adalah evaluasi yang dilaksanakan untuk memperbaiki dan meningkatkan proses belajar dan mengajar.
e)           Evaluasi sumatif adalah adalah evaluasi yang dilakukan untuk menentukan hasil dan kemajuan bekajra siswa.
2)      Jenis evaluasi berdasarkan sasaran
a)           Evaluasi konteks yang ditujukan untuk mengukur konteks program baik mengenai rasional tujuan, latar belakang program, maupun kebutuhan-kebutuhan yang muncul dalam perencanaan
b)          Evaluasi input, evaluasi yang diarahkan untuk mengetahui input baik sumber daya maupun strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan.
c)           Evaluasi proses, evaluasi yang ditujukan untuk melihat proses pelaksanaan, baik mengenai kalancaran proses, kesesuaian dengan rencana, faktor pendukung dan faktor hambatan yang muncul dalam proses pelaksanaan, dan sejenisnya.
d)          Evaluasi hasil atau produk, evaluasi yang diarahkan untuk melihat hasil program yang dicapai sebagai dasar untuk menentukan keputusan akhir, diperbaiki, dimodifikasi, ditingkatkan atau dihentikan.
e)           Evaluasi outcome atau lulusan, evaluasi yang diarahkan untuk melihat hasil belajar siswa lebih lanjut, yakni evaluasi lulusan setelah terjun ke masyarakat.
3)      Jenis evalusi berdasarkan lingkup kegiatan pembelajaran
a)           Evaluasi program pembelajaran, yang mencakup terhadap tujuan pembelajaran, isi program pembelajaran, strategi belajar mengajar, aspek-aspek program pembelajaran yang lain.
b)          Evaluasi proses pembelajaran, yang mencakup kesesuaian antara peoses pembelajaran dengan garis-garis besar program pembelajaran yang di tetapkan, kemampuan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran, kemampuan siswa dalam mengikuti proses pembelajaran.
c)           Evaluasi hasil pembelajaran, mencakup tingkat penguasaan siswa terhadap tujuan pembelajaran yang ditetapkan, baik umum maupun khusus, ditinjau dalam aspek kognitif, afektif, psikomotorik.
4)      Jenis evaluasi berdasarkan objek dan subjek evaluasi Berdasarkan objek:
a)           Evaluasi input, evaluasi terhadap siswa mencakup kemampuan kepribadian, sikap, keyakinan.
b)          Evaluasi transformasi, evaluasi terhadap unsur-unsur transformasi proses pembelajaran antara lain materi, media, metode dan lain-lain.
c)           Evaluasi output, evaluasi terhadap lulusan yang mengacu pada ketercapaian hasil pembelajaran.
5)      Berdasarkan subjek :
a)           Evaluasi internal, evaluasi yang dilakukan oleh orang dalam sekolah sebagai evaluator, misalnya guru.
b)          Evaluasi eksternal, evaluasi yang dilakukan oleh orang
luar sekolah sebagai evaluator, misalnya orangtua, masyarakat.
c.       Hakekat Evaluasi Dalam Filsafat Pendidikan Islam
Penilaian dilaksanakan secara terpadu dengan kegiatan pembelajar- an.  Penilaian dapat dilakukan baik dalam suasana formal maupun infor- mal, di dalam kelas, di luar kelas, terintegrasi dalam kegiatan belajar meng- ajar  atau  dilakukan  pada  waktu  yang  khusus.  Penilaian  dilaksanakan melalui berbagai cara, seperti tes tertulis, penilaian hasil kerja siswa mela- lui kumpulan hasil  kerja  (karya) siswa (fortofolio), dan penilaian unjuk kerja (perfomance) siswa.
Ajaran Islam yang menaruh perhatian yang besar terhadap evaluasi. Allah  swt dalam berbagai firman-Nya dalam kitab suci Al-Qur’an meng- informasikan  bahwa, pekerjaan evaluasi merupakan suatu tugas penting dalam  rangkaian  proses pendidikan yang telah dilaksanakan oleh pen- didik. Abuddin Nata mengutip (Q.S. al-Baqarah/2: 31-32) menyebut empat hal yang dapat diketahui. Pertama, Allah swt bertindak sebagai guru yang memberikan pelajaran kepada Nabi Adam as. Kedua, para malaikat tidak memperoleh pengajaran sebagaimana  yang diterima Nabi Adam, mereka tidak dapat menyebutkan nama-nama benda.  Ketiga, Allah swt meminta kepada  Nabi  Adam  agar  mendemonstrasikan ajaran  yang  diterimanya. Keempat, materi evaluasi, haruslah materi yang pernah diajarkannya.
9.      LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DAN TANTANGAN MODERNISASI
a.      Lembaga Pendidikan Islam
Kata “lembaga” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah badan (organisasi) yang tujuannya melakukan suatu penyelidikan keilmuan atau melakukan usaha. Selanjutnya menurut Dra. Enung Rukiati dan Dra. Fenti Hikmawati dalam bukunya yang berjudul Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, mengungkapkan bahwa lembaga adalah wadah atau tempat berlangsungnya proses pendidikan Islam yang bersamaan dengan proses pembudayaan. Sedangkan pendidikan Islam menurut pendapat Omar Muhammad al-Taumy yang dikutip dalam buku Kapita Selekta Pendidikan Islam, karangan Drs. Akmal Hawi. Mag menyatakan pendidikan Islam sebagai proses mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya dan alam sekitarnya melalui interaksi yang dilakukan oleh individu tersebut. Lalu Drs Akmal Hawi secara khusus berpendapat mengenai hal ini di dalam bukunya Dasar-dasar Pendidikan Islam menyatakan bahwa Pendidikan Islam ialah suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk membuat anak menjadi pengabdi Allah. Senada dengan pendapat para ahli di atas, H.M. Arifin menegaskan bahwa pendidikan Islam berarti sistem kependidikan yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba Allah, sebagaimana Islam telah menjadi pedoman bagi seluruh aspek kehidupan manusia, baik duniawi maupun ukhrowi. Dari keterangan para ahli tersebut, dapat kami simpulkan bahwa lembaga pendidikan Islam ialah suatu wadah atau badan yang berusaha membentuk anak menjadi pengabdi Allah dan memberikan kemampuan kepadanya untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita dan nilai-nilai Islam.
Secara Umum lembaga pendidikan terbagi menjadi tiga, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat. Ki Hajar Dewantara menganggap ketiga lembaga pendidikan tersebut sebagai Tri Pusat Pendidikan. Maksudnya, tiga pusat pendidikan yang secara bertahap dan terpadu mengemban suatu tanggung jawab pendidikan bagi generasi mudanya.
1)      Pendidikan Keluarga
Pendidikan keluarga atau yang dikenal dalam dunia akademisi ialah pendidikan informal merupakan lingkungan pendidikan yang pertama bagi kehidupan anak di dalam mendapatkan didikan dan bimbingan. Drs. Akmal Hawi berpendapat bahwa keluarga merupakan tempat meletakkan dasar-dasar kepribadian anak didik pada usia yang masih muda, karena pada usia ini anak lebih peka terhadap pengaruh dari pendidiknya. Lalu Hasbullah mengutip pendapat Amir Daien Indrakusuma dalam bukunya Dasar-dasar Pendidikan mengenai tugas utama dari keluarga bagi pendidikan anak ialah sebagai peletak dasar bagi pendidikan akhlak dan pandangan hidup keagamaan. Sifat dan tabiat anak sebagian besar diambil dari kedua orang tuanya dan dari anggota keluarganya yang lain. Dalam hal ini sepertinya para ahli berpendapat bahwa pendidikan informal/keluarga merupakan peletak dasar awal pendidikan yang secara tidak langsung dirasakan si anak.
2)      Pendidikan Sekolah
Pendidikan sekolah merupakan lanjutan dari pendidikan dalam keluarga. Di samping itu, merupakan jembatan bagi anak yang menghubungkan kehidupan dalam keluarga dengan kehidupan dalam masyarakat kelak.
Menurut Hasbullah, yang dimaksud pendidikan sekolah ini ialah pendidikan yang diperoleh seseorang di sekolah secara teratur, sistematis, bertingkat, dan dengan mengikuti syarat-syarat yang jelas dan ketat (mulai dari Taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi). Menurut Drs Akmal hawi, sebagai pendidikan Islam formal memiliki tanggung jawab untuk membimbing, mengembangkan dan bertingkah laku sesuai dengan tuntunan Ilahi, yang pada akhirnya akan menemukan makna hidup sesungguhnya.
3)      Pendidikan Masyarakat
Masyarakat adalah lingkungan ketiga setelah keluarga dan sekolah. Pendidikan masyarakat telah mulai ketika anak-anak untuk beberapa waktu setelah lepas dari asuhan keluarga dan berada di luar pendidikan sekolah. Dengan demikian, berarti pengaruh pendidikan tersebut tampaknya lebih luas. Hasbullah menjelaskan bahwa Corak dan ragam pendidikan yang dialami seseorang dalam masyarakat banyak sekali, yang meliputi dari segala bidang, baik pembentukan kebiasaan-kebiasaan, pembentukan pengertian-pengertian (pengetahuan), sikap dan minat, maupun pembentukan kesusilaan dan keagamaan.
Banyak Rupa dari pendidikan masyarakat, antara lain Drs. Akmal Hawi memberikan contoh, seperti pengajian-pengajian berupa membaca tulis al-Qur’an dan ceramah agama serta majelis-majelis taklim.
b.      Tantangan Lembaga Pendidikan Islam
Sebagaimana yang telah kami sebutkan bahwa pembahasan ini hanya terbatas pada pendidikan formal saja. Karena kita lihat kompleksnya pembahasan dari setiap bentuk-bentuk pendidikan yang ada dan tantangan-tantangan yang berbeda dihadapi oleh setiap bentuk pendidikan.
Lembaga pendidikan formal terdiri dari pesantren, madrasah, dan perguruan tinggi. Namun demikian, tantangan yang akan dibahas merupakan tantangan umum yang dihadapi oleh setiap pendidikan formal tersebut.
Tantangan lembaga pendidikan ini dilukiskan oleh Cece Wijaya yang dikutip oleh Drs Akmal Hawi dalam bukunya Kapita Selekta Pendidikan Islam, sebagai perubahan masyarakat dibidang sosial, ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang berpengaruh terhadap sistem pendidikan yang sedang berjalan. pengaruh tersebut menuntut lembaga pendidikan untuk mampu menyesuaikan dengan upaya pembaharuan pendidikan dan pengajaran yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. berikut ini akan dijelaskan bentuk-bentuk tantangan tersebut:
1)      Tantangan di Bidang Politik
Lembaga pendidikan yang ada di wilayah suatu negara merupakan sektor perkembangan kehidupan budaya bangsa yang commited (terikat) dengan tujuan perjuangan nasional yang berlandaskan pada falsafah negaranya. oleh karena itu, maka suatu lembaga pendidikan yang tidak bersedia mengikuti politik negaranya, akan merasakan bahwa politik tersebut menjadi pressure (tekanan) terhadap cita kelembagaan tersebut. Sudah tentu hal ini merupakan tantangan yang perlu dijawab “politic fundamental” pula. karena hal tersebut menyangkut kepentingan perkembangan bangsa dimasa depan dan maknanya bagi pemeliharaan watak dan keperibadian, kreatifitas dan disiplin bangsa itu sendiri.
Jadi lembaga pendidikan islam harus menghadapi tantangan ini dengan objektif, artinya lembaga pendidikan islam mau tak mau harus mengikuti prosedur-prosedur yang telah ditetapkan oleh pemerintah didalam undang-undang sistem pendidikan nasioanal (UU Sisdiknas) demi mencapai tujuan perjuangan nasional bangsa. yaitu dengan cara terlibat aktif dalam perumusan keputusan yang berhubungan dengan kepentingan kependidikan, misalnya dalam perumusan UU sisdiknas tersebut.
Selain itu, Perubahan sosial politik ikut memberi warna pendidikan Islam. Label sebagai institusi pendidikan Islam ikut mempengaruhi persepsi publik terhadap posisi lembaga pendidikan Islam dalam konteks perubahan sosial politik. Ironisnya, lembaga pendidikan Islam kerap dijadikan “kendaraan” oleh para petualang politik mencari dukungan. Setelah dukungan suara didapatkan, kenyataannya lembaga pendidikan Islam tadi tetap tidak banyak berubah. Realitas seperti ini dikhawatirkan memandulkan gerak pendidikan agama Islam.
2)      Tantangan di Bidang Kebudayaan
Menurut Drs. Akmal Hawi kebudayaan yaitu suatu hasil budaya manusia baik bersifat material maupun mental spiritual dari bangsa itu sendiri atau bangsa lain. kondisi demikian menyebabkan timbulnya proses akulturasi (perpaduan atau yang lain), dimana faktor nilai yang mendasari kebudayaan sendiri sangat menentukan survive (daya tahan) bangsa tersebut. Bilamana nilai-nilai kultural bangsa itu melemah karena berbagai sebab, maka bangsa itu akan mudah terperangkap atau tertelan oleh kebudayaan lain yang memasukinya, sehingga identitas kebudayaan bangsa itu sendiri akan lenyap.
Kebudayaan yang baik tentu tidak menjadi masalah, bahkan menjadikan bangsa ini kaya akan budaya serta menambah kreativitas lembaga-lembaga pendidikan. Tantangan yang dihadapi lembaga pendidikan Islam ialah kebudayaan yang membawa dampak buruk (merusak cita-cita dan nilai-nilai Islam), seperti budaya yang menekankan pada materialistik dan hedonistik. Contoh kecil ialah trend seks bebas yang berkembang sekarang ini.
3)      Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Teknologi modern telah memungkinkan terciptanya komunikasi bebas lintas benua, lintas negara, menerobos berbagai pelosok perkampungan di pedesaan dan menyelusup di gang-gang sempit di perkotaan, melalui media audio (radio) dan audio visual (televisi, internet, dan lain-lain). Fenomena modern yang terjadi di awal milenium ketiga ini popular dengan sebutan globalisasi.
Menurut pendapat Arifin yang dikutip oleh Drs Akmal Hawi bahwa kehadiran alat-alat canggih tersebut akan berpengaruh terhadap proses pembelajaran. Alat-alat canggih ini akan membawa tantangan bagi pendidikan dalam pengembangan sumber daya manusia. Dan umumnya alat-alat teknologi ini diciptakan untuk mempermudah manusia bekerja dan berbuat serta dapat memberikan rasa senang kepada pemakaiannya.
Kecepatan dunia yang berubah menuntut dan mensyaratkan kemampuan belajar yang cepat, sehingga mampu menganalisa setiap situasi secara logis dan memecahkan masalah secara kreatif. Kemajuan dibidang teknologi ini pada akhirnya akan berpengaruh pada kejiwaan dan kepribadian masyarakat. Pada era informasi ini yang sanggup bertahan hanyalah mereka yang berorientasi ke depan, yang mampu mengubah pengetahuan menjadi kebijakan. Oleh karena itulah dunia pendidikan Islam di masa sekarang benar-benar dihadapkan pada tantangan yang cukup berat. Untuk mengantisipasinya maka dilakukan upaya yang strategis, antara lain; tujuan pendidikan di masa sekarang tidak cukup hanya dengan memberikan bekal pengetahuan, keterampilan, keimanan, dan ketakwaan saja. Tetap juga harus diarahkan pada upaya melahirkan manusia yang kreatif, inovatif, mandiri dan produktif, mengingat dunia yang akan datang adalah dunia kompetitif.
4)      Tantangan di Bidang Ekonomi
Kehidupan ekonomi suatu bangsa banyak mempengaruhi pertumbuhan lembaga pendidikan. Bahkan juga mempengaruhi sistem pendidikan yang diberlakukan serta kelembagaan kependidikan yang bagaimana dapat menunjang ataupun mengembangkan sistem ekonomi yang diinginkan. Bila dilihat dari sektor ini, maka problem-problem kehidupan ekonomi perlu dijawab oleh lembaga-lembaga pendidikan. Apabila dilihat bahwa hasil pendidikan adalah sama prosesnya dengan hasil produksinya tenaga ahli. Maka ukuran ekonomi bagi suatu lembaga pendidikan yang demikian itu adalah suatu hal yang terlalu alistis dan pragmatis. Namun bidang inilah yang saat ini banyak memberikan tantangan kepada lembaga pendidikan kita. Jawaban yang diberikan oleh lembaga kependidikan antara lain tercermin dalam sistem kependidikan serta kurikulum atau program kependidikan yang ditetapkan.
5)      Tantangan di Bidang Kemasyarakatan
Kemasyarakatan merupakan suatu lapangan hidup manusia yang mengandung ide-ide yang sangat laten terhadap pengaruh kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagai sistem kehidupan, kemasyarakatan tidak statis, melainkan cinderung berkembang secara dinamis. Pada era ini kekuatan ekonomi seseorang terletak pada kepemilikannya terhadap informasi. Seseorang yang memiliki informasi akan lebih memiliki peluang daripada yang tidak tahu informasi. Dalam era informasi ini tentu ada dampak yang ditimbulkan baik positif atau pun yang negatif. Dampak positif dari era informasi ini ialah dapat mempermudah semua kegiatan manusia, sedangkan dampak negatifnya adalah melemahnya fungsi daya mental-spritual jiwa yang sedang tumbuh dan berkembang, seperti kecerdasan, pikiran ingatan, kemauan dan perasaan emosi. Menjawab tantangan ini, Drs. Akmal Hawi mengungkapkan bahwa tugas lembaga pendidikan Islam sebagai pemberi arah yang jelas terhadap perubahan yang ada di masyarakat, karena perubahan yang terjadi dalam sistem kehidupan sosial seringkali mengalami ketidakpastian tujuan.
6)      Tantangan di Bidang Sistem Nilai
Sistem nilai adalah tumpuan norma-norma yang dipegangi oleh manusia sebagai makhluk individu dan sebagai makhluk sosial, baik itu berupa norma transional maupun norma agama yang telah berkembang dalam masyarakat. Sistem nilai juga dijadikan tolak ukur bagi tingkah laku manusia dalam masyarakat yang mengandung potensi mengendalikan, mengatur dan mengarahkan perkembangan masyarakat itu sendiri.
Posisi lembaga pendidikan kita saat ini sedang berada dalam arena konflik nilai-nilai yang membawa kepada transisi nilai kehidupan. Nilai spritual maupun moral-etik, yang amat sensitif terhadap sentuhan-sentuhan nilai hedonistik materiil dari kemajuan iptek. Sekolah dalam posisi ini, perlu bersikap dalam melaksanakan tugas pokoknya, yaitu membudayakan umat manusia dengan nilai-nilai ideal. Sehingga mampu menjadi pondasi moral dan spritual bagi tegaknya masyarakat yang adil dan makmur. Inilah misi lembaga pendidikan kita (Islam) dalam menghadapi tantangan modernisasi yang harus berperan interaktif antara pengaruh kekuatan ideal dari dalam dengan pengaruh realistis dan pragmatis dari luar. Peran demikian baru berfungsi dengan baik jika para pengelola lembaga pendidikan itu sadar terhadap tugasnya. Haidar Putra Daulay menambahkan bahwa lembaga pendidikan Islam yang ideal adalah lembaga pendidikan yang dapat merealisasi konsep kurikulum pendidikan Islam seutuhnya.
7)      Tantangan di bidang Sosial-Keagamaan
Tantangan sosiial keagamaanyang menekankan pada aplikasi dari keberadaan lembaga pendidikan islam itu sendiri. Kehidupan social adalah kehidupan yang sangat kompleks. Didalamnya banyak sekali terdapat permasalahan-permasalahan yang tediri dari berbagai macam dan berbagai bentuk. Apatah lagi Indonesia yang notabene terdiri dari berbagai macam adat budaya, agama yang tidak satu, perbedaan tingkat pendidikan, ekonomi, dan sebagaimya yang membuat kekompekan itu makin kompleks.
Social-keagamaan ini terdiri dari berlapis-lapis masalah yang jika tidak di tanggapi dengan bijaksana maka akan terjadi perpecahan. Keberadaan lembaga pendidikan islam itu akan benar-benar terasa kehadirannya apabila mampu memaksimalkan potensi kelembagaanya yang tentu salah satu tujuannya adalah menciptakan masyarakat yang beragama.
10.  LEARNING SOCIETY (MASYARAKAT BELAJAR)
Sebelum memahami konsep learning society ada baiknya harus paham terlebih dahulu arti dari kata tersebut. Learning society diartikan sebagai masyarakat belajar. Learning society adalah memberdayakan peran masyarakat dan keluarga dalam kegiatan pendidikan. Diharapkan masyarakat dan keluarga berperan aktif dalam hal belajar. Tentulah jika masyarakat dan keluarga telah aktif untuk gemar belajar maka akan terbentuk bangsa yang rajin belajar.
Seiring dengan gencarnya sosialisasi tentang tema masyarakat madani (civil society), pada saat ini juga sering disosialisasikan mengenai perlunya masyarakat belajar (learning society) atau biasa juga disebut dengan educational society. Learning society secara praktek sudah dilakukan oleh masyarakat Indonesia -meski belum secara maksimal- namun secara konsep masih meraba-raba. Artinya, bila civil society telah mulai diperkenalkan dan disosialisasikan, maka untuk learning society belum ditemukan konsep yang matang dan fixed, sehingga istilah learning society belum populer didengungkan apalagi dimasyarakatkan (Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, 2005).
Pembahasan tentang learning society pada tahun 1971 telah diperkenalkan oleh Torsten Husen. Menurut pendapatnya, seperti yang dikutip oleh Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, learning society adalah memberdayakan peran masyarakat dan keluarga dalam bidang pendidikan.
Masyarakat Indonesia masih dalam tahap yang disebut dengan schooling society dan reading society, sehingga perlu upaya keras untuk menuju jenjang lebih tinggi. Jenjang yang harus dituju adalah menjadi masyarakat yang learning society dan education. Upaya tersebut bisa dicapai dengan mendukung minat baca masyarakatnya. Dan minat baca akan muncul jika ketersediaan buku-buku dimasyarakat lengkap.
Terdapat juga pendapat yang mengatakan bahwa dengan membangun learning society dapat memberantas buta aksara yang terjadi dimasyarakat. Berdasarkan data UNESCO pada tahun 1960 menyatakan bahwa 40% dari penduduk dunia mengalami buta aksara. Namun, di Indonesia pada tahun 2000 terjadi penurunan persentase masyarakat yang buta aksara.
Seperti yang diketahui selama ini bahwa peranan lembaga pendidikan formal, seperti sekolah, yang baru menjadi perhatian dan mendapatkan tempat dihati masyarakat. Sementara pendidikan non formal dan informal di Indonesia belum mendapatkan perhatian penuh, andaipun  mendapatkan perhatian hanya sedikit saja.
Selama ini banyak anggapan terhadap dunia pendidikan yang terfokus pada pendidikan formal, seperti sekolah saja tidaklah tepat, sebab konsep pendidikan dapat diartikan secara luas. Hal ini dipahami untuk menyebut semua upaya untuk mengembangkan tiga hal, yaitu pandangan hidup, sikap hidup dan keterampilan hidup diri seseorang atau sekelompok orang. Dengan kata lain, untuk menyebutkan peristiwa yang dampaknya ialah berkembangnya pandangan hidup, sikap hidup dan keterampilan hidup diri seseorang atau sekelompok orang. Kalau suatu pendidikan sejak awal dirancang untuk mengembangkan ketiga hal tersebut, maka hal ini disebut sebagai pendidikan formal dan pendidikan non formal. Sebaliknya, apabila suatu tindakan yang sebenarnya tidak dirancang untuk mengembangkan ketiga hal tersebut, melainkan berdampak demikian, maka peristiwa tersebut dapat dikatakan sebagai pendidikan informal.
Jika dicermati lebih jauh, pemahaman terhadap ketiga jenis pendidikan tersebut diketengahkan untuk memberikan pengertian baru terhadap peran pendidikan formal dan non formal. Dalam pengertian baru ini, maka kegiatan pendidikan tidak hanya terjadi di lingkungan sekolah, akan tetapi juga di lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat. Pada gilirannya nanti tidak hanya pendidikan formal dalam arti sempit, sekolah yang mendapatkan perhatian, akan tetapi juga pendidikan di lingkungan keluarga dan pendidikan di lingkungan masyarakat (luar sekolah).
Seperti yang dikutip oleh Muljono dari Al-Rasyidin dan Samsul Nizar (2005) mengungkapkan beberapa harapan yang ingin dicapai melalui learning society, khususnya jika dikaitkan dengan perwujudan masyarakat madani, menurut Tim Nasional Reformasi Menuju Masyarakat Madani adalah sebagai berikut:
1)       Terciptanya masyarakat yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
2)       Terciptanya masyarakat yang demokratis dan beradab yang menghargai adanya perbedaan pendapat;
3)       Masyarakat yang mengakui hak-hak asasi manusia;
4)       Masyarakat yang tertib dan sadar hukum, budaya malu apabila melanggar hukum yang melekat dalam semua lapisan kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan;
5)       Masyarakat yang percaya pada diri sendiri, memiliki kemandirian dan kreatif terhadap pemecahan masalah yng dihadapi, masyarakat memiliki orientasi yang kuat pada penguasaan ilmu dan teknologi;
6)       Sebagai bagian dari masyarakat global, yang memiliki semangat kompetitif dalam suasana kooperatif, penuh persaudaraan dengan bangsa-bangsa lain dengan semangat kemanusiaan yang universal;
7)       Terwujudnya tatanan masyarakat yang beradab yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dan martabat manusia;
8)       Mewujudkan masyarakat belajar yang tumbuh dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat.
Jadi, untuk mewujudkan masyarakat yang gemar belajar, perlu usaha-usaha yang dilakukan. Usaha tersebut adalah membentuk keluarga agar menjadi keluarga yang gemar belajar. Keluarga mempengaruhi perkembangan generasi selanjutnya di masa yang akan datang. memang tidak gampang mewujudkan keluarga gemar belajar. Namun, keberanian untuk mencoba dan berpikir kritis serta inovatif dapat membantu dalam mewujudkan keluarga gemar belajar.
11.  PEMIKIRAN IKWAN AL-SHAFA TENTANG FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
a.      Konsep Pendidikan Ikhwan-Al-Shafa
Menurut Ikhwan al-Shafa, aktivitas pendidikan dimulai sejak sebelum kelahiran. Sebab, kondisi diri bayi dan perkembangannya sudah dipengaruhi oleh keadaan kehamilan dan kesehatan sang ibu yang hamil. Dengan demikian, perhatian pendidikan harus sudah diberikan sejak masa janin dalam rahim.
Kesadaran kuat Ikhwan al-Shafa terhadap urgensi indera dalam memperoleh pengetahuan dan implikasinya dalam keberadaan manusia, baik dataran empiris-sensual maupun empiris-logis, membawa mereka pada pengapresiasian peran dan fungsi fisik dan jasmaniah untuk kebahagiaan manusia dan kenormalan hidupnya. Di sini mereka menekankan perlunya memperhatikan fisik-jasmaniah, memeliharanya dan mengaturnya dengan seksama.
1)      Konsep tujuan pendidikan menurut Ikhwan al-Shafa
Ikhwan al- shafa mengawali pengkajiannya dengan merumuskan tujuan-tujuan  individual dan sosial yang ingin direalisasikan melalui aktivitas pendidikan. Secara nyata mereka memberi porsi lebih terhadap tujuan sosial dibandingkan dengan tujuan individual.
Ikhwan al-Shafa mengkonsepsikan ilmu bukan sebagai sesuatu yang mengandung tujuan dalam dirinya sendiri. Ilmu itu harus difungsikan untuk pelayanan tujuan luhur kependidikan, yaitu pengenalan diri. Menurutnya, tujuan para filsof dan pakar mempelajari ilmu-ilmu pasti dan mengajarkannya kepada para murid adalah untuk pembentukan karakter diri (al-suluk) dan penitian ke arah penguasaan ilmu kealaman, sedangkan tujuan mereka mempelajari ilmu kealaman adalah untuk pendakian menuju penguasaan ilmu ketuhanan (teologis) yang menjadi tujuan puncak para filosof, dan muara dari ragam pengetahuan tentang hakikat.
Mengingat tahapan awal dari pemahaman ilmu ketuhanan adalah pengenalan akan substansi jiwa, pengkajian tentang awal kejadiannya sebelum bersatu dengan jasadnya, penelaahan tentang muara akhirnya setelah berpisah dengan jasad dan tentang perihal pahala yang akan diterima orang-orang yang baik  di akhirat, dan hal-hal lain. mengingat juga bahwa manusia dituntut untuk mengenali (ma’rifat) terhadap Tuhannya, dan itu dapat diraih ketika manusia itu mampu mengenali dirinya sendiri, seperti firman Allah, ”Dan tidaklah ada orang yang membenci agamanya Ibrahim, kecuali orang yang tidak mengenali dirinya sendiri”, dan seperti yang diungkapkan, bahwa Barang siapa mengenali dirinya sendiri maka ia akana mampu menganali (ma’rifat) Tuhannya. maka manusia dituntut untuk mempelajari ilmu jiwa, pengetahuan tentang substansinya dan cara penyuciannya. Allah berfirman, ”Demi jiwa dan apa yang telah menyempurnakannya. Dia telah membekali jiwa keburukan dan ketakwaannya. Sungguh beruntung orang yang mau membersihkan jiwa, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.”
2)      Konsep manusia dalam pandangan Ikhwan al-Shafa
Kelompok Ikhwan al-Shafa mempunyai pandangan dualistik tentang konsep dasar manusia. Menurutnya manusia tersusun dari unsur fisik-biologis dan unsur jiwa-rohaniah. Unsur fisik-biologis, manusia berkecenderungan untuk kekal di dunia dan hidup selama-lamanya. Sedangkan unsur jiwa-rohaniahnya, manusia berkecenderungan untuk meraih akhirat dan keselamatan di sana. Dengan demikian kondisi kehidupan manusia diwarnai oleh dualitas berlawanan, seperti hidup dan mati, pengetahuan dan kebodohan, ingat dan lupa, serta susah dan senang.
Ikhwan al-Shafa secara halus menguatkan pengakuan mereka tantang ragam potensi psikomotorik, kognitif, dan afektif pada masing-masing individu. Ikhwan menempatkan fungsi-fungsi spiritual yang bersifat afektif pada hierarki paling atas dan mulia dibandingkan dengan fungsi-fungsi lainnya.
Dalam hal anak didik, Ikhwan al-Shafa memandang bahwa perumpamaan orang yang belum dididik ilmu akidah ibarat kertas yang masih putih bersih, belum ternoda apapun juga. Apabila kertas ini ditulis sesuatu, maka kertas tersebut telah memiliki bekas yang tidak mudah dihilangkan. Pandangan ini lebih dekat dengan teori Tabularasa John Locke (Empirism). Aliran ini menilai bahwa awal pengetahuan terjadi karena panca indera berinteraksi dengan alam nyata. Sebelum berinteraksi dengan alam nyata itu di dalam akal tidak terdapat pengetahuan apapun.
Ikhwan al-Shafa berpendapat bahwa ketika lahir, jiwa manusia tidak memiliki pengetahuan sedikitpun. Proses memperoleh pengetahuan digambarkan Ikhwan al-Shafa secara dramatis dilakukan melalui pelimpahan (al-faidh). Proses pelimpahan tersebut bermula dari jiwa universal (al-nafs al-kulliyah) kepada jiwa manusia, setelah terlebih dahulu melalui proses emanasi. Pada mulanya, jiwa manusia kosong. Setelah indera berfungsi, secara berproses manusia mulai menerima rangsangan dari alam sekitarnya. Semua rangsangan inderawi ini melimpah ke dalam jiwa. Proses ini pertama kali memasuki daya pikir (al-quwwah al-mufakkirat), kemudian diolah untuk selanjutnya disimpan ke dalam rekoleksi atau daya simpan (al-quwwah al-hafizhat) sehingga akhirnya sampai pada daya penuturan (al-quwwah al-nathiqat) untuk kemudian siap direproduksi.
Pandangan Ikhwan al-Shafa di atas berbeda dengan konsep fitrah dalam pendidikan Islam, bahwa manusia sejak lahir telah membawa potensi dasar (kemampuan dasar untuk beragama) yang diberikan Allah. Jadi, sejak lahir manusia sudah punya modal ”fitrah” tidak layaknya kertas putih (kosong). Modal itulah yang nantinya akan dikembangkan oleh orang tua, masyarakat, sekolah maupun lingkungan cyber universe yang diciptakan oleh kemajuan teknologi informasi (internet).
3)      Konsep pendidik menurut Ikhwan al-Shafa
Ikhwan al-shafa menempatkan pendidik pada posisi strategis dan inti dalam kegiatan pendidikan. Mereka harus mempunyai kecerdasan, kedewasaan, keluasan moral, ketulusan hati, kejernihan pikiran, etos keilmuan dan tidak fanatik buta pada diri pendidik. Mereka menganggap bahwa mendidik sama dengan menjalankan fungsi “bapak” kedua, karena pendidik atau guru merupakan bapak bagi dirimu, pemelihara bagi pertumbuhan dan perkembangan jiwamu, sebagaimana halnya kedua orang tuamu adalah pembentuk rupa fisik-biologismu, maka guru adalah pembentuk mental-rohaniahmu.
b.      Implikasi dan Relevansi Pemikiran Pendidikan Ikhwan al-Shafa di Era Global
Ada beberapa implikasi dari pemikiran pendidikan Ikhwan al-Shafa di era global, diantaranya sebagai konsekuensi formulasi relasi komplementer dari konsepsi Ikhwan al-Shafa tentang manusia, pengetahuan, ilmu/program kurikuler dan belajar, maka mereka membangun teori pendidikan yang komprehensif, sempurna dan gradual.
 Menurut Ikhwan al-Shafa, pengetahuan umum dapat diperoleh dengan tiga cara, yaitu : indera, akal untuk berpikir murni dan inisiasi. Melalui panca indera yang dengannya manusia dapat memperoleh pengetahuan tentang perubahan-perubahan yang dapat ditangkap oleh indera. Dengan akal prima atau berpikir murni yang dibantu dengan indera, kal sebagai alat untuk memahami dan menggambarkan sesuatu agar seseorang mencapai hakikat yang menuntunnya beriman kepada-Nya, akal yang dapat menangkap hal-hal abstrak, akal sebagai dorongan moral dan untuk mengambil pelajaran/hikmah. Melalui inisiasi yang berkaitan erat dengan doktrin esoteris Ikhwan al-Shafa, yakni melalui cara ini seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan secara langsung dari guru, yakni guru dalam pengertian seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya, Dalam artian bahwa manusia dapat belajar pengetahuan melalui apapun, termasuk melalui alam. Dengannya akan membuat seseorang akan mengenal sumber dari segala sumber ilmu, yakni Allah swt.
Secara tersirat bahwa dalam konsep manusia (peserta didik) dalam pandangan Ikhwan al-Shafa secara halus menguatkan pengakuan mereka tantang ragam potensi psikomotorik, kognitif, dan afektif pada masing-masing individu. Hal ini tentu relevan dengan pendidikan yang ada pada zaman sekaran ini yang dalam pembelajaran di kelas sangat mengutamakan ketiga ranah tersebut dalam setiap aspek yang di ajarkan di dalam kelas, tidak terkecuali penilaian dan evaluasi dalam pembelajaran yang bersifat autentik yang mencakup ketiga ranah tersebut.  
Pandangan Ikhwan menempatkan fungsi-fungsi spiritual yang bersifat afektif pada hierarki paling atas dan mulia dibandingkan dengan fungsi-fungsi lainnya. Hal ini berarti bisa dikatakan bahwa Ikhwan al-Shafa sangat mengedepankan religiousitas dan  akhlak seseorang sebagai bagian dari tujuan pendidikan. Selain itu, tujuan luhur kependidikan yaitu pengenalan diri. Melalui pengenalan seseorang terhadap dirinya sendiri maka ia akan dapat mengenal Tuhannya.
12.  PEMIKIRAN ZAINUDIN LABAY EL-YUNUS
Dalam bidang pendidikan beliau termasuk orang pertama yang memperkenalkan sistem sekolah yang baru. Dengan membuka sekolah guru Diniyah (1915) beliau mempergunakan sistem berkelas dengan kurikulum yang lebih teratur. Beliau mendirikan Diniyah School, yang merupakan madrasah sore untuk pendidikan agama yang diorganisasikan berdasarkan sistem klasikal dan tidak mengikuti sistem pengajaran tradisional yang individual. Begitu pula susunan pelajarannya berbeda dengan yang lain, yaitu dimulai dengan pengetahuan dasar bahasa Arab sebelum memulai membaca al-Qur’an. 
Materi yang ditawarkan bukan hanya ilmu agama, tetapi juga ilmu umum sebagaimana yang diajarkan dilembaga pendidikan governement, seperti bahasa asing, ilmu bumi, sejarah dan matematika. Beliau juga mengorganisir sebuah klub musik untuk murid-muridnya. Selan itu, murid-murid Diniyah School pada umumnya diseleksi dengan cermat dan memenuhi syarat yang telah ditetapkan, seperti murid-murid dalam satu kelas yang rata-rata memiliki umur dan kecerdasan yang sama.  Pada permulaan tahun itu, Hamka adalah murid sekolah tersebut.
Dia berpendapat bahwa Zainuddin Labay banyak mengambil metode dari Mesir dalam menyelenggarakan pendidikannya. Akan tetapi juga dapat diterima bahwa garis besar pengajaran di Madrasah ini juga memakai unsur pendidikan governement yang sudah diikuti beliau selama empat tahun, dan sejumlah besar muridnya juga masih mengikuti pendidikan pada pagi hari disekolah governement. Selain Hamka murid-murid beliau antara lain adalah, AR. St. Mansur, Duski Sanad, dan adik beliau yaitu Rahmah el-Yunusiyah.
Bahasa yang dipergunakan beliau dalam mengajar adalah bahasa Arab. Meskipun bahasa pengantar yang dipergunakan bahasa Arab, namun materi pendidikan yang diterapkan meliputi pendidikan agama dan umum yang langsung diambil dari buku-buku Mesir dan Belanda. Dan untuk mata pelajaran bahasa Arab beliau tidak menggunakan buku atau kitab nahwu dan sharaf dalam bentuk sajak yang begitu rumit, tetapi beliau menggunakan buku yang sederhana seperti yang digunakan di sekolah dasar Mesir. Untuk mata pelajaran fiqh dan sejarah Islam yang dahulu tidak diperhatikan, beliau menyusun dalam bahasa melayu, sedang untuk kelas yang lebih tinggi dalam bahasa Arab yang sederhana. Sedangkan untuk kelas tertinggi beliau selalu menggunakan buku-buku yang diterbitkan di Kairo maupun Beirut.
Melalui pendidikan yang didirikannya, beliau mengharapkan dapat menciptakan out put yang bekualitas, tidak hanya ilmu agama yang menjadi tumpuan akhir cita-cita hidup seseorag akan tetapi ilmu umum lainnya juga. Out put seperti ini yang sangat diharapkan dan dibutuhkan umat dan bangsa ini untuk membangun peradaban dan mengejar ketertinggalannya selama ini. Dalam mengajarkan ilmu-ilmu agama, beliau lebih banyak mengambil metode Mesir. Akan tetapi dalam mengajarkan ilmu-ilmu umum, beliau cenderung mengambil gagasan pembaharuan pendidikan yang dikembangkan oleh Musthafa Kamil Pasya, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Kedua pendekatan ini terlihat jelas dari kitab yang digunakan lembaga ini. Disamping kitab yang dikarangnya, beliau juga menggunakan kitab Arab sebagaimana pendidikan Mesir untuk ilmu agama dan ilmu umum menggunakan literatur Barat.
Selain melalui lembaga pendidikan formal yang didirikannya, beliau juga memanfaatkan majalah al-Munir sebagai media pendidikan agama Islam. Melalui berbagai tulisannya , beliau mencoba membuka wawasan umat Islam tentang universalitas ajaran Islam. Beliau bahkan tidak segan-segan mengeluarkan pendapat yang bertentangan dengan fatwa umat terdahulu, jika memang menurut pandangan beliau pendapat tersebut tidak lagi sesuai dengan ruh universal ajaran Islam. Dalam upaya ini, beliau seringkali mendapat kritikan dan tantangan dari para ulama tradisional. Beliau bahkan dituduh sebagai ulama yang sesat dan ulama Wahabi yang telah keluar dari mazhab Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Namun hal demikian tidak membuat beliau “patah semangat”, bahkan semakin mendorongnya untuk tetap kritis dan konsisten dengan ide-ide pembaharuannya. Oleh karena itu, tidak heran jika Steenbrink menilai ketokohannya sebagai sosok ulama yang memiliki kepribadian yang kokoh.  Dan perhatian beliau terhadap pembaharuan pendidikan Islam sangat kuat. Hal ini terbukti dengan aktivitas kependidikan yang dilakukannya, mulai dengan mengajar di Surau Jembatan Besi sampai akhirnya beliau mendirikan sekolah yang beliau beri nama Diniyah School pada tahun 1915
13.  PEMIKIRAN NAQUIB AL-ATTAS TENTANG PENDIDIKAN ISLAM
Al-attas berusaha menampilkan wajah pendidikan Islam sebagai suatu pendidikan terpadu.
Hal tersebut dapat secara jelas dilihat dari tujuan pendidikan yang dirumuskannya, yakni terwujudnya manusia yang 'baik', yaitu manusia yang universal(Al-Insan Al-Kamil). Insan kamil yang dimaksud adalah manusia yang bercirikan: Pertama; manusia yang seimbang, memiliki keterpaduan dua dimensi kepribadian; a). dimensi isoterikvertikal yang intinya tunduk dan patuh kepada Allah dan b). dimensi eksoterik, dialektikal, horizontal, yaitu membawa misi keselamatan bagi lingkungan sosial alamnya. Kedua; manusia seimbang dalam kualitas pikir, dzikir dan amalnya (Achmadi, 1992: 130). Maka untuk menghasilkan manusia seimbang yang bercirikan tersebut merupakan suatu keniscayaan adanya upaya maksimal dalam mengkondisikan lebih dahulu paradigma pendidikan yang terpadu.
Dari deskripsi di atas, dapat ketahui bahwa orientasi pendidikan Al-Attas adalah mengarah pada pendidikan yang bercorak moral religius yang tetap menjaga prinsip keseimbangan dan keterepaduan sistem. Hal tersebut terlihat dalam konsepsinya tentang Ta’dib (adab) yang menurutnya telah mencakup konsep ilmu dan amal. Di situ dipaparkan bahwa setelah manusia dikenalkan akan posisinya dalam tatanan kosmik lewat proses pendidikan, ia diharapakan dapat mengamalkan ilmunya dengan baik di masyarakat berdasarkan adab, etika dan ajaran agama. Dengan bahasa yang berbeda dapat dikatakan bahwa penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi harus dilandasi pertimbangan nilai-nilai dan ajaran agama.
Hal itu merupakan indikator bahwa pada dasarnya paradigma pendidikan yang ditawarkan Al-Attas lebih mengacu kepada aspek moral-transendental (afektif) meskipun juga tidak mengabaikan aspek kognitif (sensual–logis) dan psikomotorik (sensual-empiris). Hal ini relevan dengan aspirasi pendidikan Islami, yakni aspirasi yang bernafaskan moral dan agama. Karena dalam taksonomi pendidikan Islami, dikenal adanya aspek transendental, yaitu domain iman disamping tiga domain kognitif, afektif dan psikomotorik. Domain Iman diperlukan dalam pendidikan Islam, karena ajaran Islam tidak hanya menyangkut hal-hal yang rasional, tetapi juga menyangkut hal-hal yang supra rasional, dimana akal manusia tidak akan mampu menangkapnya, kecuali didasari dengan iman, yang bersumber dari wahyu, yaitu Al-Qur'an dan Al-Hadits. Domain Iman merupakan titik sentral yang hendak menentukan sikap dan nilai hidup peserta didik, dan dengannya pula menentukan nilai yang dimiliki dan amal yang dilakukan.
a.      Kondisi obyektif pendidikan Islam dewasa ini
            Untuk memotret bagaimana kondisi dunia pendidikan Islam dewasa ini, setidaknya bisa dicerna pandangan dan penilaian kritis para cendekiawan muslim, dimana secara makro dapat disimpulkan bahwa ia masih mengalami keterjajahan oleh konsepsi pendidikan Barat. Walaupun statemen ini berupa tesis atau hipotesa yang perlu dikaji ulang, tetapi ia sangat penting sebagai cermin dan refleksi untuk memperbaiki wajah pendidikan Islam yang dicita-citakan.
            Prof. Dr. Isma’il Raji Al-Faruqi dalam karya monumentalnya islamization of knowlegde: general principles and workplan mensinyalir bahwa kondisi umat Islam saat ini sangat memprihatinkan, berada di bawah anak tangga bangsa-bangsa terbawah. Al-Faruqi meyakini bahwa kondisi umat islam yang memprihatinkan ini, disebabkan oleh sistem pendidikan yang dipakai jiplakan dari sistem pendidikan Barat, baik materi maupun metodologinya (AL-Faruqi, 1984:17).
            Tidak bisa dipungkiri, bahwa masyarakat Islam di seluruh dunia sedang berada dalam arus perubahan yang sangat dahsyat seiring datangnya era globalisasi dan informasi. Sebagai masyarakat mayoritas dalam dunia ketiga, sungguhpun telah berusaha menghindari pengaruh westernisasi, tetapi dalam kenyataannya modernisasi yang diwujudkan melalui pembangunan berbagai sektor termasuk pendidikan, intervensi dan westernisasi tersebut sulit dielakkan.
            Sehubungan dengan itu Fazlur Rahman Anshari yang selanjunya dikutip oleh Muhaimin, menyatakan : bahwa dunia Islam saat ini menghadapi suatu krisis yang belum pernah dialami sepanjang sejarahnya, sebagai akibat dari benturan peradaban Barat dengan dunia Islam.
Khursyid Achmad, seorang pakar muslim asal Pakistan, mencatat empat kegagalan yang ditemui oleh sistem pendidikan Barat yang liberal dan sekuler, yaitu: Pertama, pendidikan telah gagal mengembangkan cita-cita kemasyarakan di kalangan pelajar. Kedua, pendidikan semacam ini gagal menanamkan nilai moral dalam hati dan jiwa generasi muda. Pendidikan semacam ini hanya memenuhi tuntutan pikiran, tetapi gagal memenuhi kebutuhan jiwa. Ketiga, pendidikan liberal membawa akibat terpecah belahnya ilmu pengetahuan. Ia gagal menyusun atau menyatukan ilmu dalam kesatuan yang utuh. Empat, selanjutnya pendidikan liberal menghasilkan manusia yang tiadak mampu menghadapi masalah kehidupan yang mendasar. (Achmad, 1992:22-23).
            Sementara Al-Attas melihat bahwa universitas modern (baca:Barat) tidak mangakui eksistensi jiwa atau semangat yang ada pada dirinya, dan hanya terikat pada fungsi administratif pemeliharaan pembangunan fisik.
            Dari berbagai pemaparan di atas Dapat disimpulkan bahwa kondisi pendidikan dewasa ini, secara makro telah terkontaminasi dan terinvensi konsep pendidikna Barat. Dimana paradigma pendidikan Barat tersebut secara garis besar dapat dikatakan hanya mengutamakan pengejaran pengetahuan yang menitik beratkan pada segi teknik empiris, sebaliknya tidak mengakui eksistensi jiwa, tidak mempunyai arah yang jelas serta jauh dari landasan spiritual.
b.      Menuju paradigma pendidikan Islam
            Melihat kondisi pendidikan dewasa ini sebagaimana telah dideskripsikan, maka peniruan terhadap konsepsi pendidikan Barat harus dihentikan, karena tidak sesuai dengan dengan cita-cita pendidikan Islam. Sebaliknya merupakan suatu keniscayaan untuk mencari paradigma pendidikan yang paling sesuai dengan cita-cita islam.
            Dalam wacana ilmiah, setidaknya dapat dikemukakakan beberapa alasan mendasar tentang pentingnya realisasi paradigma pendidikan Islam. Pertama, Islam sebagai wahyu Allah yang meruapakan pedoman hidup manusia untuk mencapia kesejahteraan di dunia dan akherat, baru bisa dipahami, diyakini, dihayati dan diamalkan setelah melalui pendidikan. Disamping itu secara fungsional Nabi Muhammad, sendiri di utus oleh Allah sebagai pendidikan utama manusia. Kedua, ilmu pendidikan sebagai ilmu humaniora juga termasuk ilmu normatif, sebab ia terikat dengan norma-norma tertentu. Disini nilai-nilai Islam sangat memadai untuk dijadikan sentral norma dalam ilmu pendidikan itu.
            Ketiga, dalam memecahkan dan menganalisa berbagai masalah pendidikan selama ini cenderung mengambil sikap seakan-akan semua permasalahn pendidikan, baik makro maupun mikro diyakini dapat diterangkan dengan teori-teori atau filsafat pendidikan Barat, padahal yang disebut terakhir tadi bersifat sekuler. Oleh karena itu, nilai-nilai ideal Islam mestinya akan lebih sesuai untuk menganalisa secara kritis fenomena kependidikan (Lihat Achmadi, 1992: viii-ix).
c.       Aktualisasi konsep Al-Attas dalam pendidikan Islam masa kini
            Berdasarkan pada fenomena dan kondisi obyektif dunia pendidikan masa kini pada umumnya dan pendidikan Islam pada khususnya, maka pemikiran pendidikan Islam yang terformula dalam konsep ta’dib yang ditawarkan Al-Attas, sungguh memilki relevansi dan signifikansi yang tinggi serta layak dipertimbangkan sebagai solusi alternatif untuk diaktualisasikan dan di implementasikan dalam dunia pendidikan Islam. Karena pada dasarnya ia merupakan konsep pendidikan yang hendak mengintegrasikan dikhotomi ilmu pengetahuan, menjaga keseimbangan-equilibrium, bercorak moral dan religius. Secara ilmiah Al-Attas telah mengemukakan proposisi-proposisinya sehingga menjadi sebuah konsep pendidikan yang sangat jelas. Sehingga bukanlah suatu hal yang naif bahwa statement Al-Attas ini merupakan sebuah jihad intelektual dalam menemukan paradigma pendidikan Islam. Bila dicobakan untuk berdialog dengan filsafat ilmu, apa yang diformulasikan oleh Al-Attas dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik dari dataran ontologis, epistemologis maupun aksiologis.



No comments: